Ini Dua Perempuan yang Gagal Faham Apa Itu Sosialita

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seringkali terdengar orang mendefinisikan kata sosialita secara serampangan, bahkan tak jarang ada yang memahaminya bahwa untuk mendapatkan kehidupan yang serba mewah dan glamour itu diperoleh dengan menghalalkan segala cara

Sebenarnya tidak hanya dua sosok perempuan ini saja, bahkan masih banyak juga orang yang keliru dalam memaknai, dan atau mendefinisikannya apa itu sosialita. Di mata mereka, kata sosialita selalu dikaitkan dengan  kehidupan glamour, arisan, ngrumpi, shoping barang mewah, lingkungan yang terbatas, dan hanya bagian orang di kelas atas.

Begitu juga yang terbayang di benak sebagian orang, sosialita identik dengan kehidupan kaum perempuan. Mereka biasanya memakai pakaian yang serba bermerek dari butik kenamaan. Tidak hanya itu, untuk tampil menjadi sosialita sejati mereka juga harus memiliki, utamanya, tas bermerek seperti yang sekarang lagi digandrungi seperti Hermès, Gucci, Chanel, Reed Krakoff, Louis Vuitton, Ralph Lauren, Givenchy, Bvlgari, dan Lanvin yang harganya bagi orang di kelas bawah lumayan: Wah! Sementara kendaraan sehari-hari yang digunakan tidak jauh dari merk Ferrari, Lamborghini, atau juga Aston Martin.

Secara etimologi, sosialita, atau sosialite, berasal dari dua kata, yaitu sosial dan elite. Adapun kata sosial bermakna Pertemanan dan menjalin hubungan-hubungan kemasyarakatan. Sementara elite artinya antara lain: 1. Orang-orang terbaik atau pilihan di suatu kelompok; 2. Kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi (Bangsawan, cendikiawan, dsb).

Pada majalah Town and Country dalam artikel yang berjudul What is a socialite? diceritakan berbagai macam seluk beluk sosialita secara definitif. Dalam artikel tersebut Robert L. Peabody mendefinisikan sosialita sebagai seseorang yang berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan menghabiskan sebagian banyak waktunya untuk menghibur sekaligus mendapatkan hiburan. Hal itu ia ungkapkan di gereja St. James New York ketika menjawab pertanyaan apakah Judith Peabody adalah seorang sosialita. Robert menjawab bahwa Judy yang merupakan seorang filantropis bukanlah sosialita. Sementara itu definisi lain menyebutkan bahwa sosialita adalah seseorang yang memiliki perilaku sopan santun tetapi tidak berlebihan, bersikap ramah tetapi disegani, tahu bagaimana caranya agar dapat menarik perhatian bahkan ketika makan, dan tidak pernah membicarakan aktivitas yoga atau berbicara tentang asupan makanan terhadap diri mereka karena mereka lebih tertarik pada hal lain daripada diri mereka sendiri.

Studs Terkel, seorang antropolog sosial, telah mewawancarai seorang wanita dari kelas pekerja blue-collar bernama Sugar Rautbord. Dari wawancara tersebut Rautbord mengatakan bahwa sosialita adalah gadis pekerja kelas atas dan pekerjaannya adalah menggalang dana. Sedangkan, Inti Subagio dalam Roesma (2013:363) mengatakan bahwa kata “socialite” diambil dari kata “social” dan “elite” yang dimulai dari keluarga kerajaan di Eropa yang selalu mendapatkan perlakuan VVIP. Sebagai kaum elit mereka tidak perlu merasakan bekerja, berkeringat, ataupun mengantri, kehadiran merekapun dipuja dan diharapkan. Mereka juga harus memiliki prestasi dari segi sosial seperti memiliki yayasan, tidak hanya bermodalkan darah biru atau keturunan bangsawan saja. Dalam konteks fenomenon sosialita di Indonesia, buku KOCOK! UNCUT: The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites yang ditulis oleh Joy Roesma dan Nadia Mulya menyebutkan sebuah pendapat bahwa sosialita adalah orang yang sering datang ke event gaya hidup dan diburu fotografer. Dari berbagai definisi yang telah disebutkan di atas dapat dilihat betapa bervariasinya arti kata sosialita.

Seseorang yang disebut sebagai sosialita juga dikaitkan dengan kemampuan intelegensia yang tinggi dan terpelajar seperti Mary Borden sebagai filantropis yang murah hati, perawat pemberani, dan penulis yang produktif (Gromada, 2009); Ibu dari Arthur Schopenhauer yaitu Johanna Schopenhauer sebagai novelis terkenal di Jerman (Hannan, 2011); dan Juliette Hampton Morgan sebagai pembela hak sipil di Amerika Serikat (Hannah, 2011).

Sementara dua sosok perempuan Indonesia yang beberapa waktu lalu pernah jadi gunjingan di media, dan di tengah masyarakat, karena selain gaya hidupnya selalu glamour dan bermewah-mewah, pertama adalah Malinda Dee, karyawan City Bank yang mengumpulkan harta kekayaannya dengan modus menggelapkan milyaran uang milik nasabah.

Kehidupan Inong – nama panggilan Malinda Dee serba mewah dan glamour. Untuk membuat penampilan dirinya tampak awet muda, perempuan setengah tua inipun tak sungkan-sungkan untuk melakukan operasi bedah plastik pada beberapa bagian tubuhnya. Bahkan Malinda pun mampu menggaet pesinetron muda, Andhika untuk dijadikan suami sirinya. Sehingga tidak menutup kemungkinan kalau yang bersangkutan termasuk tante-tante yang gemar daun muda, alias brondong.

Adapun satu lagi yang dianggap tak kalah fenomenalnya dari Malinda Dee, tak lain dari seorang Gubernur Banten non-aktif, Ratu Atut Chosiyah. Sosok Atut yang menjadi Gubernur perempuan pertama di Indonesi ini, namanya semakin disebut-sebut setelah istri dari almarhum Hikmat Tomet, anggota DPR RI periode 2009 -2014 ini diciduk KPK karena terbelit tindak pidana korupsi.  Penampilan Atut, meskipun selalu tidak lepas dari hijab yang menutup kepala, namun mulai dari pakaian atasan, bawahan, sampai sepatunya pun tidak jauh dari merk-merk ternama. Demikian juga koleksi mobil mewahnya pun berjejer di garasi rumahnya. Menurut catatan KPK, harta kekayaan Atut sekitar Rp 42 milyar.

Ya, dua sosok perempuan di atas memang dianggap gagal memahami definisi sosialita. Bahkan harta kekayaannya untuk kemewahan hidupnya pun ternyata diperoleh dengan menghalalkan bermacam cara. ***   

Sumber foto: Google

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Adjat R. Sudradjat

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler