Danantara: Mesin ‘Austerity’ Prabowo

Senin, 18 Agustus 2025 16:53 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pemotongan-penghematan (Foto: Freepik)
Iklan

Lupakan janji manis tentang Danantara. Ia tak lebih dari instrumen untuk mencapai tujuan kebijakan pengetatan anggaran yang sebenarnya.

***

Terselip di antara berita-berita mutakhir tentang Danantara: bersama Indonesia Investment Authority dan PT Chandra Asri Pacific Tbk., badan ini bersepakat akan menginvestasikan sekitar Rp 13 triliun di pabrik kimia baru milik Chandra Asri. Sangat boleh jadi pertanyaan akan timbul tentang bagaimana janji bahwa badan pengelola kekayaan negara yang baru ini bakal berfokus pada proyek-proyek yang mendukung pembangunan keberlanjutan. Tapi, kalaupun keberlanjutan memang bukan bunga bibir belaka, yang realistis adalah mengantisipasi langkah yang sebaliknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alih-alih menyokong kegiatan ekonomi yang berkontribusi memitigasi bencana lingkungan, melalui pengurangan konsumsi energi fosil (dan karena itu juga emisinya) serta ekstraksi ugal-ugalan sumber daya alam, penanaman modal itu akan mendukung pengembangan pabrik klor alkali-etilen diklorida. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kapasitas produksi klor alkali dan etilen diklorida, material penting bagi industri hilir--di antaranya pengolahan nikel dan PVC (polyvinyl chloride) serta berbagai macam plastik.

Sulit dipercaya ada kesadaran terhadap kegentingan situasi ekologi di situ. Dan langkah “strategis” tersebut hanya satu saja dari berbagai megaproyek yang sejauh ini telah ditawarkan kepada Danantara; sebagian besar merupakan kegiatan yang sulit dikategorikan bertujuan atau bersesuaian dengan urgensi menjalankan aksi iklim, terutama untuk mendekarbonisasi ekonomi.

Berdasarkan studinya, Center of Economic and Law Studies (Celios) mencatat, dari 17 proyek yang diunjukkan per Juli lalu, hanya lima yang dapat digolongkan memiliki obyek garapan yang bertalian dengan keberlanjutan. Sebagian besar adalah kegiatan yang mustahil membawa kita ke trajektori sebagaimana digariskan dalam Perjanjian Paris.

Sayangnya, sejauh ini tidak dapat diketahui bagaimana Danantara menilai keberlanjutan. Transparansi rupanya tidak dipentingkan. Kalaupun ada daftar kriterianya, kesan bahwa keberlanjutan merupakan tujuan yang kontradiktif dengan alasan keberadaannya, atau merupakan hal terakhir yang diutamakannya, tetap sulit dihalau.

Dibentuk pada awal tahun ini, Danantara berdiri di atas landasan hukum yang dibuat tergesa-gesa. Ia mendapat rol sebagai bagian (atau instrumen demi mencapai tujuan tertentu, yang sangat boleh jadi terkait dengan konsolidasi kekuasaan dan kepentingan-kepentingan ekonomi yang elitis) dari keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk mengetatkan anggaran di hampir semua kementerian dan lembaga pemerintah. Bungkusnya adalah langkah penghematan. Tapi watak dari pengetatan itu bekerja efektif, sesuai pola umumnya: menghentikan atau melemahkan peran negara dalam penyelenggaraan aneka macam layanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan lain-lain.

Untuk apa dana yang dihimpun dari pengetatan tersebut? Kita sudah tahu: untuk melahirkan Danantara. Dari total Rp 500-an triliun hasil “penghematan” pada tahun anggaran ini, sekitar Rp 300 triliun digunakan sebagai suntikan modal awalnya. Ini di luar Rp 100-an triliun dividen badan usaha milik negara yang telah ditetapkan tidak akan disetorkan lagi ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.

Dengan langkah-langkah yang telah dijalankannya sejauh ini, sangat jelas, Danantara tak bisa dipisahkan dari kerangka pengetatan fiskal yang dijalankan pemerintah. Inilah pola austerity yang merupakan fitur normal dalam sistem ekonomi yang berlaku: publik dikorbankan, modal diselamatkan.

Danantara sebetulnya tidak sendiri dalam pelaksanaan kebijakan itu. Ada yang lain, yakni program makan bergizi gratis. Tapi keduanya jelas berbeda secara substansial. Makan bergizi gratis--ya, frasa ini mengandung “janji” indah--hanyalah karitas. Ia digulirkan menggunakan duit negara, yang lalu ada pihak-pihak pelaksana yang diuntungkan, ialah, seperti dilaporkan Tempo (20 April 2025), mereka yang “terafiliasi dengan Prabowo, melalui kekerabatan, pertemanan, organisasi, pengurus partai, hingga relawan dan simpatisan pendukungnya dalam pemilihan presiden 2024”.

Sebagai kebijakan ekonomi, panjang sejarah pengetatan anggaran. Ia selalu menjadi resep--obat dan takarannya--di kalangan ekonom, dengan dukungan politikus, bagi keadaan ekonomi yang memerlukan “penyehatan”. Yang kerap disebut sebagai “penyakit” adalah kondisi ketika timbul efek crowding out, yakni manakala belanja pemerintah naik dan menekan atau bahkan menyingkirkan belanja sektor swasta.

Yang sebenarnya terjadi, hanya jarang diketahui karena memang ditutup-tutupi, adalah ini: pengetatan merupakan kebijakan yang lahir dari krisis yang mendera kapitalisme. Ia dijalankan untuk mempertahankan kapital atau modal sebagai relasi sosial yang dengannya kelompok mayoritas tak punya pilihan lain demi mendapatkan upah dan, tersebab oleh itu, memproduksi nilai yang justru dikantongi pihak lain--sebuah sistem (ekonomi) yang sama sekali tak demokratis, yang secara ajek membantu segelintir pemilik modal. Hal ini dilakukan dengan cara mengalihkan sumber daya dari kelompok mayoritas, publik, ke kelompok minoritas, para pemodal itu.

Ada dua strategi dalam menjalankan pengetatan, yakni konsensus dan koersi atau pemaksaan. Dalam praktiknya koersi mengandung tiga elemen yang lazim disebut sebagai austerity trinity (Clara E. Mattei, 2022): fiskal, moneter, dan industri.

Elemen fiskal, opsi utama dalam kebijakan pengetatan, punya dua aspek: pengeluaran dan penerimaan. Aspek pengeluaran dilakukan dengan memotong alokasi dana yang mestinya dibelanjakan demi pelayanan dan pemenuhan kebutuhan sosial, di antaranya untuk sekolah, jalan, dan kesehatan--sebagai bagian dari pengeluaran untuk kesejahteraan dan kebutuhan sosial yang fundamental.

Tujuan yang mau dicapai dari pemangkasan itu adalah menggunakan dana yang didapat untuk keperluan lain, termasuk membayar utang kepada kreditur di dalam negeri maupun di luar negeri. Sumber daya, karenanya, berpindah dari publik, yang mayoritas, ke pihak-pihak swasta, yang minoritas.

Aspek kedua, penerimaan, direalisasikan melalui pemungutan pajak. Dengan pajaklah pemerintah membiayai pelayanan untuk publik. Masalahnya, pajak yang diberlakukan umumnya justru membebani kelompok masyarakat berpendapatan rendah ketimbang kelompok kaya. Pajak ini bersifat regresiflah. Misalnya pajak konsumsi--atau pajak pertambahan nilai.

Elemen kedua, moneter, pada dasarnya dijalankan untuk menjadikan uang lebih mahal didapat. Caranya, dengan mengatrol suku bunga dan mengurangi jumlah uang beredar. Efek kenaikan suku bunga terasa langsung pada mereka yang hidup dengan menanggung utang--dari penggunaan kartu kredit, pembelian rumah dengan pinjaman bank, dan sebagainya. Beban cicilan yang harus mereka bayar membengkak. Sebaliknya, mereka yang punya duit dan menjadi kreditur malah mendapat peruntungan.

Tentu saja, dalam jangka panjang, konsekuensi yang juga tak terhindarkan dari langkah moneter adalah membengkaknya jumlah pengangguran. Situasi ini timbul karena berkurangnya investasi--akibat suku bunga yang tinggi. Dengan pengangguran bertambah, posisi tawar pekerja pun melemah; investor jadi bisa merekrut pekerja secara murah.

Sebenarnya, sebagai akibat dari hal itu adalah ekonomi akan berkontraksi. Tapi situasi ini dipandang sebagai biaya jangka pendek yang bagaimanapun harus ditanggung demi kondisi struktural jangka panjang yang lebih menguntungkan--yakni bertahannya kapitalisme.

Elemen terakhir, industri, dilakukan melalui privatisasi, penjualan perusahaan negara kepada pemilik modal swasta. Inti dari langkah ini adalah, pada muaranya, memaksakan ketergantungan pekerja terhadap pasar, terhadap absennya alternatif selain mau bekerja dengan tingkat upah yang berlaku (biasanya sudah ditekan di level yang rendah).

Langkah industrial sangat berkaitan dengan dua langkah yang lain. Misalnya, ketika suku bunga naik, investasi akan menurun dan pengangguran meningkat. Dalam situasi ini mereka yang punya pekerjaan akan mati-matian mempertahankannya. Tanpa melakukan hal itu posisi mereka rawan. Pemutusan hubungan kerja bisa sewaktu-waktu terjadi, sedangkan mencari pekerjaan baru bakal sulit.

Di luar elemen moneter, Danantara bisa dibilang berfungsi sebagai instrumen dalam elemen fiskal--terutama pada aspek pengeluaran--dan industri. Ia menjadi perantara pengalihan sumber daya dengan menyalurkan dana ke berbagai proyek, bahkan menyuntikkan shareholder loan kepada Garuda Indonesia dan mau menjadi juru selamat untuk mengatasi utang raksasa proyek kereta cepat Whoosh.

Dalam elemen industri, Danantara bekerja layaknya pintu masuk bagi privatisasi terselubung. Dana publik dari pengguntingan belanja sosial dialihkan untuk menopang ekspansi sektor-sektor yang menguntungkan segelintir pemilik modal. Ia bukan sekadar wadah parkir anggaran; ia adalah mesin yang mengembalikan fungsi industri negara ke logika korporasi--menyelamatkan perusahaan besar, menutup kerugian bisnis, atau membangun kapasitas produksi baru berbasis bahan baku ekstraktif.

Tentu saja, dengan logika industrial semacam itu pekerja semakin terikat pada pasar dengan upah rendah. Posisi pemilik modal, sebaliknya, kian kukuh sebagai penentu arah pembangunan.

Dengan kata lain, Danantara menggabungkan dua wajah austerity sekaligus: ia memotong dari publik, lalu memberi kepada pemilik modal.

Maka, jelas, penggunaan anggaran negara untuk Danantara, meski dikemas dengan janji akan menciptakan lapangan kerja bermutu, mengandung masalah fundamental. Ia bisa terdengar indah. Hanya saja, satu hal ini tak terbantahkan: pengetatan anggaran mungkin rasional bagi logika profit (atau logika tentang bagaimana sistem yang ada berfungsi), tapi ia adalah tindakan irasional bagi logika kebutuhan manusia serta urgensi pencapaian tujuan keberlanjutan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

5 Pengikut

img-content

Stop Mengubur Karbon, Mulailah Mengubur Kebohongan

Senin, 29 September 2025 06:44 WIB
img-content

Tiada Pemerataan Tanpa Demokrasi di Tempat Kerja

Kamis, 18 September 2025 06:52 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

Lihat semua