Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.

Singularitas,Roh Absolut, Subjektivitas dan Makna Keikhlasan #2

Kamis, 7 Agustus 2025 10:01 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Apa itu Singularitas? | NewEngineer
Iklan

Untuk memahami bagaimana singularitas dapat diartikulasikan dalam praktik sosial konkret, analisis terhadap sistem habitat ekologis petani

*Menyambung artikel sebelumnya.

Sistem Ekologis Petani sebagai Model Singularitas Konkret

Untuk memahami bagaimana singularitas dapat diartikulasikan dalam praktik sosial konkret, analisis terhadap sistem habitat ekologis petani memberikan insight yang crucial. Sistem ini menunjukkan bagaimana remainder dapat dipertahankan dalam praktik yang sustainable tanpa terjebak dalam romantisasi pastoral atau komodifikasi "sustainable lifestyle" (Scott, 1998).

Karakteristik fundamental dari sistem ekologis petani yang relevan dengan diskusi singularitas meliputi: pertama, temporalitas siklis yang mengikuti rhythm musiman alih-alih target produksi yang imposed dari luar; kedua, ekonomi gift dan reciprocity yang beroperasi di luar logika akumulasi kapital; ketiga, knowledge system yang embodied dan site-specific yang menolak universalisasi; dan keempat, relasi kolaboratif dengan entities non-human yang mengakui agency dari yang lain-dari-manusia.

Sistem ini menunjukkan resistensi inherent terhadap standardisasi, scalability, monetisasi, dan akselerasi - karakteristik utama dari logika kapitalis modern. Resistensi ini bukan berdasarkan ideologi atau program politik, melainkan pada necessitas material dan ketidakmungkinan untuk fully abstracted dari kondisi ekologis spesifik. Dalam terminologi Deleuze dan Guattari, sistem ini beroperasi sebagai "mesin perang" (war machine) yang menolak capture oleh apparatus negara atau pasar (Deleuze & Guattari, 1980).

Kritik terhadap Logika Totalisasi dalam Modernitas

Modernitas ditandai oleh upaya sistematis untuk mentotalisasi realitas melalui representasi rasional dan kontrol teknologis. Dalam konteks ini, setiap bentuk singularitas cenderung untuk di-capture dan ditransformasi menjadi commodity atau spectacle. Proses ini tidak hanya terjadi dalam ranah ekonomi, tetapi juga dalam domain politik, budaya, dan bahkan spiritualitas (Debord, 1967).

Dalam ranah politik, totalisasi manifes melalui mekanisme eksklusi yang menciptakan kategori "kafir" - tidak dalam pengertian teologis sempit, tetapi sebagai teknologi kekuasaan yang membagi subjek menjadi yang legitimate dan illegitimate. Kategori ini berfungsi sebagai boundary-making mechanism yang menciptakan interior/exterior dari tatanan politik dominan. Setiap subjek yang tidak fit dengan logika representasi dominan diposisikan sebagai ancaman yang harus dieliminasi atau diasimilasi.

Dalam ranah budaya, totalisasi beroperasi melalui industri budaya yang mentransformasi setiap bentuk kreativitas menjadi produk konsumsi. Bahkan bentuk-bentuk resistensi cultural pun cepat di-co-opt dan ditransformasi menjadi lifestyle brand. Hal ini menciptakan situasi paradoksal di mana semakin banyak diversity yang diproduksi, semakin homogen logika yang mendasarinya.

Keikhlasan sebagai Etika Epistemologi

Dalam konteks kritik terhadap logika totalisasi, keikhlasan dalam subjek pengetahuan tidak dapat dipahami sebagai virtus individual, melainkan sebagai etika epistemologi yang fundamental. Keikhlasan di sini merujuk pada modus relasi dengan pengetahuan yang mengakui keterbatasan inherent dari setiap sistem kognitif untuk mengcapture totality realitas.

Etika epistemologi ini melibatkan beberapa dimensi: pertama, humility cognitif yang mengakui bahwa setiap pengetahuan adalah perspektival dan partial; kedua, openness terhadap encounter dengan yang tak terduga yang dapat mengganggu framework kognitif yang existing; ketiga, resistance terhadap temptation untuk mentransformasi yang lain menjadi objek pengetahuan yang dapat dikuasai sepenuhnya; dan keempat, commitment terhadap praxis yang mengintegrasikan pengetahuan dengan tindakan concrete.

Keikhlasan dalam pengertian ini bukanlah passivitas atau anti-intelektualisme, melainkan active engagement dengan kompleksitas realitas yang menolak reduksi. Ini adalah pengetahuan yang aware terhadap kondisi sosial dan politik dari produksi pengetahuan itu sendiri, termasuk power relations yang terlibat dalam setiap knowledge claim.

Pluralitas Sosiologis dan Remainder sebagai Locus Resistensi

Pluralitas sosiologis dalam konteks modernitas lanjut tidak dapat dipahami sebagai simple diversity atau multiculturalism liberal. Pluralitas genuine melibatkan encounter dengan forms of life yang beroperasi dengan logika yang fundamentally different dari mainstream society. Dalam setiap sistem social yang complex, selalu ada remainder - elemen-elemen yang tidak dapat diasimilasi sepenuhnya ke dalam logika dominan.

Remainder ini bukan sekadar kegagalan dari sistem integrasi, melainkan menunjukkan impossibility fundamental dari closure total. Dalam ranah sosiologis, remainder manifes dalam berbagai bentuk: komunitas-komunitas yang logika hidupnya tidak compatible dengan logika dominan, praktik-praktik social yang operate dengan temporalitas yang berbeda dari acceleration kapitalis, dan forms of solidarity yang tidak berbasis pada kalkulasi utilitarian.

Yang crucial adalah bahwa remainder ini tidak dapat diartikulasikan melalui representasi politik conventional tanpa kehilangan character authentic-nya. Setiap upaya untuk mentransformasi remainder menjadi program politik yang coherent justru menghancurkan resistensi inherent-nya terhadap totalisasi. Oleh karena itu, articulation remainder membutuhkan forms of politics yang non-representational dan non-programmatic.

Implikasi untuk Praktik Sosial Kontemporer

Analisis terhadap singularitas, roh absolut, dan keikhlasan dalam konteks pluralitas sosiologis memiliki implikasi penting untuk praktik sosial kontemporer. Pertama, dalam ranah politik, ini menunjukkan perlunya forms of organizing yang horizontal dan rhizomatic, yang tidak berbasis pada representasi atau command structure hierarchical.

Kedua, dalam ranah ekonomi, ini menunjukkan potensi dari forms of exchange yang tidak sepenuhnya commodified - seperti gift economy, mutual aid, dan commons-based resource sharing. Forms ini tidak anti-modern dalam pengertian reactionary, melainkan pointing toward possibilities yang exceed logika kapitalis.

Ketiga, dalam ranah knowledge production, ini menunjukkan perlunya epistemology yang participatory dan collaborative, yang mengintegrasikan different forms of knowing dan mengakui legitimacy dari non-academic knowledge systems.

Keempat, dalam ranah cultural, ini menunjukkan importance dari spaces dan practices yang maintain character remainder-nya - yang tidak fully captured oleh industry budaya atau tourism commodity.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Kontributor Pojok Desa

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler