Dilema Demokrasi Deliberatif: Belajar dari Irlandia

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul : Associations, Deliberation, and Democracy: The Case of Ireland’s Social Partnership; Penulis : Niamh Gaynor; Publikasi : Politics and Society, SAGE Publications, 2011, p 497–519

Artikel yang ditulis oleh Niamh Gaynor ini mengkaji proses demokrasi deliberatif yang diterapkan oleh pemerintahan Irlandia. Dalam pertengahan abad 1990-an, pemerintah Irlandia menerapkan kebijakan untuk merangkul berbagai asosiasi kemasyarakatan sebagai salah satu pilar negara untuk mengembangkan praktik demokrasi. Pilar komunitas dan sukarelawan (community and voluntary pillar) yang dirangkul oleh Pemerintah Irlandia terdiri dari tujuh belas jaringan organisasi sosial. Namun, penelitian Niamh Gaynor menemukan bahwa keterlibatan berbagai organisasi sipil ini justru mempersempit praktik demokrasi itu sendiri.

Selama sepuluh tahun pelibatan organisasi sipil dalam progam Pemerintah Irlandia, demokrasi deliberatif ini lebih banyak diwarnai oleh praktik komunikasi normatif, seperti negosiasi atau tawar menawar, di antara elite politik. Bahkan, pembahasan kebijakan dalam praktik kerja sama ini didominasi oleh isu-isu tentang persoalan ekonomi makro, seperti mengamankan stabilitas industri, menarik minat investasi asing, dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Sehingga diskursus yang terbangun menjadi semacam pembentukan konsensus yang menghilangkan kontestasi penyaluran kepentingan.

Salah satu bukti suksesnya pembentukan konsensus ini adalah penetapan kebijakan pemberian jaminan keuangan (bailout) pada tingginya hutang bank swasta pada tanggal 29 September 2008. Yang berarti, persoalan swasta ditanggung oleh penduduk Irlandia. Pada tanggal 29 November 2010, dengan meningkatnya krisis keuangan, pemerintah meminjam 12,2 miliar dollar pada IMF dan ECB untuk menutupi penjaminan hutang bank swasta, dengan konsekuensi pemotongan anggaran belanja publik sebesar 14,3 miliar dolar dan  kenaikan pajak sekitar 7,1 miliar dolar. Kebijakan ini tidak dipermasalahkan dan bahkan dianggap wajar oleh hampir semua penduduk Irlandia.

Keberhasilan konsensus ini disebabkan suksesnya penyebaran diskursus dominan yang mempersempit cakupan praktik demokratis. Salah satu faktornya adalah ketelibatan aktor-aktor organisasi sipil dalam melegitimasi kebijakan pemerintah. Pembicaraan yang berkembang di antara penduduk adalah tentang perkembangan pasar internasional dan aliran modal, sehingga wacana publik didominasi oleh isu-isu tentang ekonomi makro yang terinternalisasi dalam pikiran penduduk. Bahkan media massa dijadikan alat untuk menyebarkan dan melegitimasi wacana dominan ini ketimbang untuk memobilisasi perdebatan publik. Dalam kondisi inilah proses pendisplinan subjek, sebagaimana konsepsi Foucauldian, menjadi semakin efektif dalam pembentukan diskursus dominan.

Tanpa adanya diskursus alternatif dalam ruang publik, wacana tentang penetapan kebijakan yang tepat bagi pasar internasional menjadi fokus utama. Hal itu berbeda dengan kontestasi wacana yang terjadi di Irlandia pada tahun 1970-an dan 1980-an; saat itu ruang publik masih diwarnai oleh perdebatan tentang pertentangan kelas sosial, gender, atau terbentuknya relasi kuasa yang lebih luas. Pada tahun 1990-an, pengembangan partisipasi sosial dengan pelibatan berbagai asosiasi kemasyarakatan justru mempersempit ruang demokrasi.

Organisasi organisasi sipil yang mendukung proyek pemerintah diberikan posisi yang lebih kuat untuk merangkul organisasi-organisasi lainnnya, sementara aktor-aktor yang bertentangan dan memiliki agenda yang berbeda justru merasa frustasi karena lebih banyak menghabiskan waktu berdebat di antara organisasi-organisasi sipil lainnya. Konsensus semacam inilah yang disebut Mouffe sebagai konsensus palsu (false consensus). Nampaknya, banyak organisasi sipil, seperti diungkapkan Niamh Gaynor secara sinis, tidak mau menggigit tangan yang memberinya makan—tidak berminat lagi mengkritisi pemerintah yang mendanai mereka.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Syiqqil Arofat

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Definisi Optimisme: Seri Motivasi

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Sejarah Uang

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler