x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ki Guru

Tut Wuri Handayani adalah ide Ki Hajar Dewantara yang akhirnya menjadi semangat penyelenggaraan pendidikan Indonesia. Masihkah hari ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Discernment (kearifan, ketajaman berpikir, kecerdasan), discretion (kebijaksanaan, keleluasaan bertindak, kehati-hatian), dan resourcefulness (panjang akal) adalah tiga kata yang dipilih Peter Hawkes  menerjemahkan kata ‘WICAKSANA’ (bijaksana), dari tulisan Kenji Tsuchiya. Terjemahan Hawkes terbit di Amerika Serikat pada 1987, sementara tulisan asli Tsuchiya terbit dua tahun sebelumnya.

Buku Kenji Tsuchiya berjudul Indoneshia Minzokushugi Kenkyu (Penelitian Nasionalisme Indonesia), yang diterjemahkan Peter Hawkes, sebenarnya adalah tesis karyanya dalam rangka meraih gelar Doktor. Tsuchiya memilih WICAKSANA, nilai asli Indonesia, yang kuat mendasari gerakan pendidikan mulai 1920-an, yang akhirnya sekaligus menjadi ruh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sebagai sumber penelitiannya. Di Jepang pada 1985, buku ini memenangkan Ohira Prize, sebuah penghargaan untuk tulisan-tulisan berkualitas se-Asia Pasifik dengan kriteria mampu mengembangkan masyarakat.

WICAKSANA, bahan penelitian Tsuchiya, adalah filosofi dasar Raden Mas Soewardi Soerjaningrat mengembangkan pendidikan hingga mempengaruhi para aktivis kemerdekaan Indonesia memaknai demokrasi. WICAKSANA identik dan telah menjadi trah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat bahkan sejak tokoh ini muda, dalam pergolakan Indonesia dicengkeraman penjajah Belanda. Berlatar nilai WICAKSANA pula Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menyindir keras perilaku penjajah dalam sebuah artikel yang dimuat De Express, sebuah terbitan kala itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seandainya aku seorang Belanda, aku tidak akan mengadakan pesta kemerdekaan di negeri yang telah kurampas kemerdekaannya. Itu tidak adil. Tidak pantas meminta inlander (penduduk asli suatu wilayah) menyumbang dana perayaan kemerdekaan. Perayaan itu saja sudah menghina mereka. Apalagi meminta mereka menyumbang. Kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut membiayai sesuatu yang mereka tidak berkepentingan di dalamnya, dan itu adalah perayaan kemerdekaan bangsaku, akan sangat menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku’, tulisnya.

Akibat tulisan itu, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat ditangkap dan dibuang oleh penjajah Belanda, pertama ke Pulau Bangka di Sumatera, lalu lebih jauh lagi, ke Belanda. Hukuman tidak menyurutkan perjuangan. Sepulang dari Belanda, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat justru menjadi pelopor gerakan pendidikan. Ia menanggalkan gelar bangsawannya dan berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.

Menurut penelitian Tsuchiya, Soerjaningrat memilih nama ini demi mempertegas peran barunya. Dia ingin menjadi guru (Ki Hajar/Ki Ajar) yang berperan sebagai perantara manusia-manusia pada Tuhan (Dewantara/dewa-antara). Mungkin makna mudahnya, guru mengajarkan ilmu dan ilmu akan mendekatkan seseorang pada Tuhan, menurut saya.

Pada 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa. Perguruan ini bentuk nyata pemikirannya. Dengan cepat, ide-ide pendidikan dalam perguruan mendapat dukungan. Taman Siswa berkembang pesat di seluruh Jawa dan di pesisir Timur Sumatera. Ketika Taman Siswa menggelar kongres perdana mereka di Malang, Jawa Timur, pada 1930, ada 42 perguruan menjadi peserta.

Tak hanya mengulas sejarah Taman Siswa, Kenji Tsuchiya juga meneliti keterkaitan filosofi pendidikan Taman Siswa dengan pertumbuhan ideologi politik di Indonesia. Dari berbagai sumber, Tsuchiya berkesimpulan bahwa filosofi Taman Siswa menjadi latar ideologi nasionalisme dan anti kolonialisme yang berkembang pada periode 1930-1940. Tsuchiya membuktikannya dengan merujuk pada pemaknaan nasionalisme dan demokrasi di Indonesia, yang berbeda dengan pemaknaan konsep serupa di Eropa.

Menurutnya, konsep nasionalisme di Indonesia tak bisa dipisahkan dari nilai kekuatan dan pengakuan. Ini berangkat dari pemahaman `Manunggaling Kawula lan Gusti` (bersatunya pemimpin dan rakyat/unity of master and servant) yang kemudian dijabarkan sebagai tuntutan bagi seorang pemimpin untuk selalu memberikan teladan. Berdasarkan filosofi ini, pemimpin selalu berada di puncak  hierarki, sehingga seorang pemimpin harus senantiasa mampu bertindak mulia dan `wicaksana`. Tanggungjawab memberikan teladan adalah utama karena seorang pemimpin berfungsi memberi perlindungan sekaligus menjaga ikatan antara semua yang dipimpinnya.

Tsuchiya kemudian menjelaskan bagaimana konsep kepemimpinan ini mewarnai sikap pemimpin-pemimpin Indonesia. Soekarno misalnya. Menurut Tsuchiya, Soekarno selalu menempatkan dirinya sebagai pusat beragam kekuatan yang berkembang di masyarakat Indonesia. Sebagai pemimpin, dia lebih menyerupai sosok ‘Susuhunan’ (Paku Alam) dalam tradisi Jawa.

Tsuchiya  juga menyoroti pemaknaan fungsi pendeta dalam konteks kepemimpinan Indonesia. Pendeta (pundit/orang yang pandai/orang yang berilmu/menguasai ilmu/ilmuwan) adalah kiai, guru, pengajar, sekaligus punakawan. Punakawan adalah tokoh dengan fungsi penjaga/pendamping (tukang among) berdasar tradisi Jawa.

Filosofi inilah yang dikembangkan Taman Siswa untuk semua anak didikannya. Taman Siswa mengajarkan pendeta harus menjalankan fungsi kontrol pada kekuasaan, ukurannya adalah keberhasilan pemimpin. Ketika pemimpin gagal, berarti fungsi pendeta tidak berjalan baik.

Konsep ini juga tampak dari tiga pilar fungsi pendidikan Taman Siswa yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara: Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi contoh), Ing madya mangun karsa (di tengah, berusaha/membuka peluang), dan Tut wuri handayani (di belakang, membangun semangat).

Dari ide tiga pilar fungsi pendidikan versi Taman Siswa, `Tut Wuri Handayani` adalah slogan Kementerian Pendidikan. Tentu harapannya, agar  kementerian selalu mengutamakan fungsi memberi semangat dalam sistem pendidikan nasional kita, thus berarti lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Indonesia, yaitu sekolah-sekolah Indonesia, wajib menyediakan dirinya sebagai lembaga mewadahi seluruh bangsa Indonesia mempelajari ilmu pengetahuan.

Rindu rasanya sosok pendidik seperti Ki Dewantara, seorang bijaksana yang membumi dan mengabdi. Buah pikirnya bahkan mendunia, dipelajari lintas negeri, menjadi dasar semangat penyelenggaraan pendidikan bangsa. Masihkah hari ini?

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu