x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menjadikan Jobs Studi Kasus

Kinilah saatnya menjadi Steve Jobs sebagai studi kasus yang formal—dalam pengertian dibahas di ruang-ruang kelas studi bisnis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai sosok inspiratif, Steve Jobs mengundang rasa ingin tahu banyak orang. Dari sekian banyak sosok yang menghela perubahan di industri teknologi informasi, Steve Jobs tergolong yang paling banyak dibicarakan. Secara personal maupun dalam konteks sebagai pelaku yang menggerakkan inovasi di industri ini.

Walter Isaacson mengupas kehidupan Jobs dalam buku setebal 750 halaman untuk edisi Indonesia—detail dan menawan. Di AS, buku berjudul Steve Jobs ini mengalami tiga kali cetak ulang dalam waktu kurang dari sebulan sejak diterbitkan.

Penulis Einstein: His Life and Universe dan Kissinger: A Biography ini memang diminta Jobs untuk menyusun biografinya. Isaacson sempat menolak dan bilang akan menunggu setelah Jobs pensiun. Tapi, istri Jobs, Laurene Powell, memberitahu padanya tahun 2009, “Jika kau akan menulis buku tentang Steve, lebih baik kau menulisnya sekarang.” Jobs baru saja mengambil cuti sakit untuk kedua kalinya waktu itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karya Isaacson ini bukan sekedar kisah tentang inovator yang mengubah dunia, melainkan seorang manusia yang dilukiskan oleh Isaacson sebagai “sebuah paket sempurna yang bisa disamai”. Mantan editor majalah Time itu punya kebebasan yang diimpikan penulis biografi untuk menggali dan menuliskan apa saja tentang diri subyeknya. Ia mewawancarai rekan, sahabat, pesaing, dan musuh Jobs.

“Ini bukumu,” kata Jobs. “Aku tidak akan membacanya.” Jobs tidak mengontrol penulisan buku itu walaupun ia sangat gugup ketika mengetahui apa yang dikatakan oleh orang-orang yang diwawancarai Isaacson. “Kau tidak perlu menutupi kesalahannya,” ujar Laurene mempersilakan Isaacson, yang kemudian memberikan pada kita pembaca keluasan kisah tentang Jobs sebagai manusia yang jika bermasalah, dia bisa membuat orang-orang di sekitarnya marah dan putus asa.

Tapi, lingkaran dekat Jobs ternyata tidak puas terhadap karya Isaacson. Mereka memandang karya Isaacson itu tidak memberi gambaran yang tepat mengenai sosok Jobs. “Sosok yang saya baca dalam buku itu adalah seseorang yang saya tidak akan pernah ingin bekerja sama dengannya,” ujar Tim Cook, CEO Apple yang sekarang. Yah, orang yang brengsek.

Sebab itulah, biografi Jobs ‘ditulis ulang’. Brent Schlender dan Rick Tetzelli ‘menulis ulang’ biografi Jobs. Becoming Steve Jobs: The Evolution of a Reckless Upstart into a Visionary Leader, judul biografi baru ini memperoleh dukungan dari Tim Cook dan eksekutif Apple lainnya yang mengenal Jobs.

Di luar biografi resmi Isaacson dan biografi yang ditulis ulang itu, ada pula Stay Hungry, Stay Foolish. Buku yang ditulis oleh Jay Elliot mengisahkan pencapaian Jobs. Judul buku ini menggambarkan semangat pencarian Jobs: jangan pernah berhenti belajar seolah-olah selalu kekurangan. Elliot menyoroti betapa Jobs terus memikirkan value apa yang bisa diberikan kepada orang lain di sekitarnya, lingkungan, dan dunia.

Dalam Steve Jobs: American Genius, Amanda Ziller mengisahkan bagaimana Jobs merevolusi cara kita bekerja, mendengarkan musik, menonton film, dan berkomunikasi. Dengan mendorong batas-batas dan selalu berpikir selangkah lebih depan, Jobs menjadi ikon yang mashur berkat gagasan dan estetika desainnya yang maju. Apa yang mengilhaminya? Bagaimana ia melakukan pekerjaannya? Dalam Inside Steve’s Brain (2010), Leander Kahney juga berusaha berusaha menjawab pertanyaan serupa. Kahney menunjukkan prinsip-prinsip berpikir Jobs dalam mengembangkan teknologi dan bisnisnya.  Salah satunya: Jangan mendengarkan orang-orang yang selalu berkata ‘ya’.

Seperti dikatakan oleh profesor Clay Christensen, Jobs telah memecahkan ‘dilema inovator’, yakni antara mengejar profit atau keluarbiasaan produk. Jobs dikenal obsesif mencapai kesempurnaan produk agar konsumen mudah memakainya. Inilah yang membuatnya berseteru dengan John Sculley, yang direkrut Jobs dari Pepsi untuk menjadi CEO Apple, sebab Sculley lebih mengejar profit. Jobs berpikir, jika produkmu bagus, uang akan datang.

Secara pribadi, pengejaran dan hasrat akan keunggulan ini barangkali yang membuat mantan pacarnya menduga bahwa Jobs menderita ‘narcissistic personality disorder’. Kendati disebut temperamental, Jobs juga mudah meneteskan air mata. Kepada Sculley, Jobs pernah bercerita bahwa seandainya ia tidak menggeluti komputer, ia membayangkan dapat menjadi penyair di Paris.

Job disebut-sebut juga memiliki kepiawaian lain yang layak dimiliki oleh para pebisnis atau siapapun, yakni membius khalayak yang menghadiri presentasinya. Dalam bukunya, The Presentation: Secrets of Steve Jobs, Carmine Gallo membicarakan kepiawaian Jobs dalam menyampaikan presentasi yang disebut-sebut mampu membuat hadirin “tidak lupa akan kata-katanya” ketika pulang ke rumah. Tentang hal ini, Isaacson melukiskan bahwa Jobs “suka melebih-lebihkan”. Ketika meluncurkan produk pertama NeXT (1988), Jobs berbicara di atas panggung yang dirancang sangat cermat dan mengatakan, “Produk ini luar biasa, produk terbaik yang bisa kita bayangkan.”

Semangat dan hasrat Jobs untuk membangun perusahaan yang orang-orangnya termotivasi untuk menciptakan produk yang hebat dan berbeda, bukan hasrat memburu keuntungan, telah menarik perhatian Nacy F Koehn. Kata guru besar di Harvard Business School ini, sekaranglah saatnya menjadi Steve Jobs sebagai studi kasus formal yang dibahas di ruang-ruang kelas studi bisnis. Ini menarik, sebab rasanya belum pernah ada satu orang pebisnis yang dijadikan studi kasus formal. Seorang Rockefeller atau Thomas Watson, Sr. sekalipun. (Ilustrasi: karya kolase Jason Mecier/sumber: fastcocreate.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler