x

Iklan

Arimbi Bimoseno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perjalanan ke Tujuh Penjuru

Hidup adalah perjalanan. Selalu ada alasan untuk tersenyum bagi yang mampu melihat keindahan dalam setiap perjalanan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tinggal di Lindu, hidup serasa kembali ke zaman batu. Tidak ada sinyal. Tidak bisa menelepon atau menerima telepon. Tidak bisa mengakses internet. Tidak bisa berselancar di media sosial. Orang-orang saling berkirim surat untuk menyampaikan pesan. Petugas Puskesmas misalnya, ketika mau menyampaikan sesuatu pada Pak Camat yang tinggal di luar Lindu, harus menitip surat pada tukang ojek. Petugas Puskesmas yang mau mengabarkan jadwal Posyandu pada bidan yang tinggal di dusun seberang danau, harus menitip surat pada pemilik perahu yang tiap hari mondar-mandir melayani penyeberangan.

Danau Lindu menjadi seperti pusat. Di sini lalu lintas cukup ramai. Orang-orang tinggal menyebar di berbagai desa yang mengelilingi danau. Di antaranya Desa Anca, Desa Tomado, Desa Langko, Desa Puroo, Desa Lembosa, Desa Olu, Desa Sangali, Desa Kangkuro dan Desa Wongkodono. Orang-orang yang tinggal di dusun-dusun di desa seberang itu kebanyakan adalah petani dan nelayan. Mereka menyeberang danau untuk mengirim hasil panen atau ikan tangkapan ke pasar yang berada di pusat kota Palu. Atau sering kali juga banyak pengumpul atau pedagang dari kota yang menyeberang danau untuk membeli hasil panen para petani dan ikan tangkapan nelayan itu untuk dijual kembali. Mobilitas warga ini terasa benar pada jam-jam penyeberangan di danau. Peran tukang ojek menjadi sangat penting. Di dermaga pada jam-jam penyeberangan, tukang ojek menunggu penumpang yang akan memakai jasanya untuk mengirim hasil panen ke kota.

Orang-orang di dusun-dusun yang jauh juga harus menyeberang ketika keadaan mengharuskannya pergi ke Puskesmas satu-satunya yang terletak di Kecamatan Lindu. Demikian juga anak-anak mereka yang melanjutkan pendidikan tingkat atas di Kota Palu, juga harus melakukan penyeberangan. Di Lindu hanya ada sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Untuk melanjutkan sekolah tingkat atas, anak-anak Lindu harus pergi ke Palu. Mereka pada umumnya yang melanjutkan sekolah menengah atas di Palu, tinggal bersama kerabat di Palu, atau tinggal di rumah sewaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

***

Pulang sekolah, banyak anak bermain perahu di danau. Anak-anak naik perahu kecil yang biasa disebut ketinting. Tangan-tangan kecil mereka lincah mendayung. Mereka gembira dengan aktivitasnya. Anak-anak remaja naik perahu dengan santai, menjaring ikan sambil asyik mendengarkan musik yang diputar dari tape berukuran kecil. Seperti suatu siang terdengar lirik lagu dari sebuah perahu, ‘… suara, dengarkanlah aku, apa kabarnya pujaan hatiku, aku di sini menunggunya, masih berharap di dalam hatinya….’

Di sini aturan adat masih cukup berpengaruh. Ketua adat mengatur tata cara pergaulan, pernikahan, kelahiran, kematian, juga tentang menjaga lingkungan. Kearifan lokal mengajarkan untuk menjaga kebersihan danau, di antaranya tidak boleh cuci tangan di danau setelah makan. Namun masih ada pemandangan seorang ibu mencuci panci di danau, dan seorang pria melempar puntung rokok ke danau.

Danau Lindu merupakan sumber kehidupan bagi warga sekitar. “Di sini tidak ada orang kelaparan. Kalau tidak punya makanan, pergi saja ke danau untuk mencari ikan,” kata Sujarno Rema Kepala Desa Anca.

Setiap hari orang-orang di sini makan nasi dan ikan mujair. Ikan mujair itu ada kalanya digoreng, ada kalanya dibakar. Ada kalanya dimasak dengan kuah. Mereka menyebut ikan mujair berkuah sebagai sayur.

Suatu ketika seseorang bertanya pada seseorang yang lainnya yang sedang berada di danau. “Lagi apa?”

“Lagi mencari sayur,” jawabnya.

***

Lindu belum tersentuh listrik. Pada malam hari, orang-orang menyalakan lampu teplok menggunakan minyak tanah. Sebagian lagi menyalakan lampu dengan genset. Kawasan ini seperti terisolir dari dunia luar. Jauh dari jalan yang bisa diakses dengan kendaraan roda empat. Dari ujung jalan raya Desa Sidaunta, di satu-satunya jalan menuju Danau Lindu yang berada di kawasan hutan lindung Taman Nasional Lore Lindu, biasanya mangkal tukang ojek yang siap mengantar siapa saja yang mau ke atas, begitu sebutannya. Karena Lindu berada di dataran atas atau pegunungan.

Jalan menuju Lindu tidaklah lurus mendatar. Jalannya ekstrim, lebarnya tidak sampai satu meter di antara jurang menganga dan tebing curam yang rawan longsor. Alurnya naik turun dan berliku-liku, pada titik-titik tertentu kondisinya berbatu, berlubang, berlumpur. Bagi orang yang baru pertama kali ke sini, satu setengah jam terguncang-guncang di atas motor bisa terasa sangat lama dan menegangkan.

Namun orang-orang yang sudah terbiasa melewati jalan ini, mereka terlihat sangat tenang.

“Dulu kami pakai kuda sebelum ada kuda Jepang,” cerita Sukiman, tukang ojek. Dia menyebut motor dengan istilah kuda Jepang, karena umumnya motor yang dipakai penduduk di sini adalah motor keluaran Jepang.

“Sekarang kuda dipakai untuk mengangkut hasil panen,” lanjut Sukiman.

Dengan kuda Jepang, tukang ojek bisa melakukan berbagai “akrobat” mencengangkan. Bisa mengangkut lemari berukuran besar, bahan material untuk membuat bangunan, spring bed, pipa-pipa panjang, dan lain-lain.

“Kalau angkut lemari super besar, ongkos angkutnya bisa sampai 700 ribu rupiah,” cerita Sukiman.

Sukiman sudah seperti prajurit yang siap perang. Memakai sepatu boot setinggi lutut. Ban motornya berdesain khusus untuk menghadapi medan yang garang. Ganti ban tiga bulan sekali. Ganti oli seminggu sekali.

Namun tidak semua hal bisa ditangani kuda Jepang. Dalam keadaan darurat misalnya ada warga sakit parah, dirujuk ke rumah sakit di Palu, tidak bisa dibonceng motor. Orang-orang menandu si sakit dengan berjalan kaki. Bukan hanya keluarga inti saja yang mengantar, banyak warga yang refleks turut mengiringi. Dan mereka bergantian menandu yang sakit sampai jalan raya di Desa Sidaunta untuk kemudian dipindahkan ke ambulans Puskesmas menuju rumah sakit di Palu.

***

Ikuti perjalanan ini selengkapnya dalam buku Kisah Tujuh Penjuru yang ditulis oleh Wisnu Nugroho, Arimbi Bimoseno, dan Tim Pencerah Nusantara, diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, 2014. [AR]

 

 

Ikuti tulisan menarik Arimbi Bimoseno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler