SAYA MAHASISWA SEMESTER 6 DARI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PRODI MANAJEMEN UNIVERSITAS KATOLIK SANTO THOMAS MEDAN
Ketika Jasa Tak Dihargai: Potret Buram Perlakuan terhadap Kurir di Indonesia
Jumat, 11 Juli 2025 09:12 WIB
Di balik kecepatan layanan pengiriman yang kini dianggap sebagai standar baru kehidupan modern, tersembunyi sebuah realitas yang jarang disorot
Penulis: 1.Desy Astriani Saragih
2. Helena Sihotang, S.E., M.M.
Perkembangan pesat industri e-commerce di Indonesia telah melahirkan jenis pekerjaan yang kini menjadi tulang punggung layanan digital: kurir. Mereka hadir di tengah kehidupan kita, membawa paket, makanan, dokumen, hingga barang-barang penting ke depan pintu rumah. Di balik wajah lelah dan seragam kerja yang sederhana, kurir memegang peran penting dalam menjaga kepercayaan antara pembeli dan penjual.
Namun, ironi besar terjadi ketika jasa tersebut tidak mendapatkan penghargaan yang layak. Dalam beberapa waktu terakhir, kita dikejutkan oleh video viral yang memperlihatkan seorang kurir COD (Cash on Delivery) dicekik oleh pelanggan hanya karena barang yang dikirim tidak sesuai ekspektasi. Kasus tersebut terjadi di Pamekasan, dan menjadi bukti betapa rapuhnya etika dalam transaksi modern kita.
Di balik kecepatan layanan pengiriman yang kini dianggap sebagai standar baru kehidupan modern, tersembunyi sebuah realitas yang jarang disorot kehidupan para kurir yang menjadi ujung tombak dari sistem logistik Indonesia. Layanan ekspedisi kini seakan menjadi nadi kehidupan masyarakat dari kebutuhan pokok, barang belanja daring, hingga dokumen penting, semua berpindah tempat berkat tangan-tangan para kurir. Namun ironisnya, meski mereka menjalankan peran penting dalam perputaran ekonomi dan kenyamanan masyarakat, realita yang mereka hadapi justru penuh tantangan, ketidakadilan, dan minim penghargaan.
Kurir seringkali diposisikan hanya sebagai 'pengantar' yang bisa dimarahi ketika paket datang telat, dicurigai saat terjadi kesalahan, atau bahkan dikerjai ketika mengantar makanan. Mereka tidak dianggap sebagai pekerja profesional yang menjalankan tugas berat dan berisiko tinggi. Lebih buruknya lagi, sebagian masyarakat belum menginternalisasi pentingnya memperlakukan mereka dengan hormat dan manusiawi. Di sinilah kita menghadapi potret buram perlakuan terhadap kurir di Indonesia isu yang tidak boleh dibiarkan memburuk dalam sunyi.
Realitas yang Tak Terlihat
Profesi kurir di Indonesia identik dengan kerja keras, tekanan waktu, dan ketidakpastian pendapatan. Setiap hari mereka melintasi jalanan dengan waktu kerja yang panjang, minim istirahat, dan risiko tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas. Mereka tidak hanya dituntut untuk cepat, tetapi juga akurat, sabar, dan siap menghadapi beragam karakter konsumen dari yang ramah hingga yang kasar dan merendahkan. Seringkali mereka harus mengantarkan barang ke daerah-daerah yang sulit dijangkau, menembus hujan deras dan kemacetan, hanya untuk menerima upah yang nyaris tidak cukup menutupi kebutuhan hidup bulanan.
Kondisi ini diperparah oleh sistem kemitraan yang diberlakukan oleh banyak perusahaan logistik dan layanan antar digital. Status sebagai "mitra" ini seringkali hanya nama lain dari status informal tanpa perlindungan hukum. Kurir tidak mendapat tunjangan, tidak memiliki asuransi, dan tidak dijamin ketika mengalami kecelakaan kerja. Beban kerja tinggi dengan pendapatan yang fluktuatif membuat banyak kurir terjebak dalam siklus kerja tanpa jaminan masa depan. Mereka bekerja keras, tapi tak memiliki kepastian. Ibarat roda gila yang terus berputar, mereka dituntut terus bergerak agar tidak terlempar keluar dari sistem.
Ironisnya, banyak masyarakat masih memandang kurir sebagai profesi rendahan. Tidak sedikit pelanggan yang bersikap arogan, bahkan kasar, terhadap kurir. Video video viral yang menunjukkan kekerasan verbal dan fisik terhadap kurir bukanlah kasus tunggal melainkan potret dari fenomena sosial yang lebih luas: dehumanisasi terhadap profesi jasa. Mereka diperlakukan seperti objek, bukan subjek yang memiliki hak, martabat, dan perasaan. Mereka menjadi pihak yang paling rentan dalam sistem yang tidak memberikan ruang pembelaan.
Perlu disadari, kurir bukanlah pihak yang bertanggung jawab atas kualitas produk yang dikirim. Mereka hanyalah penyampai, bukan produsen atau pemilik barang. Namun dalam praktiknya, kerap kali mereka dijadikan kambing hitam atas kesalahan yang tidak mereka buat. Barang rusak, pelanggan kecewa, atau paket tertukar semuanya dianggap kesalahan kurir. Padahal dalam rantai distribusi, mereka hanyalah bagian akhir, yang tidak bisa mengontrol apa yang sudah terjadi sebelumnya.
Budaya yang Harus Diubah
Salah satu akar persoalan ini adalah rendahnya literasi digital dan empati sosial. Masyarakat yang terbiasa dengan layanan instan klik, bayar, antar lupa bahwa di balik teknologi ada manusia yang bekerja. Kita terlalu dimanjakan oleh kemudahan, hingga tidak sadar bahwa yang mengantar makanan bukan mesin, melainkan seseorang yang mungkin harus meninggalkan keluarganya demi mengantar pesanan kita tepat waktu. Literasi digital yang lemah memicu ekspektasi yang tidak realistis. Masyarakat berpikir bahwa kecepatan dan kesempurnaan adalah hak mutlak, tanpa toleransi atas keterlambatan atau kesalahan kecil.
Budaya menyalahkan pihak paling bawah menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Dalam struktur sosial kita, masih ada kecenderungan untuk menghormati mereka yang berada di atas pemilik usaha, manajer, pemodal namun merendahkan mereka yang menjalankan pekerjaan lapangan. Kurir berada dalam posisi paling bawah dari rantai layanan, dan karenanya menjadi sasaran empuk kemarahan. Ketika barang tidak sesuai, pelanggan jarang menyalahkan toko atau platform digital, tetapi melampiaskan amarah pada kurir.
Sayangnya, banyak dari kasus kekerasan terhadap kurir tidak ditindak secara serius. Sebagian berakhir damai tanpa proses hukum yang mendidik masyarakat. Padahal, ini adalah momentum penting untuk menegakkan etika, bukan sekadar hukum pidana. Ketika kekerasan terhadap kurir dianggap hal sepele, maka kita sedang menormalisasi kekerasan terhadap profesi jasa. Padahal, dalam negara yang menjunjung hukum, semua bentuk kekerasan harus mendapat respons setara, tanpa memandang status sosial korban.
Solusi dan Aksi Nyata
Permasalahan kompleks yang dihadapi para kurir di Indonesia tidak cukup diselesaikan dengan simpati atau sekadar viralnya kasus di media sosial. Dibutuhkan solusi yang menyentuh akar persoalan, bersifat sistemik, dan melibatkan semua pihak mulai dari negara, perusahaan, hingga masyarakat. Pemerintah perlu segera merevisi regulasi ketenagakerjaan, khususnya yang menyangkut pekerja di sektor digital atau gig economy. Kurir harus dilindungi hak-haknya termasuk hak atas jaminan kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, cuti sakit, hingga tunjangan risiko kerja. Ini bukan pemberian, tetapi keharusan negara dalam menunaikan amanah konstitusi: melindungi seluruh tumpah darah Indonesia.
Perusahaan ekspedisi dan platform layanan antar wajib mengadopsi sistem kerja yang transparan, adil, dan manusiawi. Kurir harus diberikan kontrak kerja yang jelas, upah minimum yang layak, dan sistem pengaduan yang melindungi mereka dari ketidakadilan pelanggan. Sistem insentif sebaiknya tidak semata ditentukan dari kuantitas, tetapi juga dari kualitas layanan dan kondisi kerja. Selain itu, kurir harus diberi pelatihan rutin, perlengkapan keselamatan standar, serta asuransi kecelakaan kerja.
Masyarakat sebagai pengguna layanan juga harus dididik untuk memahami bahwa di balik aplikasi dan layanan cepat ada manusia yang bekerja. Kampanye edukasi publik mengenai pentingnya menghormati kurir bisa dilakukan secara nasional, melalui televisi, media sosial, hingga kurikulum sekolah. Menghargai profesi jasa harus menjadi bagian dari budaya bangsa. Hal sederhana seperti menyapa dengan sopan, memberi tip jika mampu, atau sekadar tidak memaki saat barang telat, bisa menjadi langkah kecil yang mengubah banyak hal.
Kurir juga harus diberdayakan untuk memperjuangkan haknya secara kolektif. Pembentukan komunitas, koperasi, hingga serikat pekerja kurir perlu didorong dan difasilitasi. Dengan wadah yang terorganisasi, para kurir dapat saling mendukung, menyuarakan aspirasinya secara kolektif, serta memiliki daya tawar yang lebih besar di hadapan perusahaan atau pemerintah.
Perlakuan kasar terhadap kurir harus diperlakukan sebagai tindak pidana yang serius, bukan sekadar "kesalahpahaman pelanggan." Aparat penegak hukum harus berani memproses setiap laporan kekerasan atau penghinaan terhadap kurir secara adil dan tegas. Ketika kekerasan terhadap kurir dianggap hal kecil, maka kita sedang melegalkan kekerasan dalam dunia kerja.
Dampak Sosial dan Masa Depan Bangsa
Jika tidak segera ditangani, perlakuan buruk terhadap kurir akan menimbulkan dampak jangka panjang yang serius. Akan terjadi penurunan kualitas layanan secara menyeluruh. Kurir yang tidak merasa dihargai akan kehilangan motivasi, dan ini akan berpengaruh pada performa kerja mereka. Sektor logistik dan ekspedisi akan kehilangan daya tarik sebagai mata pencaharian, sehingga pasokan tenaga kerja akan terganggu. Masyarakat pun akan tumbuh dalam budaya yang tidak sehat budaya merendahkan profesi orang lain, dan itu akan menjadi racun sosial dalam jangka panjang.
Lebih dari itu, ketidakpedulian terhadap kurir mencerminkan kondisi sosial yang timpang. Ketika sebuah negara membiarkan sebagian pekerjanya bekerja keras tanpa perlindungan, itu artinya negara belum sepenuhnya hadir bagi semua warganya. Kurir adalah bagian dari rakyat yang membangun bangsa. Mereka bukan pelengkap, bukan figuran, tetapi pemain utama dalam roda ekonomi modern.
“Ketika jasa tak dihargai,” maka yang tercoreng bukan hanya martabat pekerja, tapi juga wajah kemanusiaan kita sebagai bangsa. Kurir yang mengantarkan barang bukan sekadar pekerja biasa mereka adalah pahlawan zaman baru yang menjaga ritme hidup masyarakat modern. Namun selama ini, mereka diperlakukan seperti roda gigi: dipakai, ditekan, dan dibuang ketika dianggap tidak berguna. Ini adalah bentuk ketidakadilan sosial yang harus segera dihentikan.
Menghargai kurir bukan hanya soal moral, tetapi juga soal visi bangsa. Jika kita ingin membangun Indonesia yang inklusif dan adil, maka kita harus memastikan tidak ada profesi yang diperlakukan lebih rendah dari yang lain. Apresiasi terhadap jasa adalah cerminan dari kematangan sosial suatu bangsa.
Dan pada akhirnya, kita semua punya peran. Pemerintah sebagai pembuat regulasi, perusahaan sebagai penyedia lapangan kerja, dan masyarakat sebagai pengguna jasa. Semua harus berjalan dalam irama yang sama: irama penghargaan, empati, dan keadilan. Karena jika tidak, maka kita sedang menciptakan negeri yang cepat, tapi tidak peduli; modern, tapi tak manusiawi.
Penulis Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prodi Manajemen Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Target Naik, Etika Turun: Dilema Dunia Kerja Modern
Jumat, 11 Juli 2025 18:24 WIB
Ketika Jasa Tak Dihargai: Potret Buram Perlakuan terhadap Kurir di Indonesia
Jumat, 11 Juli 2025 09:12 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler