Viral Boleh, Etis Harus
Sabtu, 12 Juli 2025 15:30 WIB
Menjadi viral tidak masalah, selama tindakan tersebut tidak melanggar keadilan, dan kemanusiaan.
Kebebasan berekspresi di media sosial telah membuka ruang luas bagi siapa saja untuk didengar, terutama Generasi Z yang lahir di tengah ledakan teknologi digital. Seseorang dapat menggunakan sosial media untuk mengemukakan pendapat, mengekspresikan kreativitas, maupun membagikan aktivitas sehari-hari. Namun sayangnya, banyak orang ingin kontennya viral tanpa mempertimbangkan dampak dan nilai dari konten yang dibagikan.
Menjadi viral tidak masalah, selama tindakan tersebut tidak melanggar keadilan, dan kemanusiaan. Nyatanya, konten yang menginvasi privasi, menyebar hoaks, atau merendahkan orang lain justru lebih menarik perhatian publik. Fenomena ini membuktikan, bahwa viralitas tidak selalu demi kebaikan.
Hal ini diperkuat oleh data dari Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan soal validitasi informasi yang beredar di dunia maya karena sebanyak 92,4% berbagai kabar yang ada adalah hoax serta konten kebencian sehingga bisa menganggu perkembangan anak dan remaja. (https://www.komdigi.go.id, 18 September 2018).
Maraknya penyebaran berita hoaks dan konten kebencian di media sosial mencerminkan lemahnya kesadaran etika digital. Alih-alih menyaring informasi dengan bijak, banyak pengguna justru memilih metode yang hanya mengejar perhatian, tanpa memikirkan dampaknya bagi orang lain. Dalam situasi ini, media sosial bukan lagi sekadar alat ekspresi, melainkan telah berubah menjadi sarana untuk memanipulasi opini dan membentuk karakter seseorang.
Konten Tanpa Nurani
Memang saat ini media sosial telah menjadi panggung untuk semua orang. Sayangnya, banyak yang tidak menggunakan kesempatan ini untuk menyebarkan inspirasi tetapi justru untuk mencari sensasi. Konten tidak diproduksi berdasarkan pertimbangan etika, tetapi hanya ditujukan menarik perhatian. Itulah sebabnya maraknya konten dengan mengabaikan empati, dan tanggung jawab sosial.
Dapat dilihat dari banyaknya video yang menunjukkan tindakan merendahkan orang, mempermalukan secara sengaja, hingga provokasi untuk konflik di ruang publik. Tindakan ini semua demi satu hal viral. Seolah-olah makin banyak yang melihat konten tersebut menjadi semakin bangga meskipun mengekspos kebodohan. Mengikuti tren seakan menjadi hal wajib. Nurani manusia seakan hilang dalam perburuan angka dan perhatian.
Tak hanya soal mempermalukan, konten hoaks juga tak kalah berbahayanya. Hoaks menjadi senjata baru yang kerap digunakan. Banyak pengguna yang tak tanggung-tanggung menyebarkan informasi tanpa memeriksa kebenarannya. Satu konten hoaks bisa berdampak luas menimbulkan ketakutan, memecah belah, sampai timbul kebencian terhadap kelompok.
Konten tanpa Nurani juga terlihat dalam bentuk eksploitasi. Anak-anak, orang tua, serta penyandang disabilitas dapat dijadikan sebagai objek tontonan. Selama video disajikan dengan menyentuh dan menghibur, tidak menjadi soal bagaimana pun proses yang dilakukan di belakang layar. Perubahan moral semacam ini menjadi mengkhawatirkan.
Menariknya, banyak penonton yang mengapresiasi tipe konten seperti ini. Komentar dan likes yang terus menerus mengalir membuat para kreator menjadi terjebak dalam suatu kesalahan. Mereka belum mengerti, yang seharusnya diberikan bukanlah dukungan ketenaran sesaat, melainkan dorongan untuk menjunjung etika. Selama hati dan nilai kemanusiaan dijadikan asalan, tidak ada harapan untuk budaya digital yang positif.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan krisis konten berkualitas, tetapi juga krisis moral dan tanggung jawab sosial. Media sosial seharusnya menjadi ruang yang membangun, bukan merusak. Tanpa nilai kemanusiaan sebagai fondasi, ruang digital hanya akan diisi oleh suara bising tanpa makna yang perlahan-lahan mengikis rasa kepedulian terhadap sesama.
Etika Jadi Prioritas
Etika bukan lagi pilihan dalam dunia digital, melainkan keharusan. Dalam era serba cepat ini, kecepatan menyebar tidak boleh mengalahkan kedalaman berpikir. Konten yang bermoral harus lebih dihargai daripada sekadar viral. Kreativitas di media sosial perlu diarahkan pada hal-hal yang menyuarakan kebenaran, mengedukasi masyarakat, serta menumbuhkan empati antarsesama. Tanpa arah moral yang jelas, ruang digital akan berubah menjadi lading kegaduhan tanpa nilai.
Solusi konkret yang harus dijalankan adalah membangun sistem pendidikan karakter digital secara menyeluruh. Pendidikan tidak boleh hanya fokus pada kemampuan teknis atau akademik, tetapi juga pada pembentukan nilai. Siswa harus dibimbing untuk menjadi warga digital yang bertanggung jawab yang tahu kapan harus berbicara, kapan harus diam, dan bagaimana bersikap santun dalam dunia maya. Kesadaran ini tidak datang secara instan, tetapi harus dipupuk sejak dini melalui pendidikan yang konsisten.
Selain pendidikan, perubahan juga harus ditopang oleh tanggung jawab kolektif seluruh pengguna. Budaya saling mengingatkan perlu tumbuh secara organik dalam komunitas digital. Alih-alih diam terhadap konten yang melanggar nilai kemanusiaan, pengguna media sosial harus berani menunjukkan sikap. Dukungan pada konten positif harus dilipatgandakan, sementara konten yang menyinggung, mengeksploitasi, atau menyesatkan harus dihentikan penyebarannya melalui sikap tegas, bukan olok-olok kosong.
Platform digital memiliki tanggung jawab moral yang tidak bisa diabaikan. Mereka harus menjadi penjaga kualitas ruang publik digital, bukan hanya penyedia ruang kosong. Algoritma yang selama ini hanya mengutamakan keterlibatan (engagement) perlu dikaji ulang. Sudah saatnya platform ikut berperan aktif mengangkat konten yang beretika dan memberdayakan. Konten viral tidak boleh berasal dari kebohongan, kekerasan, atau penghinaan, tetapi dari nilai-nilai yang mendidik dan menyatukan.
Etika digital bukan sekadar aturan perilaku, tetapi cermin dari kualitas kemanusiaan kita. Ketika konten tidak lagi diproduksi demi sensasi, tetapi berdasarkan kesadaran dan tanggung jawab, media sosial akan menjadi ruang yang sehat. Ruang di mana kelantangan tidak kehilangan kesantunan, keramaian tidak kehilangan makna, dan viralitas tetap menjunjung nilai kemanusiaan.
Masyarakat digital hari ini tidak kekurangan suara, tetapi kekurangan arah. Dalam hiruk-pikuk konten yang berlomba mencari sorotan, etika harus hadir sebagai penuntun agar kebebasan tidak melukai dan kreativitas tetap berpijak pada nurani. Menjadikan etika sebagai standar bersama bukan hanya soal sopan santun daring, tetapi tentang menjaga martabat manusia di tengah derasnya arus informasi. Saat nurani diberi ruang dan tanggung jawab dipegang teguh, media sosial akan bertransformasi dari ladang kegaduhan menjadi ruang yang mencerminkan kedewasaan dan nilai-nilai peradaban.
Tentang Penulis:
- Fernandez Simarmata merupakan mahasiswa, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
- Helena Sihotang, S.E., M.M merupakan dosen tetap, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Viral Boleh, Etis Harus
Sabtu, 12 Juli 2025 15:30 WIBArtikel Terpopuler