Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.
Ke-Indonesia-an Obama
Rabu, 30 Juli 2025 15:20 WIB
Menganalisis ke-Indonesian-an Barack Obama sebagai manifestasi deterritorialisasi identitas yang melampaui batas-batas kewarganegaraan
Menganalisis fenomena "ke-Indonesian" Barack Obama sebagai manifestasi deterritorialisasi identitas yang melampaui batas-batas kewarganegaraan formal. Melalui studi kasus masa kecil Obama di Indonesia (1967-1971) dan pengaruhnya terhadap gaya kepemimpinan globalnya, penelitian ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai Indonesia dapat diwujudkan oleh non-warga negara dan menjadi instrumen soft power transnasional.
Obama sebagai "Indonesian assemblage" membuktikan bahwa identitas nasional dapat berfungsi sebagai sistem nilai deterritorialisasi yang mempengaruhi politik global melalui embodiment individual daripada proyeksi negara. Analisis ini berkontribusi pada pemahaman tentang belonging pasca-nasional dan mekanisme soft power non-konvensional dalam era globalisasi.
Obama dan Paradoks Identitas Transnasional
Ketika Barack Obama mengunjungi Indonesia sebagai Presiden Amerika Serikat pada 2010, sambutan "Pulang kampung nih!" dari rakyat Indonesia mengungkapkan fenomena identitas yang melampaui kategori kewarganegaraan konvensional. Obama, yang tinggal di Indonesia selama empat tahun masa kecilnya (1967-1971), dianggap "pulang" bukan karena status legal melainkan karena ikatan emosional dan nilai yang terbentuk selama periode formatif tersebut. Fenomena ini menantang konsep tradisional tentang identitas nasional dan menunjukkan kemungkinan belonging yang deterritorialisasi.
Benedict Anderson dalam "Imagined Communities" (1983) menjelaskan bagaimana identitas nasional dikonstruksi melalui narasi dan simbol bersama. Namun, kasus Obama menunjukkan bahwa "komunitas terbayang" dapat melampaui batas-batas administratif negara dan mencakup individu yang mengalami formasi nilai di dalam konteks budaya tertentu, terlepas dari kewarganegaraan formalnya. Makalah ini berargumen bahwa Obama merepresentasikan bentuk baru identitas transnasional yang berbasis pada nilai daripada dokumentasi legal.
Kerangka Teoritis: Deterritorialisasi dan Assemblage Identitas
Konsep Deterritorialisasi Deleuze-Guattari
Gilles Deleuze dan Félix Guattari dalam "A Thousand Plateaus" (1980) mengembangkan konsep deterritorialisasi sebagai proses pembebasan elemen-elemen dari konfigurasi teritorial yang stabil menuju formasi assemblage yang baru. Dalam konteks identitas, deterritorialisasi memungkinkan liberation dari keterikatan geografis atau etnisnya menuju belonging yang berbasis pada affinitas nilai dan pengalaman.
Obama sebagai subjek deterritorialisasi menunjukkan bagaimana identitas tidak terikat pada tempat kelahiran atau kewarganegaraan formal, melainkan pada internalisasi sistem nilai melalui pengalaman hidup. Masa kecilnya di Indonesia menciptakan "Indonesian assemblage" - konfigurasi nilai, memori, dan praktik yang teraktualisasi dalam kepribadian dan gaya kepemimpinannya kemudian.
Soft Power dan Identitas Transnasional
Joseph Nye dalam "Soft Power: The Means to Success in World Politics" (2004) mendefinisikan soft power sebagai kemampuan mempengaruhi melalui daya tarik daripada koersi. Namun, konsepnya masih berpusat pada negara sebagai aktor utama. Kasus Obama menunjukkan mekanisme soft power yang lebih kompleks: individu transnasional yang membawa nilai-nilai satu budaya ke dalam konteks kekuasaan global.
Arjun Appadurai dalam "Modernity at Large" (1996) menganalisis bagaimana globalisasi menciptakan "scapes" - aliran transnasional yang mencakup ideoscapes (aliran ide dan nilai). Obama dapat dipahami sebagai "Indonesian ideoscape" yang beroperasi dalam konteks American political landscape, menciptakan hybrid forms of governance yang menggabungkan nilai-nilai dari berbagai tradisi budaya.
Formasi Identitas Indonesian Obama: Analisis Biografis
Pengalaman Formatif di Indonesia (1967-1971)
Periode tinggal Obama di Indonesia selama masa kecil menciptakan foundational experience yang membentuk worldview-nya. Scott menurut biografer David Maraniss dalam "Barack Obama: The Story" (2012), Obama mengalami:
1. Multikulturalisme Praktis: Hidup dalam lingkungan yang beragam secara religius dan etnis, mengembangkan kemampuan navigasi kompleksitas budaya yang kemudian menjadi signature leadership style-nya.
2. Resilience dan Adaptabilitas: Menghadapi transisi budaya yang signifikan mengembangkan kapasitas adaptasi yang memungkinkannya beroperasi dalam konteks politik yang kompleks dengan tenang dan measured approach.
3. Community Embeddedness: Pengalaman hidup dalam kultur gotong royong mengembangkan understanding tentang collective responsibility yang kemudian teraktualisasi dalam community organizing dan collaborative leadership approach.
Internalisasi Nilai-Nilai Indonesia
Analisis terhadap gaya kepemimpinan Obama menunjukkan internalisasi nilai-nilai Indonesia yang spesifik:
- Musyawarah-Mufakat Approach: Obama's preference untuk consensus-building dalam politik Amerika menunjukkan aplikasi Indonesian deliberative democracy principles. Hal ini kontras dengan adversarial politics yang dominan dalam sistem Amerika.
- Emotional Regulation: Yang sering disebut sebagai "No Drama Obama" mencerminkan Indonesian cultural value tentang emotional restraint dan measured response dalam menghadapi konflik.
- Inclusive Pluralism: Obama's approach terhadap religious diversity dan cultural differences menunjukkan internalisasi Bhinneka Tunggal Ika principles dalam context American society yang polarized.
Obama sebagai Indonesian Assemblage dalam Politik Global
Deterritorialized Indonesian Values
Obama merepresentasikan fenomena unique: seorang leader global yang membawa Indonesian values ke dalam highest levels of international politics tanpa formal affiliation dengan Indonesia. Ini menunjukkan deterritorialisasi yang successful - nilai-nilai Indonesia yang beroperasi beyond geographical boundaries melalui individual embodiment.
Dalam foreign policy approach-nya, Obama menunjukkan preference untuk multilateral diplomacy dan conflict resolution yang resonan dengan Indonesian tradition of non-aligned movement dan peaceful conflict resolution. ASEAN Way diplomacy yang menekankan consensus dan non-interference dapat dilihat dalam Obama's approach terhadap international relations.
Transnational Soft Power Mechanism
Obama sebagai Indonesian assemblage menciptakan mekanisme soft power yang berbeda dari conventional state-to-state influence. Indonesian values gain global visibility dan credibility melalui demonstration dalam American presidency context. Ini menciptakan apa yang dapat disebut "indirect soft power" - Indonesia mendapat influence global tidak melalui direct projection tetapi melalui embodiment nilai-nilainya oleh global leader.
Penelitian oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa global favorability terhadap America meningkat significantly selama Obama presidency, partly attributed kepada his inclusive approach dan cultural sensitivity yang can be traced back to his Indonesian formative experience.
Implikasi untuk Teori Identitas dan Belonging
Post-National Citizenship
Kasus Obama menunjukkan emergence of post-national forms of citizenship yang tidak tergantung pada legal documentation tetapi pada value alignment dan cultural affinity. Ini sejalan dengan pemikiran Jürgen Habermas tentang "constitutional patriotism" (1992) tetapi extends beyond national framework menuju transnational value communities.
Obama's Indonesian identity menunjukkan bahwa belonging dapat bersifat multiple dan non-exclusive. Seseorang dapat simultaneously be American (legal citizenship) dan Indonesian (value citizenship) tanpa contradiction. Ini challenges essentialist notions of national identity dan membuka possibilities untuk more fluid forms of political belonging.
Global Indonesian Identity
Fenomena Obama menunjukkan potential untuk global expansion of Indonesian identity melalui value adoption daripada ethnic affiliation. Indonesian diaspora traditional berbasis pada blood dan cultural continuity, tetapi Obama case suggests possibility of "elective Indonesian identity" yang accessible kepada anyone yang internalize Indonesian values.
Implikasi Kebijakan dan Praktis
Strategi Soft Power Indonesia
Kasus Obama menunjukkan potential untuk Indonesian soft power strategy yang berbeda dari conventional approaches. Rather than focusing pada cultural diplomacy atau economic engagement, Indonesia dapat:
1. Value-Based Education Exchange: Develop programs yang memungkinkan foreign students untuk deeply experience Indonesian values melalui immersive cultural education.2. Leadership Development Programs: Create international leadership programs yang integrate Indonesian wisdom traditions dengan modern management techniques.3. Diaspora Engagement: Recognize dan engage dengan "elective Indonesian diaspora" - foreign nationals yang adopt Indonesian values dan dapat serve sebagai informal ambassadors.
Global Citizenship Education
Obama case study dapat inform global citizenship education programs yang emphasize value-based belonging daripada exclusively national identity. Educational institutions dapat develop curricula yang teach students untuk appreciate dan potentially adopt values dari different cultures as part of their personal development.
Analisis terhadap "ke-Indonesian" Barack Obama mengungkapkan possibilities untuk identity formation yang melampaui traditional boundaries of citizenship dan nationality. Obama sebagai Indonesian assemblage menunjukkan bahwa national values dapat become transnational melalui individual embodiment dan can influence global politics dalam ways yang unexpected.
Fenomena ini has broader implications untuk understanding identity dalam era globalization. Sebagai individuals become increasingly mobile dan exposed kepada multiple cultural contexts, possibilities untuk multiple value citizenships dan transnational belonging akan continue to expand. Obama's case suggests bahwa this can be positive force untuk global governance, bringing diverse wisdom traditions into dialogue dalam international political arena. "Pulang kampung nih!" kepada Obama reveals deeper truths tentang nature of belonging dalam interconnected worl Home (kampung) dapat be defined bukan hanya by geography tetapi by values dan experiences yang shape character. Obama's Indonesian journey suggests bahwa in age of globalization, we all have potential untuk become citizens of multiple value communities, enriching both ourselves dan the communities we lead.

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Parau
5 hari laluArtikel Terpopuler