x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berebut Orang-orang Berbakat Hebat

Semakin sukar mendapatkan talented people di tengah kompetisi bisnis yang kian ketat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Meskipun sumber daya manusia telah lama menjadi perhatian para manajer, namun istilah ‘the war for talent’ yang dilontarkan oleh Steven Hankin dari McKinsey & Company pada tahun 1997 telah menyita perhatian para manajer dan pemimpin bisnis. The war for talent merujuk kepada lanskap yang kian kompetitif dalam upaya perusahaan merekrut dan mempertahankan talent. McKinsey ketika itu memprediksi bahwa permintaan akan talent di masa depan akan meningkat sedangkan pasokan menurun, sehingga perusahaan memperebutkan talent terbaik dan paling cemerlang.

Lihat saja bagaimana perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang teknologi informasi. Di lapangan industri peranti lunak dan internet, umpamanya, perebutan orang-orang yang sangat berbakat ini sedemikian seru. Tak heran bila kerap terjadi mereka ‘dibajak’ oleh perusahaan pesaing yang mengiming-imingi bukan hanya gaji dan fasilitas, tetapi juga kenyamanan bekerja yang lebih bagus serta keleluasaan untuk mewujudkan ide-ide mereka. Marissa Mayer, CEO Yahoo, adalah mantan eksekutif dan juru bicara Google.

Siapakah talent? Manajer-manajer hebat, begitu Marcus Buckingham menyimpulkan dari wawancara dengan ratusan manajer dan menuliskannya dalam buku First, Break All the Rules, mendefinisikan talent sebagai ‘a recurring pattern of thought, feeling or behavior that can be productively applied.’

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penekanannya, tulis Buckingham, terletak pada kata ‘recurring’ (berulang-ulang). Talent Anda adalah perilaku yang paling sering Anda lakukan, merupakan perilaku yang berulang-ulang. Kemampuan instinktif Anda untuk mengingat nama-nama dibandingkan wajah-wajah adalah talent. Ketertarikan Anda yang sangat kuat pada risiko, dan karena itu Anda berulang-ulang mengambil risiko yang orang lain tidak punya cukup keberanian, adalah talent Anda. Apapun pola perilaku berulang yang dapat diterapkan secara produktif, itu adalah talent.

Tidak ada definisi baku mengenai ‘talent’. McKinsey & Company, misalnya, mengartikan talent sebagai ‘the sum of a person’s abilities... his or her intrinsic gifts, skills, knowledge, experience, intelligence, judgement, attitude, character and drive. It also includes his or her ability to learn and grow..’ (Michaels et al, 2001: xii). Bagi McKinsey, talent merujuk kepada ‘yang terbaik dan paling cemerlang’.

Sementara itu, Dave Urlich, guru besar sumber daya manusia di Michigan University, AS, menawarkan pandangan yang lebih utuh mengenai talent. Ia menyodorkan suatu formula bahwa talent = competence * commitment * contribution (Ulrich, 2006).

Dalam formulasinya, competence bermakna individu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk hari ini dan mendatang. Commitment berarti bahwa karyawan bekerja keras, mencurahkan waktu terhadap apa yang harus mereka kerjakan, mengerahkan energi bagi keberhasilan perusahaan. Contribution mempunyai makna bahwa mereka memberi kontribusi nyata melalui pekerjaan mereka—menemukan makna dan tujuan dalam pekerjaan mereka. Menurut Ulrich, competence berkaitan dengan ‘kepala’ (being able), komitmen berkenaan dengan tangan dan kaki (being there), dan kontribusi berurusan dengan hati (simply being).

Meminjam definisi Ulrich pula, ‘the talent war’ merepresentasikan dorongan untuk menemukan, mengembangkan, dan mempertahankan individu-individu yang memiliki kompetensi dan komitmen yang diperlukan pekerjaan mereka dan yang mampu menemukan makna dan tujuan dalam pekerjaan mereka.

Laporan Hankin yang dikutip di atas tadi didasarkan atas studi terhadap 77 perusahaan dari berbagai jenis industri dan hampir 6.000 orang manajer dan eksekutif, serta dilengkapi dengan studi kasus mengenai 20 perusahaan yang dianggap luas sebagai ‘rich in talent’. Dari studinya tersebut, Hankin menyimpulkan bahwa 1) The war for talent dapat dimenangkan jika—dan hanya jika—perusahaan mengangkat ‘manajemen talent’ sebagai prioritas perusahaan; 2) Perusahaan menciptakan employee value propotition yang kuat; 3) Seluruh talent sangat peduli terhadap kultur, nilai-nilai, dan otonomi; serta 4) Pelatihan dan umpan balik berjalan dengan baik.

Betapa penting peran talent, dalam buku mereka, Ed Michaels, Handfield-Jones, dan Axelrod menyatakan bahwa yang sangat berperan penting terhadap keberhasilan organisasi bukanlah proses-proses terkait sumber daya manusia, melainkan mindset yang menekankan pentingnya talent. Global CEO Survei tahun 2012 yang dilakukan oleh PricewaterCooper menunjukkan bahwa pengembangan talent dan kepemimpinan merupakan prioritas personal para CEO.

Mengapa jadi prioritas? Di samping karena alasan bahwa pengembangan talent dan kepemimpinan merupakan faktor terpenting keberhasilan organisasi, ada pula alasan lain yakni semakin tidak mudah mendapatkan dan mempertahankan talent. Studi McKinsey pada tahun 2000 mendapati bahwa 89% responden mengatakan semakin sulit menarik orang-orang bertalenta dibandingkan tiga tahun sebelumnya. Begitu pula, 90% responden mengatakan semakin sulit pula mempertahankan talent yang sudah mereka punya.

Jadi, apabila perusahaan Anda memiliki orang-orang berbakat hebat, jagalah baik-baik agar mereka tidak lompat ke perusahaan lain, apa lagi kompetitor. Ini bukan perkara gaji dan fasilitas semata, melainkan juga nilai-nilai, kebebasan dan otonomi, maupun kebutuhan mereka untuk mewujudkan gagasan. Jika lingkungan perusahaan Anda tidak mendukung, jangan berharap talenta di sekitar Anda mau bertahan. (sumber ilustrasi: i-l-m.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu