x

Iklan

Nur Alam Amjar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cinta Pertama

Tingkah Rahmat aneh tak karuan dan hanya bisa menunduk, ketika gadis yang sempurna di matanya itu menatapnya dan tersenyum padanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

        Embun pagi mulai menghilang seiring terbitnya sang pemberi kehidupan di siang hari. Bunga-bunga mulai bermekaran menanti datangnya sang mentari memberikan kehangatan di setiap helainya. Jarum jam masih setia berputar pada porosnya, yang tergatung rapi di dinding dalam kamar kost berukuran empat kali empat meter persegi itu.  Kamar yang penuh dengan gambar tidak jelas dan tidak menanpakkan lagi warna sesungguhnya dari dinding itu. Terlihat di sana seorang remaja yang berbadan kecil dan kurus tingginya 165 cm cukup pendek untuk ukuran seorang remaja lelaki. Wajahnya oval, berkulit sawo matang, berambut lurus yang sedikit dipanjangkan di bagian atas, sedang pada sisi kiri dan kanannya lebih pendek. style rambut yang lagi ngetren di kalangan remaja saat ini. remaja itu masih terjaga dalam dunia mimpi. Dalam kesehariannya ia sering disapa Rahmat, nama yang singkat. Namun, menurutnya sangat bermakna.

        06:00 Rahmat belum juga bangun dari tidurnya, ia masih telentang dengan tubuh yang terbungkus sarung sampai leher. Mulutnya terbuka dan mengeluarkan suara aneh seperti seekor kodok yang lagi bertarung dalam kegelapan. Beberapa menit kemudian ia membuka matanya dan menoleh ke arah jam dinding, di sana ia melihat jarum pendek menunjuk angka 6 dan jarum panjangnya menunjuk ke arah angka 3.

        "Haahh." Ia bangun dari pembaringannya dengan tangan kiri yang masih menopang badannya sedang tangan kiri mengucek matanya. Ia mengarahkan matanya ke jam dengan kepala yang di majukan untuk melihat lebih jelas jam itu.

        "Mati aku. Bisa dihukum lagi nih." Gumamnya dalam hati dengan menepuk jidatnya dengan tangan kanan. Rahmat bangun dari duduknya lalu merapikan sarung yang melilit badannya sampai leher. Ujung atas sarung digulung sampai pinggang, dan tubuh bagian atasnya tadak tetutupi sehelai benang pun. Rahmat berlari menuju kamar mandi yang bejarak dua meter dari kamarnya, cukup dekat dari kamar-kamar yang lain. Ia menutup pintu kamar mandi yang berukuran dua kali dua meter dengan kolam yang tidak begitu besar. Rahmat sesegera mungkin mandi, suara percikan air terdengar di semua kamar kosan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

        "Woe santai." Salah seorang penghuni kamar kost menegur Rohim.

        "Aku buru-buru." Rahmat membalas dengan nada suara yang lantang. Setelah itu tidak terdengar lagi suara dari luar kamar mandi. Rahmat terus melanjutkan menimba air untuk selanjutnya diguyur ke seluruh tubuhnya. Tak lama Rahmat keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih basah kuyup, sarung yang digunakannyapun ikut basah. tetes demi tetes air masih terlihat jelas mangaliri tubuhnya. Rahmat berlari ke kamar, menuju ke depan lemari yang berwarna kuning dengan tinggi sebahu dari Rahmat. Ia mencari seragamnya.

        "Mana ya." Gumamnya, ia melempar semua pakaian selain dari seragam yang di carinya.

        "Aaaah, ternyata kau ada di sini." Rahmat tersenyum dan seakan berbicara dengan seragam yang di temukannya di tumpukan paling bawah. Sambil memegan seragam ia membalikkan badan "aaaaaa'." Mulutnya terbuka dengan wajah yang terheran-heran melihat pakaian yang berserakan hampir di seluruh kamar.

        "Aaaahhh, nantilah." Katanya enteng, ia berlalu mengenakan sergam yang dari tadi di pegangnya. Ia kembali mengarahkan wajahnya ke jam dinding yang yang tergantung di barat kamarnya. Jarum pendek masih tetap pada angka 6 tapi, jarum panjang sudah bepindah posisi ke angka 8. Rahmat begegas meraih tas ranselnya di atas meja yang bertetangga dengan lemari pakaiannya menghadap ke timur. Ia berlalu meninggalkan kamarnya, berlari di lorong-lorong kosannya tanpa memperdulikan orang yang dilaluinya,

        "Bruuukh." Tubuh Rahmat terhempas ke lantai dan kembali berlari tanpa memperdulikan orang yang beradu badan dengannya.

        " woee, kalau jalan pake mata dong." Suara yang terkesan menggertak terdengar dari arah belakang remaja yang betubuh kecil itu. Rahmat berbalik dan tersenyum seraya mengangkat tangan kanannya. Namun, ia tidak berhenti justru larinya di percepat. Rahmat berteriak ke arah orang yang berbadan gede dari dirinya itu.

         "Maaf bang, aku lagi buru-buru." Ia berlalu menghilang dari pandangan.

-{0}-

       

        Pukul 7 lewat sedikit, Rahmat berada depan pintu kelas. Ia berhenti untuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Ini adalah kali kedua Rahmat telat dalam pelajaran kimia selama Rahmat duduk di bangku kelas XII IPA 3 di MAN Bulukumba. Sekolah yang terletak di salah satu kabupaten di pulau yang berbentuk 'K' itu. 

        "tok, tok, tok." Ia mengetuk pintu dan membuka pintu secara perlahan. Maksudnya biar guru yang mengajar tidak mengetahui kedatangnya. Rahmat mengendap-ngendap masuk ia berjalan perlahan bak seorang pencuri yang memasuki sebuah rumah mewah. Ia bertingkah sedemikian itu agar suara langkahnya tak terdengar oleh guru yang berbadan bongsor, bemuka imut. Tapi, sangat ganas saat berhadapan dengan murid yang melanggar. Guru itu sedang asyik memberikan materi tentang 'Unsur Atom'. Guru yang menghadap ke whiteboard, membelakangi murid-murid yang lain.

        "Hem." Rahmat terhentak mendengar suara dahem dari arah belakangnya. Langkahnya pun terhenti dan salah satu kaki menggantung. Ia merasa seperti orang yang dipukuli saat mendengar dahem dari sang guru garang itu, mukanya memerah, tubuh gemetar. "Mati aku." katanya berbisik sambil memejamkan mata.

        "Rahmat," Panggil ibu guru. 

        "Waduh." Suaranya berbisik. "Iya Bu." Lanjut Rahmat sambil membalikkan badan manghadap ibu guru. Ia hanya bisa tersenyum. Namun, senyumnya itu bunkan senyum bahagia tapi senyum akan katakutan yang amat sangat, karena akan berhadapan dengan guru berbadan gede bak seorang pesumo dari negeri sakura Jepang.

        "Kamu dari mana? Jam segini baru masuk." Suara yang terdengar garang di telinga Rahmat. Mata sang guru melotot menatap Rahmat yang hanya bisa menunduk ketakutan. Remaja bertubuh mungil itu tidak bisa menjawab, kedua bibirnya seakan dilem sampai tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Keringat dingin membasahi lengannya.

        "Berdiri di sana!" Perintah sang guru, dan jari telunjuknya mengarah ke sudut kanan kelas di antara lemari buku dan meja guru. Namun, matanya tidak berpaling dari wajah lugu Rahmat yang ketakutan. Rahmat seakan melihat api kemarahan yang begitu membara dalam mata gurunya, dan ia juga seakan ikut terbakaran karena kobaran apinya.   

        "Jangan duduk sampai pelajaran selesai!" Ia menunjukkan kekesalannya terhadap Rahmat yang suka telat. Sang guru memalingkan tatapannya dari Rahmat dan melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang guru.

        "Kurang ajar, kalau bukan guru udah aku hajar." Gerutu Rahmat dalam hatinya yang sudah dikuasai emosi. Rahmat juga merasa malu karena ia dihukum di depan gadis yang di sukainya, gadis yang duduk di barisan paling depan tepatnya depan Rahmat sedang dihukum. Muka remaja yang baru mulai mengenal cinta itu memerah dan tingkahnya aneh tak karuan dan hanya bisa menunduk, ketika gadis yang sempurna di matanya itu menatapnya dan tersenyum pada Rahmat. Karena kecantikannya dan kecerdasan yang dimilikinya, itulah yang membuat Rahmat jatuh hati. Rahmat yang sedang menjalani hukuman semakin tertunduk malu. kecantikannya semakin sempurna di mata Rahmat dengan jilbab segitiga yang dikenakannya. Menunjukan ia seorang muslimah. Whana, iya itulah gadis yang membuat Rahmat terkagum-kagum.

-{0}- 

 

        Pelajaran telah usai guru galak itu sudah tidak terlihat lagi di balik pintu kelas. "huuuuuhh." Keluh Rahmat setelah hampir 2 jam lama berdiri depan kelas. Rahmat berjalan menuju bangkunya yang berada di pojok kanan di bagian paling beakang. Dengan wajah yang terlihat memalas, cara berjalanya pun lunglai ditambah lagi ia harus berjalan di samping Wanha. Wanha yang juga tidak pernah memalingkan pandangannya kepada Rahmat entah dia sedang iba terhadap Rahmat atau justru menertawakannya dalam hati. Dan hal itu membuat rahmat semakin tersipu malu tapi, kekagumannya tidak akan pernah pudar, dan ia berhara apa yang dirasakannya itu juga dirsakan oleh Wanha.

        Rahmat menaruh tasnya di atas meja dan ia duduk menunduk di bangku yang terbuat dari kayu. Ia mencoba untuk memerhatikan Whana tapi ia takut kalau gadis itu juga memerhaatikannya dari depan. Berselaang beberapa menit ia mengangkat kepalanya ia memberanikan diri untuk melihat ke depan di bangku di mana Whana menitipkan bokongnya. Ia mengankat wajahnya perlahan. "Mati aku ia masih melihat ke sini." ternyata Whana yang juga menaruh hati kepada Rahmat masih memerhatikan Rahmat. Saling menatappun tak terhindarkan lagi, Rahmat melihat di mata Whana yang menaruh harapan kepadanya tapi, ia tidak siap untuk mengungkapkan isi hatinya. Mereka saling beradu pandangan cukup lama. Namun Rahmat lebih memilih mundur dari peraduan karena tidak sanggup lagi melihat mata indah yang di miliki Wanha, Rahmat kembali menundukkan kepala lalu bangun dari duduknya dan berlalu meninggalkan kelas mengikuti teman sebangkunya Hasyim.

        -{0}-

 

        12:45 siang jam sekolah sudah selesai semua siswa bergegas untuk meninggalkan sekolah tak terkecuali Rahmat dan seluruh anak kelas IPA 3. Rahmat sudah berada depan kelas. Ia seperti lagi menunggu seseorang, Rahmat menyandarkan tubuh mungilnya pada tiang yang menyangga kelasnya, mengahadap ke barat. Tidak lama Rahmat menunggu pintu kelas yang sedikit tertutup itu begerak dan yang terlihat di sana seorang gadis cantik, jantung remaja mungil itu berdetak kencang tak karuang. Gadis yang muncul dari balik pintu adalah Wanha.

        "Eeh, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, boleh?." sapa Rahmat.

        "Iya. Mau ngomongin apa?"

        "Besok ada tugas tidak." Rahmat mengawali pembicaraan dengan membahas masalah tugas walaupun niat awlanya adalah ingin mengungkapkan perasaannya terhadap Wanha.

        "Kayaknya tidak tu."

        "Em gitu ya." wajahnya bingun ingin mengatakan apa lagi.

        "iya." jawabnya singkat. Wanha kemudian berlalu meninggalkan Rahmat yang berdiri di samping kanannya.

        "Wanha, tunggu?" Rahmat mencegah langkah Wanha dengan memegan tangan kiri Wanha. Wanha berbalik dan tatapannya langsung tertuju pada mata Rahmat, mereka kembali beradu pandang.

        "iya, kenapa?" Wajah putihnya seketika berubah menjadi merah merekah dan jantungnya juga berdetak tak karuan melihat tanganya berada dalam gengaman Rahmat. Tanpa basa-basi lagi Rahmat langsung mengungkapkan perasaanya pada gadis mungil itu yang merupakan juga cinta pertama buat Rahmat.

        "Sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakan ini..." Rahmat menghetikan perkataanya melihat mata Wanha yang berbinar-binar seakan ia sudah mengetahui apa yang akan dikatakan Rahmat.

        "Mengatakan apa?" Desaknya ingin mengetahui lanjutan dari perkataan Rahmat.

        "Mengatakan kalau aku memliki pe..pe.rasaan yang lebih kepadamu sejak dulu." ucapnya terbata-bata, mukanya juga memerah. ia merasakan seperti ada asp yang keluar dari kepalanya. "jadi maukah kamu jadi kekasihku?" lanjutnya.

        "Em...."

        "Tidak mau ya?" jawabnya pasrah akan apa yang nantinya jawaban dari Wanha.

        "Em.... Iya aku mau." senyum kabahagian terliahat dari bibir mungilnya.

        "Hore." luapan kebahagian Rahmat tapi cuma dalam hati. Akhirnya ia bisa merasakan yang namanya pacaran dan ini adalah pacaran pertamya sekaligus cinta pertamanya.

     

Yogyakarta, 20 oktober 2013

Ikuti tulisan menarik Nur Alam Amjar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB