Tentang Penulis.\xd \xd Ahmad Wansa Al-Faiz lahir di Tanjung Karang, Bandar Lampung, 7 April 1984. Ia adalah putra pertama dari pasangan Muhammad Ichwan dan Yulisa Iriani. Pernah nyantri di Pesantren La-Tansa, kemudian melanjutkan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Sejarah Peradaban Islam (2002), meski tidak selesai. Ia kemudian menamatkan pendidikan di Ilmu Pemerintahan Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjuang 45), dengan tugas akhir mengenai kinerja berbasis kompensasi pendapatan di IAIN Lampung.\xd \xd Sejak 2003, Ahmad aktif sebagai relawan di KontraS. Kini bermukim di Bandar Lampung, ia produktif menulis di berbagai media seperti - Geotimes - dan - Indonesiana -, dengan minat pada tema orientalisme, epistemologi hukum Islam, serta analisis sosiologi politik. Ia juga menulis karya eksperimental berjudul *Is This Your Personality Number 085156532367.\xd \xd

Petani dan Maritim dalam Lintasan Sejarah Sumatera

7 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Fakultas Hukum UMSU Sejarah Kerajaan Sriwijaya dan Peninggalan Kerajaan \x2013 Info Hukum
Iklan

***

***

Sumatera sering dipahami melalui dua wajah, yakni dataran agraris  yang hidup dari tradisi bertani dan  pusat kejayaan maritim yang pernah bernama Sriwijaya. Dua wajah ini tampak saling bertentangan, namun justru di sanalah ironi sejarah dan politik ekonomi terbentuk.

Di dataran tinggi maupun rendah Sumatera, petani adalah nadi peradaban. Mereka mengolah padi, palawija, hingga kemudian menjadi tulang punggung perkebunan kolonial: kopi, lada, karet, hingga kelapa sawit. Tradisi bertani membentuk pola hidup gotong royong, kalender musim, hingga sistem nilai yang berakar pada tanah.

Tetapi, di saat yang sama, tanah juga menjadi sumber eksploitasi baik oleh kerajaan, kolonial, maupun kapitalisme modern. Kontradiksi itu menemukan bayangannya dalam sejarah Sriwijaya. Kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara abad ke-7 hingga 13 itu bukanlah kerajaan agraris. Ia menguasai jalur perdagangan, laut, dan selat, tetapi tidak bertumpu pada dataran produksi pangan. Di situlah paradoks muncul, kejayaan Sriwijaya dibangun di atas kontrol maritim, sementara rakyat Sumatera tetap hidup dari tanah dan ladang. Ada jurang antara kekuasaan laut dan kehidupan agraris di darat.

Ketika kolonial datang, jurang itu diperlebar. Sistem perkebunan memaksa petani beralih dari pangan ke komoditas ekspor. Tanah menjadi instrumen kekuasaan ekonomi, bukan lagi sumber kehidupan kolektif. Dalam logika kolonial, tradisi petani ditundukkan oleh logika pasar global. Hingga kini, warisan itu masih terasa dalam konflik agraria, dominasi korporasi perkebunan, dan keterpinggiran petani lokal. Maka, keberadaan Sriwijaya hari ini lebih sering dipuja sebagai simbol kejayaan budaya dan politik, tetapi jarang dikaitkan dengan kontradiksi agraris yang melingkupinya.

Seakan ada dua sejarah paralel: satu sejarah maritim yang megah, dan satu sejarah petani yang sunyi. Opini ini ingin menegaskan bahwa sejarah Sumatera tidak lengkap tanpa mengakui tensi antara tanah dan laut, antara petani dan kekuasaan dagang . Justru dari kontradiksi itulah lahir pertanyaan penting: apakah kita akan terus mewarisi pola lama, yakni kejayaan di atas keterpinggiran petani, atau berani menulis ulang sejarah yang berpihak pada mereka yang menjaga tanah di dataran?


Transformasi Mahayana dan Hinayana sebagai Sistem Birokrasi: Pergeseran antara Kaum Dagang kepada Kaum Tani.


Sejarah keagamaan sering kali dipahami sebatas ajaran spiritual, padahal ia juga berkelindan dengan politik dan ekonomi. Demikian pula transformasi Buddhisme Mahayana dan Hinayana. Pergeseran dari satu aliran ke aliran lain tidak hanya mencerminkan perbedaan teologi, melainkan juga mengandung logika birokrasi, yaitu bagaimana kekuasaan, otoritas, dan legitimasi dijalankan dalam masyarakat.

Hinayana dengan struktur monastiknya yang ketat dan menekankan kesucian personal, lebih dekat dengan pola masyarakat pedagang kota yang membutuhkan stabilitas hukum dan aturan. Ia menekankan disiplin, tata tertib, dan ortodoksi. Ini ciri yang selaras dengan birokrasi awal yang berbasis kontrol dan hierarki. Para pedagang menemukan legitimasi spiritual dalam struktur ini: stabil, jelas, dan berlapis.

Namun, ketika Mahayana berkembang, terjadi transformasi. Mahayana membuka diri pada gagasan kosmologis yang lebih luas, menghadirkan konsep Bodhisattva yang inklusif, serta memosisikan keselamatan bukan hanya urusan individu tetapi juga kolektif. Secara sosiologis, Mahayana bersenyawa dengan kaum tani yang hidup dalam relasi komunal, bekerja bersama di sawah dan ladang, serta membutuhkan ajaran yang menampung kerumunan aspirasi. Sistem birokrasi pun bergeser: dari birokrasi yang kaku (Hinayana) menuju birokrasi yang cair, berorientasi pelayanan dan pengayoman (Mahayana).

Pergeseran ini juga dapat dibaca sebagai perubahan basis ekonomi. Masyarakat dagang membutuhkan kepastian hukum agar lalu lintas barang berjalan aman; masyarakat tani justru membutuhkan legitimasi moral-politik yang menjamin kelangsungan hidup kolektif, distribusi hasil panen, serta hubungan dengan alam.

Mahayana memenuhi kebutuhan itu dengan menekankan welas asih, keterhubungan, dan janji keselamatan bagi semua. Dengan kata lain Mahayana dan Hinayana tidak hanya menandai dua wajah Buddhisme, tetapi juga dua model birokrasi yang merefleksikan basis sosialnya, yakni dagang dan tani.

Transformasi ini menjadi pelajaran berharga. Setiap sistem keagamaan maupun politik akan selalu menyesuaikan diri dengan basis ekonomi masyarakatnya. Hari ini, ketika birokrasi modern sering kali masih terjebak dalam logika dagang, yakni efisiensi, angka, keuntungan. Kita bisa belajar dari warisan Mahayana: bahwa birokrasi juga harus menjadi ruang welas asih, distribusi adil, dan pengayoman bagi rakyat yang hidup dari tanah.


 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler