Civil Society jadi Model Relasi NGO dengan Pemerintah
2 hari lalu
Civil society adalah kekuatan penyeimbang. Ia bukan hanya mendukung pemerintah, tetapi juga mengawasi dan mengkritisi.
***
Artikel dibawah ini merupakan ringkasan materi yang penulis sampaikan di dalam kegiatan Diskusi Publik : Hubungan APH, Pemerintah, Korporate, dan NGO Menuju Indonesia Emas 2045, diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Pangkal Perjuangan Indonesia (PPI), Karawang, pada tanggal 21 Agustus 2025.
Kegiatan yang masuk kategori Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM), salah satu bagian dari Tridarma Perguruan Tinggi, yaitu Penelitian, Pengajaran, dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
Memasuki pertengahan 1980-an dan awal 1990-an panggung politik di dunia internasional dikejutkan tiga ledakan peristiwa politik besar, yaitu terjadinya gelombang parlawanan masyarakat sipil dalam menggulingkan sistem otoriter-totaliter dibeberapa negara.
Penulis memberikan materi, Diskusi Publik: Hubungan APH, Pemerintah, Korporate, dan NGO Menuju Indonesia Emas 2045
Pertama, runtuhnya tembok Berlin yang memisahkan antara Jerman Barat dan Jerman Timur, peristiwa terjadi pada 9 November 1989. Kedua, ambruknya ideologi Marxisme-Komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur, terjadi pada 26 Desember 1991. Ketiga, tergulingnya rezim Marcos atas desakan people power melibatkan ratusan ribu massa rakyat turun ke jalan-jalan, berlangsung pada 22–25 Februari 1986, menuntut perubahan sistem politik di Filipina ke arah lebih demokratis.
Gelombang perlawanan rakyat itu ternyata memiliki kesamaan, ketiganya dimotori kekuatan terorganisir bernama masyarakat sipil (civil society).
Pasca tiga gelombang besar perlawanan civil society yang berhasil menggulung penguasa tirani di Jerman Timur, Uni Soviet, dan Filipina. Wacana tentang civil society menjadi kajian politik hampir diseluruh penjuru dunia.
Berbagai seminar digelar dimana-mana, terlebih di negara-negara otoriter-totaliter konsep civil society tentunya tidak sekedar wacana diperbincangkan kalangan akademisi di ruang kuliah atau ruang seminar, juga dipraksiskan para aktifis pro demokrasi dalam menggalang kekuatan menjatuhan rezim tirani, termasuk di Indonesia ketika itu dibawah bayang-bayang pemerintahan Orde Baru.
Diskursus Civil Society
Konsep civil society dikalangan intelektual Indonesia mengalami padanan kata beragam atau tidak tunggal, seperti masyarakat sipil, masyarakat berbudaya, masyarakat beradab, masyarakat kewarganegaraan, dan masyarakat madani (Culla, 1999). Tetapi meskipun berbeda dalam padanan kata, hampir semua kaum intelektual Indonesia sepakat, bahwa peran civil society sangat penting sebagai salah satu pilar tegaknya demokrasi.
Penulis sebagai salah satu pembicara Diskusi Publik: Hubungan APH, Pemerintah, Korporate, dan NGO Menuju Indonesia Emas 2045.
Terdapat beberapa karakteristik identitas mutlak dari kekuatan civil society. Bahwa civil society itu berkaitan dengan kepentingan publik (membela, memberdayakan, dan mendampingi) masyarakat, mereka tidak bertujuan merebut kekuasaan formal, tetapi hanya mempengaruhi (merubah) kebijakan yang dikeluarkan oleh negara. Jadi civil society berbeda dengan partai politik yang memiliki peran melakukan kontestasi politik berebut kekuasaan.
Kemudian civil society menjunjung tinggi pluralitas, tidak melakukan tindakan mengancam atau memusuhi pluralitas, memegang prinsip teguh mengakui keragaman di tengah-tengah masyarakat, eksistensi mereka menjadi penyokong utama dari semangat toleransi dan kemajemukan sosial.
Di dalam civil society salah satu yang menjadi kekuatan diharapkan mewakili masyarakat sipil adalah organisasi non pemerintah (Ornop) atau Non-Governmental Organization (NGO), institusi sosial di luar pemerintah yang dibentuk oleh masyarakat secara swadaya, biasanya bergerak dalam di bidang tertentu seperti lingkungan, demokrasi, HAM, kesehatan, pendidikan, kemanusiaan, pembangunan masyarakat, dan lain-lain.
Peran penting dari Ornop diantaranya. Pertama, membatasi kekuasaan negara yang terlalu dominan, artinya civil society itu dapat memantau serta mengendalikan kekuasaan, dengan tujuan utama mendemokratiskan pemerintahan yang sebelumnya berjalan otoriter-totaliter. Kedua, dapat merekrut dan melatih para aktor yang diharapkan bisa menjadi pemimpin politik baru, mereka dapat belajar tentang mengorganisir dan mengadvokasi masyarakat melalui kegiatan-kegiatan Ornop, ketika ruang pendidikan dan pengkaderan partai politik mengalami stagnasi, karena dominasi aktor oligark.
Organisasi Non Pemerintah (Ornop)
Pengertian dari organisasi non pemerintah atau Ornop yang penulis berhasil himpun dari berbagai referensi adalah organisasi atau institusi yang didirikan oleh masyarakat secara mandiri, biasanya tidak berada di bawah bayang-bayang struktur pemerintahan formal, atau bisa juga di sebut di luar sistem pemerintahan.
Ruang kerja dari Ornop sendiri harus bersifat independen, serta tidak terkooptasi struktur kekuasaan negara dan korporasi swasta, Ornop memiliki kemandirian absolut secara finansial, fasilitas, dan kegiatan, jadi sumber pendanaan berasal dari sumbangan masyarakat sipil, serta berbagai aktivitas disusun secara mandiri tidak ada intervensi dari kekuasaan politik atau kepentingan ekonomi.
Sedangkan bidang kerja Ornop terfokus pada isu-isu lebih bersifat spesifik atau khusus seperti hukum, lingkungan, gender, pertambangan, demokrasi, HAM, anti korupsi dan lain-lain, jadi Ornop itu hakikatnya memiliki perbedaan dengan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang bidang kerjanya lebih luas, bahkan hampir seluruh bidang ditangani, misalnya Ormas Islam selain bergerak di bidang dakwah juga memiliki kegiatan pada bidang pendidikan, kesehatan, sosial-kemanusiaan, dan ekonomi-pemberdayaan umat (Tuijl, Lisan Jordan, dan Peter Van, 2009).
Ormas biasanya memiliki keanggotaan serta pengurus dari tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, terkadang anggota Ormas itu memiliki kartu keanggotaan, lengkap dengan nomor induknya, sedangkan Ornop hanya memiliki pengurus inti, tidak mempunyai anggota, tetapi Ornop memiliki kelompok masyarakat dampingan yang mereka advokasi. Kemudian struktur Ormas lebih kaku yang diatur sangat rinci dan ketat, sedangkan Ornop relatif lebih cair, lentur, dan tidak terlalu kaku. Terakhir ketika suksesi kepengurusan, biasanya Ormas itu lebih ramai terkadang banyak diliput banyak media, sedangkan suksesi di Ornop tidak begitu ramai, berjalan lebih sunyi dan senyap (Tuijl, Lisan Jordan, dan Peter Van, 2009).
Model Relasi Ornop dan Pemerintah
Relasi Ornop dengan pemerintah merupakan pola hubungan antara organisasi masyarakat sipil yang independen dengan aparatur negara di dalam mengelola berbagai isu publik, pemberdayaan masyarakat, dan pengawasan kebijakan.
Peserta Diskusi Publik : Hubungan APH, Pemerintah, Korporate, dan NGO Menuju Indonesia Emas 2045
Terdapat empat model relasi antara Ornop dengan pemerintah, yaitu (1) Autonomus, (2) Facilitation / Promotion, (3) Collaboration /Cooperation, dan (4) Dissolution.
Pertama, autonomus, bentuk relasi Ornop tidak dianggap ancaman, sehingga pemerintah terkadang membiarkan Ornop itu bekerja secara independen, disebabkan aktivitas Ornop sendiri tidak melakukan perlawanan kepada pemerintah. Kedua, facilitation / promotion, pemerintah memfasilitasi kegiatan Ornop, dengan memberikan akses kemudahan baik finansial dan fasilitas terhadap berbagai kegiatan. Ornop seperti ini biasanya banyak berperan di dalam menyukseskan program-program dari pemerintah (Gaffar, 2006).
Ketiga, collaboration /cooperation, pemerintah melakukan kerjasama dengan Ornop, karena dinilai bisa mendatangkan sesuatu yang menguntungkan, karena Ornop dapat menyediakan kemampuan dan kecakapan yang tidak dimiliki oleh pemerintah, hal ini disebabkan adanya keterbatasan sumber daya atau jaringan sosial. Keempat, dissolution, pemerintah melihat Ornop sebagai tantangan, hambatan, dan ancaman, disebabkan kegiatannya banyak menentang kebijakan pemerintah, akhirnya pemerintah selain membatasi aktivitas dan ruang gerak Ornop, terkadang merekayasa berbagai kasus, dengan tujuan menjerat para pengurus Ornop (Gaffar, 2006).
Dari empat model relasi antara Ornop dengan pemerintah, bisa kita simpulkan beberapa poin penting, bahwa hubungan antar keduanya bisa dalam bentuk kerjasama di dalam berbagai program pemerintahan seperti pembangunan, pelayanan publik, dan penanggulangan berbagai permasalahan sosial. Kemudian bentuk relasi bisa juga bersifat kontrol sosial, bahwa Ornop memberikan kritik kepada pemerintah, ketika melihat kebijakan pemerintah itu merugikan kepentingan masyarakat banyak, sehingga hubungan antara Ornop dan pemerintah bernuasa konflik (oposisi).
Penutup
Relasi antara NGO dan pemerintah pada akhirnya merupakan dinamika yang saling memengaruhi; keduanya dapat menjadi mitra, pengawas, maupun penyeimbang dalam upaya mewujudkan kepentingan publik.
Referensi Artikel
- Culla, Adi Suryadi. 1999. Masyarakat Madani : Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi (Jakarta, Rajawali Pers).
- Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006).
- Tuijl, Lisan Jordan dan Peter Van. 2009. Akuntabilitas LSM : Politik, Prinsip dan Inovasi. (Jakarta, LP3ES).

Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).
0 Pengikut

Beragam Cara Melawan Oligarki Politik
Sabtu, 16 Agustus 2025 06:27 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler