x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Benny Moerdani dan Momen-momen Historis Orde Baru

Setelah Ali Moertopo, Benny adalah sosok yang banyak berperan dalam mendukung kebijakan Soeharto. Tragisnya, keduanya juga mengalami nasib serupa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leonardus Benny Moerdani meminta secarik kertas dari Teddy Rusdy. Di kertas itu ia menulis: “Dear Pak Yoga, from now on, the show is mine!—LBM.” Benny, ketika itu menjabat Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan. Sedangkan Yoga Soegomo berpangkat jenderal dan menjabat Kepala Badan Koordinasi Intelijen (BAKIN).

Benny lalu meminta Teddy, Perwira Pembantu VII Staf Intel Hankam, untuk menyampaikan pesan tertulis itu kepada Jenderal Yoga Soegomo yang berada di pusat pengendalian krisis, yang berjarak kira-kira 400 meter dari pesawat DC-10 Sumatra—tempat Benny bermarkas bersama 24 personel Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang dipimpin Letkol Sintong Panjaitan. Mereka sedang bersiap merebut pesawat DC-9 Woyla yang dibajak oleh kelompok yang menamakan diri Komando Jihad.

“Ok, Ben, do it. Sukses. – Yoga”. Itulah jawaban Yoga kepada Benny di kertas yang sama. Benny mengambil alih peran komando dari atasannya dalam mengatasi krisis pembajakan pada Maret 1981 itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kejadian itu memperlihatkan karakter Benny sebagai tentara—bisa dibilang ‘ora duwe udel’. Dalam sejumlah peristiwa lainnya, karakter itu mengemuka, umpamanya ketika Benny berencana menangkap Mayor Djaelani yang berencana ‘menculik’ Kolonel A.H. Nasution, waktu itu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Djaelani adalah atasan Benny di RPKAD. Lain kali, di saat tidak seorang pun perwira senior berani memimpin Operasi Naga ke wilayah Papua Barat, Benny memimpin operasi ini dengan peralatan terbatas.

Buku terbitan Tempo berjudul Benny Moerdani: Yang Belum Terungkap ini (Maret 2015) mengungkap sepak terjang dan peran Benny dalam sejarah negeri ini—peran yang jarang terungkap. Termasuk perannya dalam peristiwa yang memicu kontroversi, seperti Peristiwa Tanjung Priok, pemberangusan Kelompok Petisi 50, dan penembakan misterius yang berlangsung berbulan-bulan, serta penolakan atas pencalonan Sudharmono sebagai wakil presiden yang memicu ketegangan.

Dalam lintas kehidupan Benny, satu momen telah mempertemukan dirinya dengan Ali Moertopo yang kemudian mengantarkannya sebagai orang dekat Soeharto. Momen itu ialah ketika ia dipindah oleh Panglima TNI Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Ali kemudian melibatkan Benny dalam berbagai kegiatan Operasi Khusus atau Opsus. Bersama Ali, Benny menggelar banyak operasi, di antaranya untuk mendamaikan Indonesia dengan Malaysia—kedua negara akhirnya rujuk setelah Soekarno turun dari jabatan presiden. Melalui Ali pula, Benny berkenalan dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang pada masa Orde Baru berperan memberi masukan kepada Soeharto mengenai isu-isu ekonomi, politik, dan hubungan internasional.

Setelah Soeharto naik, Benny kian berperan, antara lain dipercaya untuk membenahi jaringan intelijen Indonesia. Ia dipanggil pulang dari pos diplomatik di Korea Selatan pada Januari 1974 setelah Jakarta diguncang Peristiwa Malari. Benny merangkap enam posisi petinggi intelijen sekaligus. Sembilan tahun kemudian (tahun 1983—bukan 1998 seperti ditulis Tempo), Benny dilantik menjadi Panglima ABRI menggantikan M. Jusuf. Di masa inilah, anak-anak Soeharto menjadi dekat dengan Benny.

Setelah Ali Moertopo, Benny adalah sosok di balik layar yang banyak berperan dalam mendukung kebijakan Soeharto. Tragisnya, keduanya juga mengalami  nasib serupa: tersingkir dari lingkaran kekuasaan karena konflik di lingkaran dekat Soeharto. Benny dicopot dari posisi Panglima ABRI satu minggu menjelang Sidang Umum MPR 1988 dan digantikan oleh Try Sutrisno. Meskipun ia tetap setia kepada Soeharto, Benny berani mengritik korupsi dan nepotisme pada rezimnya. Ia juga disebut-sebut tidak menyetujui rencana Soeharto mengangkat Sudharmono menjadi wakil presiden.

Usai menjadi Menteri Pertahanan, Benny tidak menempati jabatan apapun hingga akhirnya ia jatuh sakit terserang stroke dan lumpuh. Hubungan Soeharto dan Benny yang memburuk akhirnya mencair setelah Soeharto lengser pada 1998. Benny dan Soeharto yang sama-sama sudah sulit berbicara saling mengunjungi. Tempo menulis: “Dari atas kursi roda, keduanya kerap diam tanpa kata. Hanya air mata yang menitik dari keduanya, seolah-olah saling mengampuni masa lalu” (hlm. 194). Benny meninggal 4 tahun mendahului Soeharto.

Buku ini memberi kontribusi berharga untuk menyingkapkan apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa sejarah, yang sebagian besar orang mungkin hanya mengetahui serba sedikit. Tentang bagaimana kekuasaan dijalankan, kekuatan intelijen dikerahkan, persaingan serta konflik di lingkaran kekuasan, dan terutama tentang sosok Benny, jenderal dengan wajah dingin dan tatapan mata tajam, yang banyak dibicarakan orang ketika berkuasa—secara terbuka ataupun bisik-bisik. Sayangnya, isteri Benny dan anaknya semata wayang tidak bersedia diwawancarai Tempo—jadi, tetap saja banyak hal tentang Jenderal Benny yang masih misterius. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler