x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mari Berhenti Menebar Fitnah

Kita perlu menggunakan momentum Ramadan untuk juga berpuasa memfitnah dan terus tidak memfitnah setelah kita kembali kepada kesucian

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ramadan kali ini mendatangkan banyak sekali kedongkolan buat saya.  Mungkin saja ini bentuk ujian yang diberi Allah kepada saya.  Tapi, menurut saya, ‘ujian’ ini tak perlu ada kalau saja masyarakat Indonesia lebih kerap menggunakan akal sehat pemberian-Nya.  Kedongkolan itu bersumber dari banyaknya berita tak berdasar yang disebarkan melalui pesan berantai dari aplikasi pesan gratis semacam Whatsapp.

 

Sebagai orang yang sempat belajar ilmu komunikasi dan tertarik pada ide information society, saya selalu merasa bahwa Internet adalah pedang bermata dua. Ia bisa menyediakan peluang besar untuk mendemokratiskan informasi, seperti misalnya yang diupayakan Salman Khan lewat Khan Academy-nya.  Juga, para profesor di Stanford, MIT, dan  Harvard yang menggagas Coursera dan EdX.  Di sisi lain, tentu disinformasi juga bisa disebarkan dengan cepat dan massif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Saya mungkin tak punya cukup data untuk bilang bahwa di negeri ini perkembangan positifnya terlampau sedikit, sementara yang negatif begitu berlimpah.  Tapi itu yang saya rasakan dari pesan-pesan yang masuk ke ponsel saya dari berbagai penjuru, terutama dari beragam Whatsapp Group yang saya ikuti. 

 

Tentu, karena semangat Ramadan, maka banyak sekali juga pesan keagamaan yang saya terima, dan saya baca dengan suka cita.  Tapi yang membikin saya terheran-heran adalah bahwa para pengirim pesan keagamaan itu juga adalah orang-orang yang sama dengan pengirim pesan tak jelas juntrungannya.  Siapa di antara kita yang tak terima pesan soal bakal masuknya 10 juta orang Cina sebagai pekerja kasar di Indonesia?  Siapa yang tak dikirimi ‘analisis ekonomi makro’ yang menempatkan Indonesia dalam daftar calon negara bangkrut?  Adakah yang tak menerima foto Presiden Barack Obama sedang berciuman dengan pria, dengan tambahan seperti “Oh, pantas saja kalau AS melegalkan pernikahan sejenis kelamin. Presidennya saja homo.”

 

Pesan berantai soal akan masuknya 10 juta pekerja kasar dari Cina itu diberi embel-embel analisis soal ‘turn-key project’ yang tak ada penjelasan apa itu artinya.  Di pesan itu dijelaskan bahwa jumlah pekerja itu akan masuk lewat 40 projek yang sudah diberikan Pemerintah RI kepada Cina, lagi-lagi tanpa menyebutkan projek apa saja itu.  Saya sendiri berpikir bahwa sebagian besar, kalau bukan malah seluruhnya, projek infrastruktur yang sedang dan hendak dikerjakan sifatnya adalah ‘build to order’ yang merupakan kebalikan jenis ‘turn-key’ itu. Selain itu, dari perhitungan sederhana saja, saya tak bisa paham projek macam apa yang secara rerata akan menggunakan 250 ribu pekerja.

 

Kalau boleh berprasangka, pesan itu jelas dibuat untuk membuat kebencian kepada Pemerintahan Jokowi yang berhasil membawa investasi besar dari Cina.  Jokowi tampaknya tak cenderung untuk menambah hutang luar negeri, dan menukarnya dengan investasi.  Masalahnya, para pengusaha Indonesia sendiri tampaknya tak cukup antusias menghimpun dana untuk itu.  Banyak di antara pengusaha kita sangat terbiasa dengan posisi sebagai rent-seeker belaka, dan ogah untuk berinvestasi besar.  Tetapi, manakala perusahaan asing kemudian mendapatkan pekerjaan, maka mulailah sentimen negatif ditebar.   

 

Tentu, kekhawatiran atas banyaknya pekerja asing sangat masuk akal.  Tapi angka 10 juta dari 40 projek benar-benar menggelikan.  Pemerintah harus menunjukkan dengan transparen berapa sesungguhnya jumlah pekerja asing yang akan masuk lantaran berbagai (berapa? di mana?) projek infrastruktur akan dikerjakan oleh perusahaan asing.  Bagaimana tenaga kerja lokal akan diperhitungkan dalam projek-projek itu?  Bagaimanapun peluang kerja untuk masyarakat lokal sangat perlu diatur untuk didahulukan.  Demikian juga untuk peluang bisnis bagi perusahaan lokal.  Pendek kata, diskriminasi positif dalam projek-projek infrastruktur itu harus ditegakkan.  Selain, tentu saja, kita tak bisa mengendorkan sama sekali ketentuan soal pengelolaan lingkungan dan sosial yang sudah diundangkan.

 

Menempatkan Indonesia sebagai negara di ambang kebangkrutan lantaran jumlah hutang luar negeri kita ‘semakin mendekati’ hutang Yunani benar-benar menggelikan.  Ukuran ekonomi kita jauh di atas Yunani, sehingga menggunakan jumlah hutang Yunani sebagai patokan jelas merupakan kesembronoan luar biasa.  Untungnya, segera saja para ekonom sungguhan, kemudian memberikan penjelasan yang sangat masuk akal.  Perbandingan hutang terhadap PDB diberikan, disertai berbagai penjelasan lainnya, membuat pesan berantai yang satu ini segera memudar pengaruhnya. 

 

Tetapi, intensi pembuatnya jelas sangat jahat, yaitu untuk destabilisasi kondisi bangsa ini.  Saya tak percaya penulisnya hanya pandir belaka.  Sebaliknya, ia tahu persis bahwa masyarakat Indonesia tak gemar menggunakan akal sehat sebelum meneruskan pesan yang diterimanya.  Maka, ‘analisis’ yang gayanya dibuat seakan ilmiah itupun tersebar dengan cepat, persis seperti intensi pembuatnya.

 

Demikian juga soal pernikahan sejenis kelamin itu, yang lalu mengangkat meme Barack Obama yang sedang berciuman dengan pria.  Pada meme itu, Obama tampak hendak mencium istrinya di pipi, sementara ada foto di mana Obama mencium bibir pria di dua foto yang berbeda.  Siapapun yang melek politik internasional akan langsung mengenali bahwa pria pertama adalah David Cameron, dan pria kedua adalah Hugo Chavez.  Dari latar foto yang tampak, jelas ‘ciuman’ itu terjadi di tempat publik, dan sangat mudah untuk menduga bahwa itu adalah hasil rekayasa dengan program semacam Photoshop.  Tapi, mereka yang tak mau repot memeriksa langsung saja mengirimkan meme itu, disertai dengan cemooh, atau bahkan caci maki.

 

Majoritas masyarakat bangsa ini jelas menolak pernikahan sesama jenis kelamin.  Kalau proses demokratis dilaksanakan untuk mengambil keputusan soal itu, pasti pengesahan yang sudah terjadi di AS—dan beberapa negara Eropa yang sudah lebih dulu mengambil keputusan itu—tak akan terjadi di sini.  Masyarakat Indonesia juga berhak untuk merasa khawatir akan adanya kemungkinan pergeseran nilai-nilai yang disebabkan oleh keputusan di AS itu. Tapi, itu sama sekali tidak membenarkan siapapun untuk memfitnah dan mencaci Barack Obama.

 

Obama sendiri sudah difitnah sebagai ‘kurang lelaki’ ketika mulai berkampanye untuk menjadi presiden.  Selain, dia dinyatakan sebagai muslim, pembunuh, bukan warga AS, pemalsu akta kelahiran, bukan manusia (melainkan siluman kadal), agen CIA, dan entah apa lagi.  Sebagian besar merupakan fitnah yang dilakukan oleh Partai Republik yang tak pernah menyukai (tentu saja) calon presiden dari Partai Demokrat. 

 

Fitnah ‘kurang lelaki’ selalu ditimpakan kepada capres Partai Demokrat yang manapun sepanjang lebih dari empat dekade terakhir di AS.  Sangat menggelikan—dan memprihatinkan!—kalau masyarakat Indonesia kemudian menggunakan dan menyebarkan fitnah tersebut untuk membenarkan dan menguatkan kekhawatirannya pada persoalan pernikahan sesama jenis kelamin.

 

Ada banyak lagi kabar-kabar fitnah yang bersliweran di dunia maya sepanjang Ramadan ini.  Tidakkah kita seharusnya menggunakan momentum Ramadan untuk juga berpuasa memfitnah dan melanjutkan keberhasilan berhenti memfitnah itu setelah kita kembali kepada kesucian?  Bisakah kita membayangkan bahwa setiap fitnah yang kita teruskan akan dibaca oleh banyak sekali orang, dan kemudian diteruskan ke lebih banyak lagi orang?  Tidakkah kita khawatir atas dosa yang bakal dicatatkan malaikat kepada kita?  Bagaimana pula cara kita meminta maaf atas seluruh dampak negatif fitnah yang kita lakukan, kalau kita tak bisa lagi melacak jejak fitnah yang kita lakukan?    

 

Kita sesungguhnya bisa memilih untuk menghentikan fitnah.  Setiap ada kabar buruk atau miring yang masuk ke dalam telepon selular kita, dan kita sama sekali tak menguasai permasalahannya, atau tak mampu mencari tahu kebenarannya, maka biarkan kita menjadi orang terakhir yang membacanya.  Kalau kita tahu persis berita itu benar, maka kita bisa meneruskannya dengan niat untuk mencegah kerugian atau kerusakan yang lebih besar, bukan untuk ‘merayakan’ kebencian kita kepada pihak tertentu.  Dalam Al Maaidah ayat 8 Allah mengingatkan kita untuk berbuat adil bahkan kepada mereka yang kita benci sekalipun.  Fitnah tentu saja jauh dari nilai keadilan, dan karenanya tak boleh kita tujukan kepada siapapun.  Tak ada dalih apapun yang bisa membenarkannya.

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB