Tatkala membaca buku elektronik atau e-book di sebuah tablet, atau peranti lain apapun, apakah Anda merasakan sesuatu yang hilang? Bagi saya, jawabannya ‘iya’. Aroma. Ya, saya kehilangan aroma yang menguar dari kertas buku cetak. Ada sensasi tersendiri yang diberikan oleh buku cetak dan tak bisa diberikan oleh buku digital.
Aroma khas itu tercium terutama untuk buku-buku yang sudah mulai dimakan usia. Tapi, buku barupun menguarkan aroma yang mengundang selera untuk membacanya. Kertas, tinta, lem, serat—semuanya bereaksi terhadap cahaya, panas, lembab, dan juga mungkin lemak tangan kita saat memegangnya. Aromanya beragam tergantung material yang dipakai, yang masing-masing terasa khas.
Selain material bukunya, aroma ini, menurut sejumlah peneliti, dipengaruhi oleh lingkungan dan material lain yang ‘bersentuhan’ dengan buku. Buku yang terkena asap rokok akan punya aroma yang berbeda dengan buku yang tidak terkena asap rokok. Asap kopi panas yang menemani pembaca juga bisa menempel di kertas dan dalam perjalanan waktu akan menguarkan aroma yang unik.
Ada frasa yang barangkali sudah kita akrabi: “Anda tidak bisa menilai sebuah buku dari sampulnya.” Nah, para peneliti punya frasa lain: “Anda bisa belajar banyak tentang sebuah buku dari baunya.” Dengan cara tertentu, mereka rupanya bisa menganalisis buku ini disimpan dalam kondisi seperti apa dan berapa usianya (Analytical Chemistry, 2009). Jadi, para analis ini bisa mengetahui apakah sebuah buku disimpan dengan semestinya atau dibiarkan tak terurus.
Metoda yang disebut ‘material degradomics’ ini mempelajari senyawa-senyawa apa saja yang dihasilkan oleh material yang mengalami penurunan kualitas. Misalnya perubahan warna pada kertasnya. Metoda ini diharapkan bisa membantu perpustakaan, museum, maupun lembaga arsip memantau kesehatan koleksi mereka. Jadi, mereka bisa memelihara koleksi berharga itu dengan cara yang tepat.
Bagi saya, aroma buku merupakan bagian dari pengalaman membaca yang tidak diberikan oleh buku elektronik (e-book). Pembaca buku lainnya mungkin juga merasakan hal yang sama, meskipun barangkali aroma ini bukan perkara penting bagi mereka. Tentu saja, buku elektronik menawarkan keunggulan yang berbeda—suatu saat e-book akan semakin interaktif.
Yang menarik, rasa kehilangan aroma ini rupanya diendus oleh orang-orang kreatif sebagai peluang bisnis untuk menciptakan aroma buku bagi pembaca e-book. Saya belum tahu, apakah produk parfum yang menguarkan aroma buku ini memang benar-benar berhasil menciptakan aroma serupa yang dihasilkan buku cetak. Tapi, Smell of Books kabarnya mampu menciptakan aroma buku kertas yang disukai pembaca buku—namanya juga promosi.
Saya juga belum tahu, apakah memakainya dengan cara menyemprotkannya ke udara sekeliling, seperti kalau kita memakai pewangi ruangan? Kalau ya, bagi saya, aroma buku cetak masih tetap lebih berkesan. Aromanya sanggup membawa kita memasuki lorong waktu lampau dan menemukan tonggak-tonggak memori yang berkesan: membangkitkan kembali yang lampau. (sumber foto: onfiction.ca) ***
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.