x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perkenalan yang Tertunda

Diperlukan waktu puluhan tahun untuk mengusung khazanah sastra dunia ke dalam Bahasa kita. Ini memang perkenalan yang tertunda, tapi tetap menyenangkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Phileas Fogg adalah pria lajang kaya-raya yang tinggal di London. Suatu ketika, di bulan Oktober 1872, ia ditantang oleh teman-temannya di Reform Club untuk mengelilingi dunia dalam waktu 80 hari. Lebih lama dari itu, Fogg dianggap kalah. Fogg menerima tantangan itu dengan taruhan sebesar 20 ribu poundsterling—angka yang bukan kepalang besar.

Ditemani oleh Passepartout, pelayannya yang berasal dari Prancis, Fogg memulai perjalanan panjangnya dari London. Dari ibukota Inggris ini, ia melewati Terusan Suez, terus ke Mesir, kemudian ke Bombay dan Kalkuta di India, lalu ke Hongkong, dan seterusnya ke Yokohama. Dari sini ia melanglang ke benua Amerika dan tiba di San Francisco untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke New York.

Cerita bertambah seru ketika Fogg dibuntuti oleh detektif Scotland Yard lantaran wajahnya mirip tersangka perampokan di London. Ia juga melewati petualangan lain, menyelamatkan maharani India dari jilatan api pembakaran jenazah dan ditinggal kapal uap saat hendak pergi menuju Yokohama. Di saat yang sama, ia harus segera menyelesaikan perjalanan sebab waktu yang tersisa semakin pendek. Berbagai alat transportasi yang ada pada zaman itu, seperti kapal uap, gajah, kereta api, maupun balon udara, ia gunakan. Fogg memenangkan taruhan itu ketika tiba kembali di London tepat 80 hari sejak keberangkatannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kisah itu dituturkan oleh Jules Verne, penulis yang dianggap sebagai “bapak science fiction” dalam Around the World in Eighty Days. Jika selama ini novel mashur tersebut hanya dapat dibaca dalam bahasa aslinya, kini kita dapat membaca dalam bahasa sendiri (80 Hari Keliling Dunia). Walau sangat lama dihitung dari terbitnya yang pertama kali, karya Verne yang memadukan science-fiction, ketegangan, dan rasa humor ini akhirnya hadir juga menemui orang-orang yang selama ini hanya mengenal namanya sebagai penulis hebat science-fiction.

Kehadiran karya Verne itu cukup “menghidupkan” rak-rak di toko buku kita yang cukup lama kosong dari karya-karya besar, kendati yang inipun bukan buah pena penulis-penulis yang saat ini masih hidup. Sejak terbitnya Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich, karya Aleksandr Solzhenitsyn yang diterjemahkan dengan amat bagus oleh Gayus Siagian, pada 1976, dari versi terjemahan Inggris Max Hayward dan Ronald Hingley, beberapa karya besar penulis asing memang sempat diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Karya Arthur Koestler, Gerhana Tengah Hari, di antaranya. Namun, muncul satu-dua judul, lalu kosong lagi.

Penerbit Bentang, misalnya, pada sekitar awal 2006 mengusung Les Misérables dalam cetakan setebal hampir 700 halaman. Upaya ini memang patut diapresiasi, sebab walaupun ini karya penting Victor Hugo (1802-1885) yang banyak dipujikan, namun tak berarti novel ini dijamin bakal laku dari sisi penjualan. Mungkin lantaran pertimbangan penjualan yang kurang bagus itulah, terbitnya Les Misérables pada 2006 ini tidak diikuti dengan penerbitan secara gencar karya-karya klasik lainnya.

Kemudian muncul pula terjemahan karya J. D. Salinger yang menghebohkan, The Catcher in the Rye—judul ini dipertahankan oleh penerbit domestiknya, Banana Publisher.Tak lama setelah terbit pertama kali di Amerika Serikat, tahun 1951, koran New York Times memuji karya Salinger ini sebagai “novel perdana yang brilian”. Yang lain mengecam: novel yang penuh omong kotor, bahasanya monoton, kasar. Entah karena ini, seperti lazimnya masyarakat menyukai kontroversi, dalam dua bulan sejak diterbitkan, The Catcher dicetak delapan kali dan masuk daftar buku terlaris New York Times selama 30 minggu. Namun di sini, karya Salinger tak menimbulkan kehebohan. Boleh jadi, sedikit orang yang membacanya.

The Catcher in the Rye memang melahirkan pemuja di mana-mana, dan tetap dibaca orang sampai kini. Hingga tahun 2004, diperkirakan sudah terjual sebanyak 65 juta eksemplar dalam berbagai bahasa, dan masih dicetak sekitar 250 ribu eksemplar setiap tahun. Mula-mula ini dianggap bacaan orang dewasa, namun karakter memberontak, membangkang, menganggap orang dewasa penuh kepalsuan, yang diwakili karakter Holden Caulfield menjadi daya tarik bagi remaja untuk membacanya.

Sesudah The Catcher, sepi lagi. Lalu, rak-rak di toko buku terisi kembali oleh jumlah judul yang lumayan banyak di waktu hampir bersamaan. Di samping Jules Verne, ada Ernest Hemingway, Vladimir Nabokov, Charles Dickens, dan D.H. Lawrence—untuk menyebut beberapa. Memang terkesan angin-anginan.

Pilihan atas karya Hemingway jatuh, apa lagi kalau bukan, pada Lelaki Tua dan Laut, yang dianggap sebagai karya terbaiknya. Novel terakhir yang terbit semasa hidup Hemingway ini berkisah tentang perjuangan luar biasa seorang nelayan tua Kuba yang seorang diri berusaha menangkap ikan marlin raksasa jauh di laut lepas setelah sebelumnya gagal menangkap satu ekor ikan pun selama 84 hari. Perjuangannya yang pantang menyerah mengajarkan kepada kita betapa kesabaran, ketabahan, dan kegigihan dalam mengarungi cobaan hidup tak akan berakhir sia-sia.

The Old Man and the Sea meraih sukses beruntun sejak diterbitkan pada 1952. Karya ini mendatangkan sukses komersial, dipuji oleh para kritikus sastra, dan secara pribadi memuaskan Hemingway. Tahun berikutnya, karya ini mendatangkan Hadiah Pulitzer, dan tahun berikutnya lagi Hemingway memperoleh Hadiah Nobel. Penghargaan ini membantu memulihkan reputasinya di pentas internasional. Tapi, di suatu pagi sembilan tahun kemudian, ia ditemukan tewas bunuh diri dengan senapan.

Charles Dickens, pengarang Inggris yang sepuluh tahun lebih muda dari Hugo, diperkenalkan pula di sini, dalam waktu yang belum lama. Popularitas novel dan cerita pendek Dickens, di negara-negara Barat, membuat karyanya tak pernah berhenti dicetak. Oliver Twist, yang terbit pertama kali pada 1839, mungkin karya Dickens yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Novel ini sebelumnya diterbitkan sebagai serial cerita bulanan di Bentley’s Miscellany, sejak Februari 1837 hingga April 1839, dengan judul The Adventure of Oliver Twist.

Oliver Twist mengejutkan para pembacanya karena memotret kemiskinan dan kejahatan di kota London. Bahkan, ketika kawasan kumuh di ibukota Inggris ini dibersihkan, Dickens dianggap orang yang bertanggung jawab lantaran uraiannya dalam Oliver Twist mendorong pemerintah kota untuk menghalau orang-orang miskin itu. Meski, Dickens justru bermaksud agar nasib kaum miskin ini diperbaiki.

Dickens, lewat karya sastranya, adalah kritikus sosial yang luas pengaruhnya. Karyanya yang lain, Bleak House dan Little Dorrit, mengelaborasi kritik terhadap aparat kerajaan zaman Victoria. Bleak House mengecam kantor paten yang tidak efisien dan korup, serta spekulasi pasar yang tidak diregulasi. Banyak karya Dickens yang menaruh perhatian pada realisme sosial dan inilah salah satu unsur yang membuat karyanya terus dibaca—Oliver Twist belum lama ini difilmkan pula. Setelah ini, layaknya disusul dengan kisah yang dituturkan Dickens tentang kota London dan Paris semasa Revolusi Prancis, A Tale of Two Cities. Karya ini menarik, antara lain karena ditulis di saat kehidupan Dickens dilanda krisis.

Setelah Solzhenitsyn, dan Anton Chekov dengan kumpulan cerita pendek Pohon Cheri-nya, dari kawasan Rusia sempat muncul Leo Tolstoy dengan Perang dan Damai-nya. Tapi, yang mutakhir tak lain Vladimir Vladimirovich Nabokov, pengarang kelahiran 1899 yang mula-mula menulis dalam bahasa Rusia, namun kelak dikenal sebagai piawai memanfaatkan kekuatan Bahasa Inggris dalam karyanya.

Lolita, yang terbit pada 1955, kerap disitir sebagai novel terpentingnya, dan memang yang paling luas dikenal dibandingkan karyanya yang lain. Novel yang menempati peringkat ke-4 dalam daftar 100 novel terbaik abad keduapuluh versi Modern Library inilah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Nabokov menulis Lolita di saat menempuh perjalanan mengumpulkan kupu-kupu di wilayah barat Amerika Serikat—kegiatan yang asyik ia jalani di saat musim panas dan memberinya pengakuan yang relatif tinggi atas karyanya dalam ontomologi.

Novel tentang seorang professor yang terobsesi oleh gadis remaja inilah yang membuat Nabokov terkenal. Lolita dan novel-novelnya yang lain, khususnya Pale Fire yang terbit pada 1962, menempatkan Nabokov sebagai salah satu novelis penting di abad ke-20. Ia masyhur akan plotnya yang kompleks dan permainan kata-katanya yang cergas dan pemakaian aliterasi.

Novelis lain yang mutakhir muncul di rak toko buku kita ialah David Herbert Richards Lawrence, penyair, esais, kritikus sastra Inggris kelahiran 1885 yang lebih dikenal sebagai D.H. Lawrence. Karya-karyanya merepresentasikan refleksi atas efek dehumanisasi modernitas dan industrialisasi. Di tangan Lawrence, efek ini dihadapkan pada isyu kesehatan, spontanitas, seksualitas, dan naluri manusia.

Sikapnya yang blak-blakan, seperti tertuang dalam naskahnya yang menciptakan kegaduhan—Lady Chatterley’s Lover—membuatnya berhadapan dengan sensor dan salah tafsir, di banyak tempat; meski, di sini tidak terdengar kegaduhan serupa. Di saat kematiannya, publik menganggapnya sebagai penulis novel porno yang menyia-nyiakan bakatnya. Namun, dalam obituari untuk mengenang Lawrence, E.M. Forster menggambarkannya sebagai “novelis paling imajinatif dari generasi kita.”

Kritikus Inggris lainnya, F.R. Leavis, mengakui integritas artistik dan keseriusan moral Lawrence dan menilai karya penulis ini sebagai bagian dari “tradisi kanonik” novel Inggris. Lawrence dinilai sebagai pemikir visioner dan reprentatif yang signifikan dari modernisme dalam kesusastraan Inggris. Kendati begitu, sebagian feminis keberatan atas sikapnya terhadap perempuan yang ditemui dalam karyanya.

John Steinbeck adalah nama lain yang meramaikan kehadiran nama-nama lama ini. Novelnya yang memenangi Hadiah Pulitzer, The Grapes of Wrath (1939), tak lepas dari kontroversi. Pandangan politik Steinbeck yang liberal membuatnya memotret sisi buruk kapitalisme, sejenis komentar sosial seperti yang dilakukan oleh Dickens. Orang lain, yang memandang karyanya dengan cara berbeda, menganggap The Grapes sebagai salah menafsirkan kondisi masyarakat saat itu. Selama beberapa tahun, bukunya dilarang beredar di sekolah dan dikucilkan dari perpustakaan-perpustakaan.

Karya-karya klasik Dickens, Hemingway, Lawrence, ataupun Steinbeck—juga nama-nama lain yang belum hadir di rak toko buku—seharusnya sudah diperkenalkan kepada publik di sini sejak lama. Keterlambatan nenerbitan karya-karya ini, di sini, barangkali karena karya-karya ini tidak menguntungkan secara komersial.

Betapapun, terlambat mengenal pun tak mengapa. Keragaman gaya penulisan mereka teramat sayang untuk dilewatkan, bukan hanya bagi pembaca yang tak sanggup mengakses karya-karya itu dalam bahasa aslinya, melainkan juga bagi siapa saja yang ingin belajar tentang kehidupan dari karya-karya besar. ****

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

15 jam lalu

Terpopuler