x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kopi Gayo dan Aroma Kebangkitan

Orang Gayo Aceh pernah kesulitan memasarkan kopi hasilnya di pasar internasional tanpa embel-embel Belanda. Internasional juga 'lupa' bahwa cokelat adalah Pantai Gading, Ghana, atau Indonesia. Apa nasib negara-negara kaya hasil bumi selalu sama?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagaimana rasanya jika suatu hari kita harus membayar royalti untuk berdagang buah-buahan yang bertahun-tahun tumbuh dan kita tanam di pekarangan pribadi? Sedih tentu, kepemilikan diserobot. Kalau begitu ceritanya, itu pelanggaran eksistensi.

2008, tragedi tadi menimpa Indonesia, ketika orang Aceh, eksportir kopi Gayo, digugat Holland Coffe, sebuah perusahaan Negeri Belanda, karena memalsukan merek dagang. Holland Coffe terlebih dulu mendaftarkan green bean atau Kopi Gayo Arabica sebagai salah satu komoditi dagang mereka, sehingga bukan sembarangan jenis ini dijual di pasar, terutama pasar internasional. Ada kewajiban membayar royalti, atau jalan lain, bersedia menjadi bagian perusahaan pemegang merek dagang.

Perlu perjuangan berat dan panjang sampai orang Indonesia, orang Gayo Aceh, bisa memasarkan green bean-nya sendiri, tanpa embel-embel Belanda. 2010, World Trade Organization (WTO) akhirnya mengizinkan barang sama mempunyai dua merek dagang, yaitu satu, Gayo Montain Coffee produksi Holland Coffe Negeri Belanda, dan dua, Gayo Arabica Geographical Indications dari perkebunan Gayo, Aceh, Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebenarnya Geographical Indications atau indikasi geografis adalah komponen wajib penetapan merek dagang dalam peraturan internasional demi melindungi orisinalitas atau kekhasan, karena meliputi kualitas, reputasi, dan karakteristik, yang menelusur muasal. 1994 istilah indikasi geografis resmi dicantumkan dalam pasal 22 ayat 1 lampiran TRIP’s atau Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, yang disepakati banyak negara menandai kelahiran WTO. Sesuai poin tadi, penetapan merek dagang perlu menilik keaslian asal, sehingga, harusnya, kejanggalan besar perusahaan kopi Belanda, yang bermil-mil jauhnya dari Gayo, justru mengantongi sertifikat hak paten.

Ini bukan sepele, menurut saya, karena berbuntut panjang. Meski akhirnya Gayo Arabica Geographical Indications resmi terdaftar, nyatanya, toh, ekspor Gayo Arabica Geographical Indications sekedar tembus pasar Asia. Konsumen lain, Eropa misalnya, lebih ngeh kopi Gayo produk Belanda sehingga membeli dari Belanda meski nyata-nyata mereka mengimpor dari Gayo juga.

Petani Kopi Gayo sendiri seperti menelan simalakama. Tak menjual pada Belanda berarti kehilangan potensi pasar utama sejak penjajahan, yaitu pasar Eropa, menjual artinya menggadaikan identitas. Target ekspor besar yang menjadi satu sinyalemen kemakmuran dan kemajuan perekonomian, yang dianut Indonesia, akhirnya juga mendorong petani pada posisi serba salah.

Tak jauh dari kopi, ada cerita cokelat. Tidak satupun nama tiga besar negara penghasil bersanding dengan cokelat. Dunia kadung gandrung menyebut cokelat itu Belgia, cokelat adalah Prancis, entah dibarengi kesadaran atau tidak bahwa tak satupun dari keduanya kantong perkebunan cokelat. Pantai Gading, Ghana, lalu negeri tercinta nan kaya raya, Indonesia kita ini, sekedar berperan sebagai lumbung raksasa yang setia mengirim hasil sekaligus bangga setelah dicekoki doktrin menjadi eksportir besar identik digdayanya perekonomian nasional.

Baiklah ekspor itu penting karena membuka lapangan kerja dan meninggikan pendapatan, tapi apa berarti harga diri bangsa dijual murah? Tidak adakah cara lain lebih terhormat demi menjunjung kedaulatan negara? Puluhan tahun patuh menjalankan petuah badan perekonomian dunia, sekaligus rajin meratifikasi kesepakatan-kesepakatan internasional, kita tak kunjung mandiri dengan gagah. Jangankan sejajar dengan negara-negara terlabel maju dan terdepan, mengatur rumah tangga sendiri saja hampir tak ada kemerdekaan. Bila kita naik kelas? Atau jangan-jangan, kelas teratas memang monopoli kalangan terbatas?

Jika tak banyak perbaikan, ayo sudahi menata Indonesia dari mata dunia. Mari berlogika. Hasil bumi Indonesia diperas habis-habisan, dulu diangkut kembali ke negara penjajah, sekarang pola pikir dan budaya dibentuk sedemikian rupa sehingga tren adalah menjual besar-besaran ke pasar internasional atas nama peningkatan pendapatan, pasar bebas, atau persaingan sehat. Bukankah keduanya serupa? Drainage menurut saya, ya pengeringan, ya pemerasan. Kisah tua penjajahan, dari sejarah tanam paksa sampai pasar bebas sekarang, hakikatnya mengeruk hasil negeri kaya, membatasi sebuah bangsa menikmati kekayaan buminya.

Seorang anak muda Aceh, lalu menginspirasi saya. Syahrol Rizal adalah fotografer profesional yang tergerak ‘menyelamatkan’ hasil tanahnya. Syahrol mengemas Arabika Gayo kualitas-kualitas andalan, membubuhi merek dagang, dan memasarkannya untuk lokal. Menurutnya, dulu tidak banyak orang Gayo minum kopi kualitas nomor satu mereka sendiri. Era tanam paksa penjajah Belanda, yang mengawali pembukaan ladang-ladang kopi di Gayo, membuat pribumi ‘jauh’ dari hasilnya sendiri itu. Hasil panen utama diangkut ke Belanda, menyisakan biji-biji kelas dua, yang tak lolos sortiran. Saking biasanya mengonsumsi jenis itu, ditambah belum banyak pengetahuan hasil bumi mereka digandrungi dan menjadi nomor satu dunia, green bean Gayo justru sepi peminat di tanah asal, awalnya.

Sepertinya itu kunci menyudahi polemik, menurut saya. Bangsa Indonesia patut mulai sadar sesadar-sadarnya mengonsumsi hasil negerinya dengan bangga kalau tak mau terus-terusan diperdaya, menguras habis hasil bumi sendiri demi ketersediaan internasional tapi alpa menjaga kedaulatan dan kehormatan bangsa.

Jika 1908, pemuda-pemuda Indonesia bangkit setelah kesadaran sama rasa dan senasib sebagai negeri perasan, sekarang, sejarah jangan berulang. Kita telah merdeka. Semoga Indonesia tetap di jalur benar mewujudkan cita-cita, meraih kemandirian. Terlambat satu minggu, selamat hari kebangkitan. Ayo berdikari, Indonesia!

 

Sumber Foto : www.theguardian.com

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB