x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Duet Ampuh Etnografi dan Big Data Analytics

Perpaduan big data analytics dan etnografi berpotensi mengungkap peluang inovasi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan lebih baik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ikhtiar memahami keinginan pelanggan terus dilakukan. Para pebisnis sudah mengusung etnografi untuk mengerti perilaku pelanggan dan apa yang mereka inginkan. Kemajuan teknologi dan timbunan data yang terus diproduksi setiap hari lewat berbagai peranti melahirkan big data analytics. Berbagai peranti lunak dikembangkan untuk mengurai jutaan megabyte data yang diproduksi sangat cepat.

Tapi dua pendekatan itu punya perbedaan. Etnografer mendekati pelanggan yang “beraksi” dalam lingkungan alamiah. Mereka memotret kebiasaan pelanggan dalam memakai, misalnya, telepon genggam: kapan, dimana, fungsi apa yang banyak digunakan, sampai cara pengguna bertelepon. Boleh dibilang, bersifat kualitatif.

Lain halnya dengan big data analytics, yang berusaha menemukan saripati perilaku konsumen dari timbunan data yang sangat besar. Data scientist yang menganalisi big data berupaya menemukan pola dan kecenderungan dengan peranti analisis. Lantaran itu, sifatnya lebih kuantitatif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak lama orang berdebat, mana yang lebih ampuh di antara dua pendekatan itu: kualitatif atau kuantitatif. Tapi, bukankah ada pilihan lain, yakni memadukan keduanya ketimbang mempertentangkannya? Lahirlah upaya memadukan etnografi dan big data analytics untuk memahami konsumen melalui dua arah. Pelaku bisnis, pemasar, analis, maupun inovator berharap dapat menemukan model-model yang lebih bernilai dengan memadukan etnografi dan big data analytics.

Kombinasi ini dimaksudkan untuk menggabungkan kekuatan kedua metode dan mengatasi kelemahan masing-masing. Sebagai perkakas riset, etnografi semakin penting untuk ‘menukik ke dalam’ dan memahami konsumen dengan mengobservasi mereka dalam lingkungan alamiah. Masukan dari metode ini lebih dapat diandalkan ketimbang focus group, di mana konsumen ditempatkan dalam lingkungan buatan yang sudah disiapkan.

Big data cenderung memberi nilai lebih pada hasil kuantitatif, tapi mendevaluasi pentingnya hasil kualitatif. Ini dapat mengarah kepada gagasan yang berbahaya bahwa data yang dinormalisasi dan distandarisasi secara statistik lebih berguna dan lebih obyektif daripada data kualitatif.

Meskipun sepintas big data analytics dan etnografi terlihat berseberangan, sebenarnya terdapat beberapa keserupaan. Etnografer memerhatikan obyek secara intensif dari tangan pertama. Data scientist merekam momen-momen aksi pelanggan dengan bantuan berbagai peralatan dan menganalisisnya secara statistik. Etnografer berusaha menghubungkan perilaku yang terlihat untuk mendapatkan makna melalui percakapan di lingkungan alamiah. Data scientist cenderung fokus pada pelacakan data perilaku untuk mengetahui pola dan kecenderungan.

Secara praktis, adopsi terhadap pendekatan etnografi plus big data analytics ini sudah dilakukan antara lain oleh Xerox. Manajemen Xerox mendapati bahwa perpaduan dua pendekatan ini dapat menjadi kombinasi yang dahsyat. Dalam suatu wawancara di Forbes.com, sejumlah eksekutif Xerox berbagi hasil observasi mereka dalam membantu badan-badan pemerintah tentang bagaimana disiplin kuantitatif dan kualitatif secara bersama-sama menghasilkan solusi baru yang ampuh.

Menurut Ken Mihalyov, Chief Innovation Officer for Transportation Central and Local Government di Xerox, etnografi membantu timnya untuk memastikan bahwa mereka fokus pada persoalan yang tepat dan bahwa kesimpulan yang mereka tarik dari big data analytics tervalidasi di dunia nyata.

“Ada hal-hal yang dapat kami selesaikan dengan algoritma dan big data saja. Kami dapat mencermati data itu dan melihat kecenderungan yang tidak terlihat tanpa analisis ini,” katab Ken. “Etnografi menjadi mitra yang kuat untuk melihat data dengan cara tertentu dan menarik kesimpulan darinya. Kami dapat mengonfirmasi bahwa kami bekerja pada persoalan yang benar, bahwa kami tidak kehilangan sesuatu, dan bahwa interpretasi kami benar. Etnografi membantu kami mengonfirmasi faktor-faktor itu dan bahwa kami melihat gambar yang lebih besar yang mencakup interaksi manusia.”

Yah, perpaduan etnografi dan big data anaytics menyediakan gambaran yang lebih mendalam sekaligus lebih bernuansa mengenai perilaku pelanggan dan apa yang menggerakkan mereka. Akhirnya, duet ini begitu inovatif membantu siapapun dalam mengembangkan produk, jasa, maupun model bisnis baru yang berpotensi memprediksi dan mengantisipasi kebutuhan pelanggan dengan lebih baik. (foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini