x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Teori Evolusi pun Berevolusi

Perkembangan teori evolusi memang semakin rumit ketika memasuki wilayah yang lebih luas: psikologi, sosiobiologi, bahasa, brain science, dst.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jean-Baptiste de Lamarck menerbitkan karyanya, Zoological Philosophy, bersamaan dengan tahun kelahiran Charles Darwin, 1809. Karya Lamarck mendahului setengah abad dibanding publikasi karya Darwin, On The Origin of Species. Ketika Darwin baru lahir, orang Prancis ini sudah berpendapat bahwa hewan, serta burung dan ikan berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi tempat mereka hidup. Hewan-hewan ini menggunakan sebagian organnya (karena itu organ ini menjadi kuat) dan kurang menggunakan sebagian organ yang lain (karena itu organ ini menjadi lemah). Prinsip use and disuse ini menjadi pokok pikiran pertama Lamarck.

Lamarck juga berpendapat, hewan-hewan akan meneruskan karakteristik yang diperolehnya sebagai akibat penyesuaian diri dengan lingkungan (acquired characteristics) kepada keturunannya. Ketika jerapah ‘dipaksa lingkungannya’ untuk menjulurkan lehernya guna meraih daun-daun di dahan yang tinggi, keturunan jerapah ini akan dilahirkan dengan leher yang lebih panjang.

Darwin, yang tidak nyaman dengan adaptasi yang tercipta dengan sendirinya ala Lamarck, mengajukan pandangan yang berbeda. Menurutnya, jerapah mempunyai leher panjang bukan karena terpaksa menjulurkannya untuk meraih pucuk-pucuk daun, melainkan karena sebagian jerapah lahir dengan leher lebih panjang dari  jerapah yang lain. Semakin panjang lehernya, semakin besar peluang jerapah itu untuk mendapatkan makanan. Lantaran itulah, jerapah berleher panjang lebih mampu bertahan hidup dibanding jerapah berleher lebih pendek.

Mengapa ada jerapah yang berleher lebih panjang? Ini adalah salah satu konsekuensi dari ciri khas mahluk hidup: variasi dalam keturunan. Genetika modern, yang berutang budi pada Gregor Mendel, menampik pandangan Lamarck dan menjelaskan konsep variasi Darwinian sebagai mutasi genetik yang berlangsung acak. Hasil mutasi yang lebih sesuai dengan lingkungan akan lebih mampu bertahan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak masa Darwin, dan terutama pada 1930an, teori evolusi telah mengalami modifikasi dan penajaman melalui pengetahuan mengenai mekanisme pewarisan, gen, dan mutasi. Ronald Aylmer Fisher, ahli statistik dan genetika Inggris, pada 1930, menunjukkan bahwa genetika Mendelian menyediakan mekanisme yang diperlukan untuk evolusi melalui seleksi alam. Bahwa kemudian ada yang berpandangan gen-sentris, seperti Richard Dawkins di masa sekarang, ini mesti dipandang sebagai salah satu varian dari neo-Darwinis—sebagian imuwan malah menyebut Dawkins sebagai ultra-Darwinis karena menentang pandangan apapun yang berlawanan dengan pandangan Darwin. Sebab itu, ada yang menjuluki Dawkins sebagai ‘tukang pukul Darwin’.

Dengan berfokus pada gen, seperti ia tuturkan dengan begitu retoris dalam The Selfish Genes (1976), Dawkins dianggap oleh pelopor sosiobiologi Edward O. Wilson telah mematikan ide seleksi kelompok secara prematur. Gen yang tidak mampu mereplikasi diri, kata Dawkins, berarti gagal berevolusi. Pandangan reduksionis Dawkins ini dikritik oleh Lynn Margulis, yang mengajukan konsep simbiosis yang menghargai sejenis Lamarckisme. Melalui simbiosis, satu organisme secara genetis bisa menyerap atau menembus organisme lain dan dengan begitu menjadi lebih cocok dengan alam. Sebagai contoh, jika jamur tembus cahaya menyerap alga yang bisa berfotosintesis, jamur itu akan memiliki kemampuan fotosintesis pula, yang kemudian akan diteruskan kepada keturunannya.

Gagasan seleksi-kelompok yang “dikubur secara prematur” oleh Dawkins saat ini malah dianjurkan oleh Edward Wilson maupun David Sloan Wilson. Wilson-yang-pertama (keduanya bukan bersaudara) berangkat dari studinya yang telaten terhadap semut dan koloni semut. Begitu pula, idenya tentang pembentukan spesies baru (spesiasi) begitu lama tertutupi oleh pandangan Ernst Mayr bahwa kendala reproduksi, misalnya gunung, memaksa spesies untuk berpencar. Namun, sejumlah biolog kini berpaling kepada gagasan Darwin bahwa spesiasi paling sering terjadi melalui kompetisi di ruang-ruang terbuka. Sejumlah ilmuwan berpandangan bahwa seleksi berlangsung pada berbagai tingkat dalam hierarki kehidupan, dan bukan hanya pada tingkat gen.

Boleh jadi, menengok kembali kepada Darwin adalah upaya para ilmuwan untuk memahami secara lebih utuh pikiran-pikirannya dikaitkan dengan berbagai kemajuan pengetahuan belakangan ini. Namun, untuk berpaling atau mengadopsi sebagian pandangan Lamarckisme masih membutuhkan konfirmasi yang lebih pasti. Perkembangan teori evolusi memang semakin rumit ketika memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas dari biologi: studi psikologi Steven Pinker, sosiobiologi Wilson, neuroscience, pengetahuan yang mempelajari otak (brain science), bahasa, dan seterusnya.

Dalam pandangan Dawkins (A Devil’s Chaplain, 2003), acquired characteristics ala Lamarck secara prinsip dapat diwariskan hanya jika embriologi lebih bersifat preformationistic ketimbang epigenetic. Embriologi preformationistic adalah embriologi cetak-biru yang bersifat dapat-dibalik (reversible). Contohnya, jika Anda memiliki sebuah rumah, Anda bisa merekonstruksi cetak-birunya dengan mengikuti aturan sederhana. Tapi, jika Anda mempunyai sepotong kue, tidak ada aturan yang memungkinkan Anda untuk merekonstruksi resepnya. Padahal, semua makhluk hidup di planet ini tumbuh dengan mengikuti embriologi resep, bukan embriologi cetak-biru.

Apakah ini berarti bahwa pengaruh lingkungan harus diabaikan dalam perkembangan evolusi? Ini merupakan perdebatan yang belum berakhir dalam waktu yang dekat ini: bagaimana gen dan lingkungan berpengaruh terhadap perkembangan makhluk hidup. Sebagian ilmuwan percaya bahwa lingkungan berpengaruh, tapi seperti apa mekanismenya masih terus dipelajari.  Kita juga tidak bisa mengatakan secara eksak 20 persen karena faktor gen dan 80 persen lantaran faktor lingkungan. Kesulitan terbesar yang dihadapi ialah menciptakan gambaran yang akurat mengenai interaksi antara genetis dan lingkungan budaya. Mekanismenya niscaya sangat kompleks. (sumber ilustrasi: godlikeproductions.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler