x

Petani mencabut benih padi varietas lokal genjah rante di Pandak, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. (TEMPO/Shinta Maharani)

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Padi Tumbuh Tak Berisik

Di tengah program swasembada pangan, banyak sekali lahan produktif yang harusnya bisa menghasilkan sumber pangan, beralih fungsi menjadi perumahan, atau bahkan gedung perkantoran dan industri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.....”

Masih ingat dengan penggalan lirik lagu Koes Plus di atas? Lagu ini sangat legendaris, bukan hanya di eranya, tapi sampai sekarang pun masih sering terdengar di berbagai kesempatan. Konon katanya, lagu ini diciptakan oleh Koes Plus setelah mengunjungi satu tempat di Timor Timur. Disana mereka mengunjungi sebuah danau yang bernama danau Susuk. Danau yang tak begitu luas tapi melimpah isi, yang mampu mencukupi bahkan berlebih bagi kehidupan masyarakat sekitar danau tersebut. Hal yang juga mudah ditemui di beberapa tempat di nusantara, seperti kehidupan di sekitar danau Toba.

Di lirik selanjutnya, Koes Plus menggambarkan betapa suburnya tanah nusantara, dengan kata-kata tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Padahal kita tahu, tongkat kayu yang sudah mati tak bisa ditanam, dan batu tak mungkin tumbuh menjadi tanaman. Tapi begitulah Indonesia pada waktu itu, begitu suburnya, hanya cukup mengolahnya, maka semua kebutuhan makanan ada di sekitar kita.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun sayang sungguh sayang, lagu tadi kemudian hanya jadi mimpi esok hari. Karena yang ada sekarang, padi yang ditanam, yang tumbuh justru bangunan. Yup, banyak sekali lahan produktif, yang harusnya bisa menghasilkan sumber pangan, beralih fungsi menjadi perumahan, atau bahkan gedung perkantoran dan industri. Dan pada akhirnya pemerintah musti mengimpor bahan pangan dari negara lain untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Miris bukan?

Sepertinya PR besar bagi kementerian agraria, yang sudah dihidupkan kembali oleh Jokowi. Untuk bisa mengatur ketersediaan lahan produktif dan membatasi ijin tumbuhnya gedung-gedung baru yang menggerus lahan-lahan produktif.

Jika menilik pola hidup masyarakat kita, yang terbiasa mempunyai rumah yang tumbuh horizontal, akan sulit mencukupi. Seberapapun luas tanah yang ada, takkan pernah seimbang dengan banyaknya penduduk. Belum lagi tidak adanya peraturan dari pemerintah mengenai pembatasan kepemilikan rumah atau tanah. Tapi, jika dibiarkan dan diteruskan, akan tersisa berapa meterkah lahan produktif yang ada? Cukupkah memenuhi semua kebutuhan pangan kita?

Kita bicara realita, fakta yang ada di lapangan adalah seperti itu. Jika di luar negeri, seiring perkembangan jaman, yang juga diiringi pertumbuhan penduduk, tapi tidak mungkin diikuti bertambahnya tanah yang ada untuk ditinggali, mereka membuat suatu peraturan guna pembatasan dibukanya lahan baru dan hilangnya lahan produktif. Seperti misalnya, di negara-negara Eropa, kalau yang dekat dengan negara kita, ya Singapura, mereka membangun hunian secara vertikal, bukan horizontal. Sehingga lahan yang dipakai tidak terlalu luas, dan masih tersisa ruang terbuka hijau untuk mengimbangi polusi udara yang kian meningkat tiap tahunnya, juga sebagai warisan anak cucu kelak.

Belum lagi mengenai kepemilikan rumah lebih dari satu. Memang sah-sah saja jika punya modal, untuk mempunyai rumah lebih dari satu, dan juga membeli tanah di mana-mana. Tapi, bukankah hal tersebut menjadi sebuah ego yang merampas hak orang lain untuk mempunyai rumah? Misalnya, seharusnya jika si X tidak membeli 10 unit rumah yang ada di distrik M, mungkin si Y bisa tinggal di distrik M, di salah satu rumah dari 10 unit rumah yang tersedia. Lagi-lagi pemerintah masih alpa di peraturan ini. Kenapa? Karena, jika di beberapa negara, mereka mempunyai peraturan yang sangat ketat mengenai hal ini. Yaitu salah satunya dengan cara pajak yang tinggi, untuk kepemilikan kedua, ketiga dan seterusnya. Dalam hal ini, pemerintah baru mengaplikasikan peraturan tersebut pada kendaraan roda 4.

Tapi, sekali lagi, bukan orang Indonesia kalau gak cerdas dan bisa mensiasatinya. Seringkali, jika mereka mempunyai kendaraan roda 4 lebih dari satu, maka nama kepemilikan akan berbeda satu dan lainnya. Hal ini untuk menghindari pajak barang mewah yang tinggi, yang ditetapkan Dirjen Pajak untuk kepemilikan kendaraan roda 4 lebih dari satu. Yup, di sinilah, sekali lagi kelemahan sistem kita. Karena nomor pajak yang terdaftar untuk kendaraan atau barang-barang, bukanlah berdasarkan alamat, seperti di negara-negara maju, melainkan berdasarkan nama yang tertera di KTP. Yang, sayangnya lagi, rawan manipulasi. Mengingat, meski sudah E-KTP, ternyata saya tetap bisa mempunyai 2 KTP. Bukan karena saya sengaja membuat 2 KTP. Tapi entah kenapa, yang katanya data online dan terhubung di seluruh Indonesia, jadi tidak mungkin seseorang punya identitas dobel, saya masih bisa mempunyai kartu identitas dobel.

Belum lagi, jika bicara mengenai tanah. Ada juga kebijakan mengenai HGB atau hak guna bangunan. Misalnya pemerintah mempunyai sebuah lahan tidur, yang kemudian disewa oleh pihak swasta guna usaha. Si pihak swasta ini memiliki HGB atau hak guna bangunan. Sewa ini biasanya memiliki term hingga 30 tahun. Kemudian si penyewa ini membangun perumahan diatasnya, yang diperjual belikan kepada pihak ketiga, yaitu masyarakat. Sementara masyarakat yang membeli tidak tahu jika kepemilikan sertifikat asli itu dipegang oleh pemerintah, tahunya hanya membeli rumah dari si developer, yaitu si penyewa lahan dari pemerintah. Kasus seperti ini sudah berulang kali saya dapatkan selama saya masih bekerja sebagai distributor bahan bangunan. Yang saya kemudian tidak mengerti, bagaimana kemudian, sewa tanah yang hanya mempunyai HGB, bisa menjadi sebuah sertifikat kepemilikan. Padahal setahu saya, pemerintah saat akan melepaskan aset miliknya, biasanya melalui proses lelang terbuka.

Di sisi lain, ada pula kasus menarik lainnya. Yaitu setelah 30 tahun warga menempati lahan perumahan, dan sudah melunasi cicilan rumah, mereka digusur oleh pemerintah, karena ternyata sang developer hanya memiliki HGB atas tanah tersebut. Dan warga tak bisa menuntut, karena setelah 30 tahun, developer yang dahulu bertanggung jawab atas perumahan tersebut seolah menguap entah kemana.

Sepertinya memang permasalahan yang ada begitu kompleks saat kita bicara kebijakan agraria. Tapi,biar bagaimanapun, pemerintah harus tegas jika memang masih punya keinginan untuk swasembada pangan seperti pada era pelita repelita. Karena di era pelita repelita, pembangunan perumahan juga tidak seperti sekarang yang bak jamur di musim hujan. Sementara kebutuhan pangan pun semakin meningkat dari tahun ke tahun, dan tanpa lahan produktif yang mencukupi, apa mungkin swasembada pangan bakal terpenuhi?

Ah, seperti kata Hatta, padi tumbuh tak berisik. Bagaimana mau berisik, sawah guna padi itu tumbuh, sudah tumbuh subur bangunan beton...

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu