x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cara Senang Belajar Sains

Membaca komik dan berinteraksi langsung dengan alam merupakan cara menyenangkan belajar sains.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"The scientist is not a person who gives the right answers, he's one who asks the right questions."
--Claude Lévi-Strauss, Le Cru et le cuit, 1964

 

Mengapa nasi dingin rasanya tidak enak? Bisakah Anda menjawab pertanyaan sederhana ini?

Tokoh Ding-Dong, dalam komik sains karya Kim Seok-Ho dan Kim Seok-Cheon, menjawab: Kalau memasak nasi, volume berasnya membesar dua kali lipat, karena air terserap ke dalam beras. Jika air terserap ke dalam beras, ikatan antara molekul glukosa menjadi lemah sehingga berubah menjadi molekul alfa. Tapi, jika airnya dingin, molekul alfa berubah jadi molekul glukosa beta yang rasanya enggak enak! Karena kesal pada Ding-Dong yang tak mau makan nasi dingin, Paman Penyihir menghidangkan nasi itu disertai dua pemanas di kanan-kiri Ding-Dong. “Ke.. kenapa ini?” tanya Ding-Dong kegerahan. “Supaya nasinya nggak jadi dingin!” jawab Paman Penyihir dengan ketus.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Walau penjelasannya sederhana (jika memang bisa dijelaskan secara sederhana, kenapa mesti rumit?), serial 3 Menit Belajar Pengetahuan Umum karya komikus Korea ini menarik, mengundang tawa, dan yang penting: kita belajar tentang peristiwa alam di sekitar kita dengan cara yang menyenangkan. Tanpa berkerut kening.

Beda dengan dulu, ketika masih belajar di sekolah dasar sampai menengah atas. Seingat saya, yang sering terucap dari mulut kawan-kawan saat mendengar kata matematika, kira-kira, adalah udahlah, gak usah diomongin, bikin pusing. Fisika? Bingung, gak ngerti. Kimia? Bosan, ah. Anehnya, biologi jarang-jarang disebut—padahal bagi yang tidak suka menghapal (bukankah kita memang dibiasakan menghapal?), waktu itu pelajaran ini terasa menjemukan.

Entah dari mana datangnya pikiran yang melatari ucapan itu. Namun, dalam hemat saya, setidaknya ada dua penyebab dasar yang membuat kita—sekurang-kurangnya saya—merasa takut menghadiri kelas matematika dan fisika, ogah-ogahan mengikuti pelajaran matematika, dan bosan saat mendengar ‘ceramah’ guru kimia. Pertama, karena kita sudah dicekoki oleh orang lain—teman, kakak kelas, saudara, siapa saja—bahwa matematika dan fisika itu susah. Hanya orang cerdas yang bisa memahami. Kedua, dari pengalaman kita sendiri saat mengikuti pelajaran itu: betapa pelajaran matematika dan sains itu diberikan guru dengan tidak menyenangkan, penyajiannya tidak menarik, mengawang-awang, kebanyakan menghapal rumus dan teori. Sudah begitu, gurunya galak, tanpa rasa humor.

Kita diajar untuk memahami matematika, fisika, kimia, dan biologi tapi dengan cara yang jauh dari realitas. Kita diajak menghitung isi sebuah tabung, tapi tak pernah diajak mencocokkannya dengan cara mengukur volume air yang mengisi tabung itu dengan gelas ukur. Saat kita belajar tentang konsep gesekan, kita tidak diajak untuk mengalami langsung bagaimana bergerak di lantai licin berbeda dengan di lantai kasar. Kita, sebagai anak-anak, disibukkan dengan abstraksi semata, padahal abstraksi itu dibangun dari realitas.

Laboratorium memang disediakan, setidaknya di sebagian sekolah yang sarananya memadai. Tapi, dari dunia nyata pun sebenarnya kita bisa belajar, bahkan rasanya lebih baik daripada simulasi di laboratorium. Ubin lantai di ruang kelas jelas lebih licin daripada permukaan tanah di halaman sekolah. Dengan menarik benda yang sama mula-mula di halaman sekolah dan kemudian di dalam kelas, kita dapat membandingkan efek gaya gesek yang diakibatkan oleh permukaan yang berbeda kekasarannya.

Kita jarang diajak mengamati lingkungan sekeliling, padahal di lingkungan inilah prinsip-prinsip matematis, fisika, kimia, dan peristiwa biologis bisa kita saksikan—perubahan kecebong menjadi kodok, kepompong menjadi kupu-kupu, umpamanya. Niscaya hasilnya akan lain jika kita belajar tentang pergerakan fluida dengan mengamati langsung di sungai sekitar sekolah, dan bahkan merasakannya sendiri, nyemplung ke dalam arus sungai. Mengamati bagaimana air mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke yang lebih rendah dan mencoba mengerti serta merasakan adanya energi yang diusung air yang jatuh mengenai kaki kita, semakin tinggi jatuhnya semakin terasa keras.

Kita dididik dengan cara-cara yang miskin imajinasi. Kita belajar tentang alam sekitar dengan cara yang steril dari alam itu sendiri. Kering. Kita tidak belajar dengan cara merasakan, mengalami (experiential learning). Hasilnya, ya itu tadi, membosankan, dianggap susah, memusingkan.

Komik sains seperti yang dibuat dua Kim Seok ini dimaksudkan untuk mengubah apa yang membosankan itu jadi menyenangkan, yang dianggap susah jadi lebih mudah, yang membikin pusing jadi mengasyikkan. Pokoknya, matematika dan sains itu fun! Membikin komik sains, karena itu, sungguh tidak mudah. Mula-mula dibutuhkan pemahaman yang baik atas konsep, prinsip, teori yang hendak di-komik-kan. Lalu, yang lebih sukar lagi, menuangkannya dalam teks dan gambar yang komikal dan hasilnya tidak meleset dari tafsirnya tadi.

Kim Seok Ho dan Kim Seok-Cheon sukses dalam kedua hal itu. Lewat tokoh-tokoh rekaannya, seperti Ding-Dong, Paman Penyihir, Pinggu, Nemo, dan Buxi, mereka mengajak kita, khususnya anak-anak, untuk memahami peristiwa yang berlangsung di sekeliling kita. Contohnya, mengapa kucing lebih rajin mencuci muka saat cuaca cerah? Jawabannya: karena di saat hari cerah, kemungkinan timbulnya listrik statis makin tinggi; kucing berusaha mencegah terjadinya listrik statis pada bulunya dengan cara menjilatinya agar basah.

Cerita dan gambar-gambar mereka lebih kocak dibandingkan dengan Kartun Fisika hasil kreasi Larry Gonick dan Art Huffman. Karya Gonick ini terasa jauh lebih serius, rumus-rumus pun masih muncul di sana-sini (jumlah rumus yang dimuat jauh lebih banyak daripada karya Stephen Hawking, The Brief History of Time, yang sukses menghindari pencantuman rumus-rumus fisika, kecuali satu, yakni E = mc2). Jika tolok ukurnya anak-anak merasa senang dan bahkan tertawa saat membaca topik-topik fisika, misalnya, maka karya Kim Seok Ho dan Kim Seok-Cheon lebih berhasil. Saya sendiri lebih menyukai karya komikus Korea ini: membikin kita tertawa, tidak pusing, dan yang penting tambah mengerti apa yang terjadi di sekitar kita.

Sangat menyenangkan bila komik-komik Mafia semacam itu banyak dilahirkan di sini. Mafia? Ya iyalah, mafia kan kependekan dari matematika, fisika, dan kimia. Lha biologi kok gak masuk? Kan biologi jarang-jarang disebut di antara pelajaran yang membikin pusing. Padahal, buat yang tidak doyan menghapal, pelajaran ini lumayan menjemukan. Agar tidak jemu, dan lebih meresap di hati dan benak, anak-anak semestinya diajak mengamati peristiwa biologis langsung di alam sekitar kita dan bahkan di tubuh kita. Misalnya, anak-anak ditugasi mengamati menetasnya telor ayam dan menuliskan hasil pengamatannya: mana yang lebih cepat menetas, yang dierami induknya atau yang dihangatkan dengan lampu listrik? Bagaimana peristiwa menetasnya telor itu? Apakah yang dierami dengan lampu listrik tetap menetaskan anak ayam? Atau, untuk anak SMP yang laki-laki, pada umur berapa (sampai hitungan hari) kumismu mulai tumbuh? Bukankah ini sejenis experiential learning?

Dijamin, pelajaran matematika dan sains bakal menjadi favorit murid-murid. (sbr foto: lawrencehallofscience.org) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

7 jam lalu

Terpopuler