Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd Flores_Nusa Tenggara Timur.\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd Alumni Doktoral Prodi Studi Islam Kajian Dialog Antar Iman di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Vatikan, Kyiv dan Garis Depan Nurani Global
Senin, 21 Juli 2025 13:33 WIB
Tulisan ini merupakan refleksi atas percakapan Paus Leo XIV dan Presiden Zelenskiy yang menyalakan harapan damai di tengah konflik Eropa Timur.
Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge, Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende
Di tengah bayang-bayang perang yang mengguncang Eropa Timur, sinyal dari Vatikan menyalakan harapan baru. Pada Senin, 12 Mei 2025, pukul 20.10 waktu Vatikan, Paus Leo XIV menghubungi Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy via telpon. Disinyalir bahwa momen ini merupakan percakapan diplomatik pertamanya Sripaus dengan Zelenskiy. Bagi saya, ini bukan sekadar seremoni kenegaraan. Panggilan ini menggambarkan kehangatan dan komitmen mendalam terhadap perdamaian, membahas gencatan senjata, nasib anak-anak yang dideportasi, dan sebuah simbol solidaritas spiritual di tengah konflik yang mengoyak kemanusiaan.
Dalam perspektif sosiologi, percakapan antara Paus Leo XIV dan Presiden Zelenskiy bukan sekadar interaksi antarnegara, melainkan manifestasi dari peran institusi agama sebagai aktor moral dalam sistem global yang kompleks. Paus Leo XIV, sebagai pemimpin spiritual umat Katolik, menegaskan bahwa misi kemanusiaan dan perdamaian bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga panggilan moral Gereja untuk melindungi martabat manusia. Misalnya, ketika Paus menyuarakan kepedulian terhadap anak-anak Ukraina yang dideportasi ke Rusia, ia tidak hanya berbicara atas nama Vatikan, tetapi atas nama nilai-nilai universal: kasih, keadilan, dan solidaritas lintas batas.
Sosiologi melihat tindakan ini sebagai bentuk "intervensi simbolik". Otoritas moral seperti Paus Leo XIV menggunakan simbol dan komunikasi untuk membentuk opini publik dan mendorong perubahan sosial. Dalam konteks konflik Ukraina, suara Paus menjadi katalis bagi solidaritas global, memperkuat tekanan internasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Lebih dari itu, undangan kunjungan ke Ukraina oleh Presiden Zelenskiy menjadi simbol rekonsiliasi dan harapan, yang dalam teori sosiologi dapat memperkuat kohesi sosial di tengah trauma kolektif akibat perang.
Paus Leo XIV melanjutkan warisan pendahulunya, Paus Fransiskus, yang dalam pesan Paskah terakhirnya menyerukan: "Cinta telah menang atas kebencian, cahaya atas kegelapan, dan kebenaran atas kepalsuan. Pengampunan telah menang atas balas dendam." Pesan ini menegaskan bahwa perdamaian bukan sekadar hasil negosiasi politik, melainkan buah dari transformasi batin dan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Paus Fransiskus juga menekankan bahwa “tidak ada yang bisa diselamatkan sendirian”, mengajak semua pihak untuk bekerja bersama demi kebaikan umat manusia.
Dalam dunia yang dilanda ketegangan geopolitik dan krisis kemanusiaan, percakapan antara Paus Leo XIV dan Presiden Zelenskiy menjadi titik terang yang menggugah harapan. Sebagai pemimpin spiritual, Paus Leo tidak hanya menyuarakan seruan damai, tetapi juga menghidupkan kembali peran institusi religius sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan. Di tengah fragmentasi sosial dan politik, suara moral dari Takhta Suci menjadi penyeimbang yang mampu menyentuh nurani global. Seperti yang dikatakan oleh Eleanor Roosevelt, “Tidak akan cukup untuk membicarakan tentang perdamaian. Seseorang harus mempercayainya. Dan tidaklah cukup untuk mempercayainya. Seseorang harus bekerja padanya.” Kutipan ini memperkuat bahwa perdamaian bukan sekadar wacana, melainkan tindakan nyata yang harus diperjuangkan bersama.
Lebih dari sekadar diplomasi, panggilan Paus Leo XIV mencerminkan keberanian spiritual untuk melawan ketidakadilan dengan kasih dan solidaritas. Dalam sosiologi, tindakan ini disebut sebagai intervensi simbolik—di mana kekuatan moral digunakan untuk membentuk opini publik dan mendorong perubahan sosial. Ketika dunia terjebak dalam siklus kekuasaan dan konflik, pesan seperti ini menjadi pengingat bahwa perdamaian adalah satu-satunya pertempuran yang layak untuk dilancarkan, sebagaimana ditegaskan oleh Albert Camus: “Peace is the only battle worth waging.” Bahwasanya, perdamaian merupakan satu-satunya pertempuran yang layak untuk diperjuangkan Maka, percakapan ini bukan hanya tentang Ukraina, tetapi tentang seluruh umat manusia yang mendambakan dunia yang lebih adil, damai, dan penuh harapan.***

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Dari Rumah Iman ke Jalan Publik, Misi Spiritual Hari Anak Nasional
Rabu, 23 Juli 2025 16:00 WIB
Vatikan, Kyiv dan Garis Depan Nurani Global
Senin, 21 Juli 2025 13:33 WIBArtikel Terpopuler