x

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Guru

Ketika guru tidak mendapat tempat semestinya baik di rumah maupun di sekolah bukanlah ada sisi kemunduran bagi masa depan bangsa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah tragedi ketika guru yang pahlawan tanpa tanda jasa di sebuah sekolah Jakarta harus bunuh diri menghadapi tekanan ekonomi, tekanan istri, tekanan kondisi keuangan yang KO pada pertengahan bulan. Ada syarat lagi, harus mendapatkan uang tanpa utang, tanpa meminjam. Kepala rasanya berdenyut-denyut. guru itu  mengandalkan gajinya sebagai sandaran hidup keluarganya setiap bulan. Padahal secara keseluruhan dia sudah bergaji lebih 6 juta. Guru itu harus menghadapi kenyataan bahwa uang 6 juta tetaplah belum cukup memenuhi kebutuhan yang berderet di sepanjang tahun 2015. Istri tidak bekerja dan tiga anak harus dipenuhi kebutuhannya (susu, SPP transportasi, lain-lain).

Sebagai pengajar yang harus selalu senyum walaupun sepanjang hari menahan derita karena harus memenuhi target kebutuhan istri satu-satunya hiburan hanyalah dengan menulis. Tapi menulispun juga tengah terancam karena guru itu ditekan untuk tidak banyak berkayal, melihat realita dan banyak berpikir. Realita yang terjadi adalah guru itu harus berbenah, introspeksi bahwa kayalan tidak bisa menyelamatkan diri, bahwa sepanjang bulan harus memenuhi kantong-kantong rupiah dari situasi dan kondisi bahwa Jakarta, atau kota-kota besar lainnya mengukur kesejahteraan, kebahagiaan dengan sejumlah uang sebagai mahar agar bisa bertahan dalam sosialita Jakarta yang penuh berisik dan artifisial.

Guru ditekan untuk mengambil les, mengambil pekerjaan sampingan sampai larut malam untuk memenuhi nafsu besar Jakarta yang memang harus bergerak cepat. Guru tampak sangat payah karena di sekitar lingkungannya adalah kaum pekerja yang bisa memenuhi target para istri untuk berpenghasilan lebih dari 10 juta perbulan. Tidak sulit bagi pengacara untuk merengkuhnya, tidak sulit bagi pekerja lemburan yang sepanjang hari mendapat uang harian + uang lembur yang bisa disetorkan ke istri. Tapi guru yang mengajar bukan di ilmu basah seperti IPA dan matematika yang begitu mudahnya menciptakan rupiah asal tekun dan mencari informasi les-lesan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Entah hanya alibi atau alasan guru itu tidak maksimal mencari tambahan, di sekolah tuntutan pekerjaan itu sangat tinggi. Selain mengajar guru juga harus berbagi konsentrasi untuk membuat modul, bahan ajar, media pengajaran, RPP,  Menelaah silabus dan tuntutan untuk selalu Update pengetahuan. Sementara di luar kebutuhan hidup memaksa guru harus mengejar kecepatan maksimal untuk mendapatkan uang lebih.

Yah Ternyata gengsi tinggi memaksa seseorang untuk melihat kenyataan. Realita yang terjadi seharusnya uang itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sebulan, tapi kenyataannya banyak melesetnya dan perputaran uang hanya memenuhi kebutuhan badaniah bukan kebutuhan kebahagiaan yang berawal dari bathin yang lega, jiwa yang merdeka. Bahkan kayalanpun menjadi mahal karena tidak ada lagi ruang untuk berkayal. Guru harus ekstra kerja agar bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kalau tidak siap-siaplah ditinggal istri ditinggal teman karena tidak ada yang bisa dibanggakan selain merenungi kemiskinan.

Tapi benarkah sebegitu miskinnya guru?Pertanyaan itu susah terjawab karena bisa jadi faktor keluarga yang membuat guru merasa termiskinkan. Kalau keluarga pandai memutar uang ditambah kreatifitas memanfaatkan peluang uang 6 juta tidaklah kecil, tapi mengapa uang menguap sangat cepat hingga di pertengahan ekonomi kembangkempis dan megap-megap. Utang menjadi salah satu solusi untuk menambal kekurangan tapi bagaimanapun siklus utang akan memberi stimulus untuk mengembalikan utang  tersebut ke titik nol hingga jika semakin hari semakin tersandera utang yang ada hanyalah pailit atau tekor ujung-ujungnya.

Kolaborasi, itulah yang seharusnya menjadi titik imbang keuangan keluarga, ibu rumah tangga bukan hanya menuntut mencari penghasilan sebanyak-banyaknya. Ibu rumah tangga juga harus menyadari bahwa nafsu belanja yang tidak perlu harus dikurangi, hal-hal yang tidak perlu untuk keluarga dalam waktu dekat jangan dijadikan target pembelanjaan. Managemen berpikir ibu rumah tangga juga harus fair. Jangan terlalu mendikte kepala rumah tangga hingga melakukan perbuatan negatif hanya demi memenuhi tuntutan  keluarga. Jangan sampai kepala rumah tangga mati ngenes karena catatan-catatan tuntutan yang membuat otak serasa ingin meledak. Atau lebih beratnya lagi seorang kepala rumah tangga yang juga dikenal sebagai guru ditemukan bunuh diri  karena terlilit utang.

jakarta itu adalah bom waktu. Emosi akan dengan mudah meledak karena tawaran hedonism yang menjangkiti penghuninya. Ada nafsu belanja, nafsu  memiliki mobil, padahal tidak terdukung keuangan yang memadai, ada turbulensi  sikap yang gampang berubah hingga menyebabkan banyak orang mengalami  kepribadian ganda. Suatu saat bisa gembira  dengan  tertawa lepas namun bisa-bisa emosi seperti  cacing kepanasan atau terpancing ejekan ala iblis.

Tekanan berat terhadap  perubahan budaya hingga  terjadi pembiasan di lini masa. Masa kini akan kembali ke masa lalu, masa lalu akan dengan cepat melaju hingga mencapai tataran modernitas super seperti yang tergambarkan dalam genre post modern. Dan guru hanyalah tetap sebagai jalan menuju transisi dari masa lalu ke masa depan dengan penuh harapan mendulang kesuksesan dan keajaiban.

Ketika guru tidak mendapat tempat semestinya baik di rumah maupun di sekolah bukanlah ada sisi kemunduran bagi masa depan bangsa.

 

Ignatius Joko Dwiatmoko

Pemerhati Sosial budaya, penulis blog

 

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu