Sorot Mata Menyingkap Sore dalam Kata

Minggu, 10 Agustus 2025 21:34 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Sore: Istri dari Masa Depan
Iklan

Seorang permepuan bersahabat dengan waktu demi mengubah takdir rumah tangganya yang berkahir tragis.

***

Terbelalak mataku! Susah disangkal! Terlalu indah untuk sesaat. Terlalu cepat untuk berlangsung.

Kiranya begitulah reaksi diri ini pasca menyaksikan film Sore: Istri dari Masa Depan. Film ini tidak hanya menyuguhkan romansa klise akan sebuah persistensi seorang hawa kepada adam yang dicintainya, namun menjadi bukti wujud yang nyata dari para sineas yang mencintai, bahkan sangat mencintai layar sinema untuk menjalani prosesnya.

Film ini mengisahkan seorang hawa bernama Sore yang diberikan kesempatan Ilahi berkawan bersama "waktu". Ia menjalankan misi untuk mengubah alur kehidupan rumah tangganya, karena dalam delapan tahun kedepan suaminya yang Jonathan alias Jo meninggal akibat serangan jantung. Atas kekuatan cinta Sore yang sangat amat mendalam, akhirnya ia mendapatkan keistimewaan untuk berkompromi dengan "waktu". Ia dapat mengulang waktu bersama suaminya dari sebelum mereka bertemu.

Alur cerita ini sangatlah utopis. Namun karena itulah, film ini menjadi terlihat sangat humanis kala kita melihat dari kacamata emosi manusia. Berdasar pada fase kesedihan manusia, Sore menanggapi kesedihannya sepeninggal suaminya dalam lima tahap. Hal tersebut ialah: Denial, Anger, Bargaining, Depression dan yang menjadi puncak adalah Acceptance.

Jujur saja, pada satu titik alurnya, film ini akan menjadi sangat manusiawi ketika diantara kita pernah merasakan betapa hancur, remuk, sedih, risau dan segala emosi kelabu dalam hidup disaat kita ditinggalkan oleh orang yang sangat kita cintai. Dalam pikiran dan benak kita disaat seperti itu, kita akan berucap “Andai waktu dapat ku ulang, tak akan ku biarkan apapun di dunia ini yang dapat memisahkan” Lalu, bayangkan apa yang kita pikirkan akan hal tersebut ternyata diizinkan semesta dan seketika semua berubah untuk kembali di masa lalu untuk kita memperbaiki semuanya.

Cinta yang teramat sangat adalah ketika dimana cinta dapat menggerakkan manusia hingga pada titik ingin melawan garis alam namun dipenghujung batin kita menyadari bahwa ternyata itu tak akan melekat. Menyakitkan. Akan tetapi, itu adalah sebuah keniscayaan. Maka bersiaplah untuk selalu mengerti dan memahami bagaimana cinta dan bentuknya agar kelak kita tak merasa sia dan sesal ketika kita tak pernah benar-benar merasakan kekuatan cinta.

MEMPESONA.  Mungkin itu hal yang bisa kita utarakan betapa ciamiknya tiap angle shoot pada setiap scene yang disajikan. Tak pernah hilang dalam memori saat disuguhkan hamparan luas kutub utara dari atas kapal Sampo yang membawa Jonathan menjelajahi dunianya.  Dingin, tenang, namun menusuk bersama sepi, lalu berjalan perlahan menghampiri kita sebagai penonton. Begitu putih, dengan biru kelabu yang mematikan. Beberapa kali sempat terbesit pertanyaan, “Gimana bisa dapet seperti ini?”

Namun tak berhenti disitu, ternyata setiap scene kita akan dibuat terbelalak dengan seiring rasa yang sangat mengharu. Adegan Sore mengajak Jonathan ke ruangan penyimpanan roll film milik Jo, dengan melewati beberapa jemuran menjadi transisi POV yang teramat intim dengan suara angin yang terdengar tipis berdesis.

Setelahnya, scene dimana Jonathan dan Sore kala sedang camping bersama lalu diwujudkannya adegan Jonathan yang sedang memburu senja bersama Sore di pinggir tebing pantai. Begitu anggun. Hal tersebut tidak hanya sekali tergambar, namun berkali – kali diungkapkan karena dasar alur cerita yang memang time looping.

Tentunya, itu semua tak akan dapat tertangkap tanpa kepekaan serta naluri visual yang ada pada masing – masing diri para sineas.

Film ini adalah mahakarya tangan dingin yang cemerlang dari seorang Yandy Laurens. Sineas lulusan IKJ (Institut Kesenian Jakarta) itu benar–benar berhasil pada tiap masterpiece nya dengan menyuguhkan asupan visual yang sangat menyentuh indera manusia.

Film ini merupakan eksekusi purna yang sebelumnya tertuang dalam web seriesnya yang juga diperankan oleh one of the best actor in Indonesia: Dion Wiyoko. Dion dengan mata yang sama tak ada pembedanya baik dalam webseriesnya hingga terputar di layar lebar. Kosong, memekik, hampa, dan sepi. Itu yang dapat kita terima dari seorang Dion ketika menjelma menjadi Jonathan dalam kisah ini.

Sementara Sore yang diperankan oleh Sheila Dara, begitu ikonik. Tatapan, senyuman, tinggi semampai manis ayu khas lokal menjadi representasi perempuan penuh kehangatan nan bersahaja di film ini.

Sore pun menjadi standar baru untuk karya sinema di Indonesia. Ide gagasan, DOP, wardrobe, setting begitu elok dan padu untuk film bergenre romansa.

Selain film ini, karya terbaik Yandy lainnya adalah Jatuh Cinta Seperti di Film-film” (Ringgo Agus Rahman dan Nirina Zubir), Keluarga Cemara (Ringgo Agus Rahman dan Nirina Zubir) dan film pendek yang tak kalah menyentuh berjudul Wan An (Hengky Sulaiman dan Maria Oentoe)

Bagikan Artikel Ini
img-content
Kurnia Ibrahim

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Sorot Mata Menyingkap Sore dalam Kata

Minggu, 10 Agustus 2025 21:34 WIB
img-content

Duka Anwar Kala 1942

Minggu, 12 November 2023 18:25 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler