x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nyi Kustiyah dan Nyaru Lumbu

Catatan kecil tentang perempuan besar panglima perang andalan Pangeran Diponegoro, Nyi Kustiyah. perempuan yang lahir pada tahun 1752 di Serang, Purwodadi, Jawa Tengah, itu dikenal Indonesia sebagai pahlawan nasional Nyi Ageng Serang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pasukan di bawah Panglima Perempuan itu seperti siluman. Menyerang mendadak, memporakporandakan serdadu kompeni, lalu lenyap tanpa terkejar. Kurang lebih tiga tahun, awal hingga pertengahan Perang Diponegoro, laskar di bawah panji gula kelapa menjadi momok penjajah di Timur Laut Jawa Tengah. Seorang nenek, kalau boleh saya menyebut, melihat usianya, adalah panglima pasukan tadi, yang bahkan masih sanggup berkuda dengan tali kekang di kiri dan tombak, senjata andalannya, di tangan kanan.

Dia perempuan panglima kesayangan rakyat karena buktinya tiap pertempuran orang-orang turun memberi dukungan. Prajurit-prajurit Kesultanan Mataram segera bertambah kekuatan petani-petani, penduduk desa-desa, yang tengah dilalui. Gerak pasukan menjadi lincah karena perbekalan tak perlu banyak-banyak dikemas dari benteng utama.

Semangat berbuat luhur dan berjuang melingkupi perempuan, Sang Panglima. Ayahanda, kakak laki-laki, dan suaminya wafat memerangi penjajah.  Baginya, Perjanjian Giyanti adalah sampah, setelah jelas penuh muslihat penjajah. Ia dilabeli pemberontak dan resmi dimusuhi ‘negara’, karena kala itu Perjanjian Giyanti seolah-olah kesepkatan damai resmi yang harus dipatuhi semua pihak, dimana salah satu klausulnya, VOC berhak ikut menentukan pemimpin wilayah, yang artinya perjanjian itu tidak lepas dari campur tangan Belanda, menunaikan hajat asli, menjajah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika muda, ia memimpin suatu wilayah dalam Kesultanan Mataram, mungkin seperti Gubernur versi sekarang, menggantikan Sang Ayah. Kecakapan memimpin, kecerdasan menyusun taktik pertempuran, keluhuran pekerti terukur dari kecintaan rakyat padanya, dan keluwesan bernegosiasi menjadi sebab ia diandalkan Pangeran Diponegoro sebagai panglima. Strategi ciptaannya adalah gerilya, menyerang tiba-tiba dan menghilang di rerimbunan lumbu atau talas yang adalah tanaman kebanyakan waktu itu. Dengan tudung daun talas, prajurit-prajurit diperintahnya nyaru atau menyamar sehingga tak diketahui kedatangan mereka oleh lawan, pun, memanfaatkan banyaknya tanaman ini di lingkungan, pasukan Kesultanan Mataram dibawah pimpinannya, segera hilang jejak setelah menyerang.

Akhir perjuangan, perempuan ini ditandu, karena memaksa tetap memimpin pasukan, meski jatuh sakit. 1828, pada pertengahan Perang Diponegoro, ia wafat diumur 76 tahun, setelah sangat lemah terserang, mungkin, malaria pada usia senja. Wabah malaria juga yang menimpa pasukannya setelah bergerilya di Bukit Menoreh. RA. Kustiyah Wulaningsih Retno Edi lahir 1752 di Serang, Purwodadi, Jawa Tengah, dikenal Indonesia sebagai pahlawan nasional Nyi Ageng Serang.

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB