Asing-asing datang di halaman kami
Mengukur, menakar, menggambar, menggali, mencari
Tanpa salam, tanpa singgah, sebentar gaduh, langsung pergi
Bedeng-bedeng lalu berdiri
Kami dikurung di rumah kami
Kami dipenjara di bumi sendiri
Api-api apa harus kami bagi?
Api-api lentera kami dicuri
Api-api kami menjelang mati
Jika boleh menggambarkan, mungkin itu yang dirasakan nelayan-nelayan Gampoeng Iboih, dulu, berdampak kikisnya adat, sekarang. Pernah, sepihak mereka dilarang mengambil apapun dari laut, yang temurun menjadi halaman rumah mereka. Mereka seperti dipaksa mengingkari sejatinya diri sebagai ‘orang laut’, ‘manusia-manusia pantai’, masyarakat pesisir, padahal bangsa Aceh digdaya di samudra.
Menjadi nelayan adalah trah orang pesisir Aceh termasuk Sabang yang gugusan pulau. Keterampilan melaut melekat, diturunkan dari bapak ke anak seolah terbawa di aliran darah. Bukti-bukti demikian gamblang mulai catatan pelabuhan dagang besar dan ramai masa Kesultanan, jejak jelajah saudagar Aceh yang sampai negeri manca, hingga lingkar domestik nelayan-nelayan dengan kearifan sampai Hukum Adat. Melaut bukan sekedar cara memenuhi hajat hidup di Aceh, lebih dari itu, melaut ritme hidup, menjadi adat, adalah identitas.
Adat Laut Aceh demikian kental terbentuk dari pola interaksi masyarakat yang terus-menerus, melahirkan budaya. Persis suatu teori ilmu komunikasi bahwa identitas terbentuk karena proses panjang dua arah, dari sifat asli yang diberi penilaian sekaligus penilaian yang sering didengungkan. Budaya orang pesisir Aceh adalah perjalanan panjang tatanan-tatanan dimulai beberapa abad silam yang bertahan hingga sekarang. Budaya ibarat kerja banyak orang secara bersama menemukan satu keluhuran, kerja keras memegang teguh keluhuran itu, dan kerja selalu mewariskan keluhuran tatanan, generasi ke generasi.
Maka melarang orang Iboih-Aceh melaut, dalam jangka lama, dari penetapan legal yang direncanakan, bukan hal sepele menutup ‘periuk’, tapi sekaligus soal besar, pengingkaran keberadaan atau eksistensi, kesimpulan saya. Disengaja atau tidak, ada unsur menjauhkan, mengaburkan, bahkan mungkin mengganti identitas masyarakat pesisir Aceh.
Mulai 27 Desember 1982, seiring Keputusan Menteri Pertanian No. 928/Kpts/Um/12/1982 tentang penunjukan bagian Barat Laut Pulau Weh, Sabang, sebagai Taman Wisata Alam (TWA) Laut Pulau Weh, laut kawasan itu tertutup dari pengambilan hasil bagi masyarakat luas termasuk penduduk Iboih. Masyarakat Iboih dilarang mengambil hasil lautnya sendiri. Ujungnya adat nelayan mati suri.
Gampoeng Iboih adalah desa yang semua wilayah lautnya tercantum dikeputusan sehingga nelayan-nelayan mereka paling terdampak. Bukan sekedar cemas kehilangan sumber penghasilan, ikatan mereka terberai perdebatan. Paling sering mereka berselisih soal penolakan aturan atau pasrah diam. Awal penetapan kawasan perlindungan, orang-perorang saja berani maju mempertahankan hak.
Pengalaman Ishak Idris, Panglima Laot Iboih waktu itu (Panglim Laot adalah nama lembaga adat laut Aceh sekaligus julukan bagi pemimpinnya), berhadapan dengan patroli kawasan hingga kenyataan hampir digelandang, jadi bayangan ngeri nelayan-nelayan. Peristiwa ini makin menyurutkan usaha masyarakat merebut kembali hak. Jangankan tradisi, denyut hidup saja meredup. Jangankan duduk berembug menyiapkan kenduri adat atau saling mengingatkan waktu-waktu pantang, hari-hari saja gotong-royong nelayan, yang mewarnai hampir tiap tahap kegiatan melaut, mandeg terhambat.
Sejarah kawasan perlindungan alam sendiri berawal bukan dari negeri ini. Beberapa mengatakan 1933, Konferensi Internasional Perlindungan Fauna dan Flora, yang diadakan di London, menjadi titik awal kesepakatan negara-negara dunia merumuskan pengertian istilah, batasan-batasan, juga bentuk dasar kawasan perlindungan. Nyatanya, beberapa peserta adalah negara boneka Inggris sehingga ini lebih mirip usaha menjaga ‘lumbung’ kebutuhan warga Inggris tak terusik.
Sejarah kawasan perlindungan alam di Indonesia senada. Sejak REA hingga pengelolaan, kawasan-perlindungan alam dibangun dengan keterlibatan asing. REA atau Resource and Ecological Assessment ialah survey dasar mengawali penetapan status kawasan perlindungan alam dan atau perairan. REA semacam klarifikasi atau penelitian menyatakan kandungan suatu tempat, kurang lebih meliputi data ragam hayati, keaslian habitat, keterwakilan ragam biota sekitar, keunikan, kelangkaan, luasan, keterjangkauan wilayah, dan efektifitas.
Semua tentang potensi kekayaan, yang harusnya menjadi data mahal sekaligus harta sebuah bangsa, sebuah daerah, menurut saya. Kerja sama Indonesia dengan badan luar dalam hal ini adalah buntut kesediaan Indonesia meratifikasi kesepakatan internasional. Aneh bagi saya, karena jika benar kawasan perlindungan dibangun demi melindungi spesies atau habitat juga keragaman hayati suatu tempat, sesuai tujuan pendirian suatu kawasan perlindungan, harusnya bangsa ini paling paham apa yang dikandung tanahnya sekaligus paham cara mengelolanya.
Lebih aneh menilik waktu yang keseluruhan terjadi pasca kudeta 1965 padahal dunia berproses sejak 1933. Kenyataan lain, Deklarasi Juanda, yang ramai nota keberatan pada 1957, akhirnya diakui 1982. Deklarasi Juanda mengusahakan kedaulatan dan kemerdekaan sebesar-besarnya Bangsa Indonesia dalam mengelola laut, sedangkan pengakuan 1982, dibarengi keharusan melibatkan badan-badan dari luar Indonesia selama pembentukan hingga pengelolaan kawasan perlindungan alam.
Bukankah ini lebih mirip barter kepentingan tinimbang pernyataan dan penghormatan kedaulatan bangsa sebenar-benarnya? Bukankah dua ini jelas bertentangan? Sampai hari ini, keterlibatan asing dalam kawasan perlindungan alam di Indonesia masih berlangsung didukung banyak anak bangsa produk sistem yang dicampuri kepentingan luar.
Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.