x

Pengunjung menari bersama saat dihibur oleh pertunjukan musik saat berlangsungnya Festival musik dan seni Burning Man 2015 bertajuk `Carnival of Mirrors` di Black Rock Desert, Nevada, 5 September 2015. REUTERS

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gila dan Warasnya Seni Itu Berbeda

Sama dengan menulis, seorang penulis “gila” akan memainkan kata-kata yang mampu memancing emosi pembacanya. Sama Gilanya saat memahami seni.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Refleksi  dari  Jeihan dan Djoko Pekik

Ketika membuka buka buku-buku koleksi saya yang berserak, saya menemukan buku yang pernah saya beli Karangan Prof. Jakob Sumardjo berjudul Jeihan Ambang Waras dan Gila. Bukan buku baru sih tapi saya menjadi teringat  banyak pelukis berangkat dari kegilaan-kegilaan yang muncul di mata para awam. Mereka menganggap dunia seni penuh dengan orang”gila’. Rambut awut-awutan, pola pikir yang lain daripada yang lain dan penuh ide-ide yang tidak dipahami oleh orang yang berpikiran waras atau normal. Para seniman itu punya  perasaan tajam dalam membedah ketimpangan sosial yang ada dalam masyarakat, mereka adalah segelintir orang dengan pemikiran kreatif dan terkadang melebihi  zamannya. Lompatan itu  baru terpahami berabad –abad berikutnya, seperti halnya Vincent van Gogh pelukis antik yang banyak melahirkan karya fenomenal di rumah sakit gila. Pada zamannya lukisannya kurang laku. Lukisannya baru muncul dan amat dikagumi seabad setelah van Gogh mati karena bunuh diri. Sekarang lukisan-lukisan van Gogh melegenda meskipun pada zamannya banyak orang mengenalnya sebagai  “orang gila”

Jeihan Sukmantoro adalah orang gila yang berpikir waras. Lukisannya yang berciri khan mata bolong telah menjadi  bagian dari sejarah seni Indonesia. Jeihan sudah melanglangbuana dan menjadi legenda pelukis yang lukisannya begitu dihargai tinggi dan mendapat apresiasi maksimal dari para kolektornya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam Pengantar buku ini Mustofa Bisri seorang Kyai dari   Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115 kilometer arah timur Kota Semarang( http://info-biografi.blogspot.com) menyebut Jeihan Sukmantoro termasuk orang yang disebut “Uqalaa-ul Majaaniin” bisa berarti orang-orang gila yang waras.

Jeihan sadar bahwa dia gila tapi dia bukan orang gila. Untuk menjadi seniman terkadang orang harus keluar dari kotak, keluar dari mainstream, keluar dari aturan baku baru mampu memperoleh ide brilyan untuk melahirkan seni yang spektakuler. Jeihan mengakui ia autis, ia hidup dalam dunianya sendiri. Banyak orang tidak paham apa yang menjadi konsep pemikirannya. Maka itu untuk memahami kegilaan Jeihan orang harus masuk dalam dunia gila, dunia yang kadang banyak diremahkan dan dilecehkan. Padahal tidak semua orang gila itu tidak waras, ada orang warsa dikira gila karena konsep pemikirannya terlalu menyimpang dari orang kebanyakan. Dan orang kebanyakan  memandang orang yang berpikiran nyeleneh itu termasuk orang gila. Padahal banyak orang waras sekarang sekarang ini tidak sadar bahwa sebetulnya dia tengah dijalur kegilaan, gila harta, gila kedudukan, gila kehormatan, gila kekuasaan, gila mempermainkan wanita, gila sex. Jeihan  adalah orang gila dalam pemikiran tapi tidak dalam tingkah laku, ia seorang ayah yang baik, suami yang baik, ia hanya kelihatan gila saat melihat bentuk fisiknya, pemikirannya tapi sebetulnya ia lebih waras dari orang yang telah tersetir pikirannya untuk menggunakan segala cara untuk menjalankan roda kekuasaan.

Membaca buku yang ditulis Jakob Sumardjo tentang Jeihan  lebih mempercayai pemikiran pra modern yang  menyisir pola berpikir integrative, holistic, transformative, spiritual. Memahami cara berpikir manusia pra modern  alur berpikir mereka mengarah pada pemikiran spiritual dikaitkan  dengan gejala alam, sangkan paraning dumadi. Mikrokosmos makrokosmos, jagad besar jagad kecil. Ini ada hubungannya dengan filsafat kuno yang selalu mengaitkan  pola pemikiran waras dengan tanda-tanda alam semesta.  Pemikiran transenden sebuah pemikiran lintas sektoral yang menembus ruang dan waktu yang susah ditangkap hanya dengan berpikir logis. Proses pemikiran Jeihan adalah memahami simbol-simbol, memaknai tanda-tanda atau markah.  Jeihan  Kecil Hiperaktif secara fisik, sedangkan Jeihan dewasa adalah orang pendiam namun hiperaktif dalam pola pemikiran dan spiritualitasnya.

 Sama dengan menulis, seorang penulis  “gila” akan memainkan kata-kata yang mampu memancing emosi  pembacanya. Judul yang”gila” bisa menambah rasa penasaran pembaca. Walau kalau dibaca runtut baru muncul kewarasan dari cetusan-cetusan ide yang muncul dari tulisan tersebut.

 Jeihan mewakili pelukis akademis yang lahir dari abad modern meski pemikirannya memegang pola  pra modern dalam kultur dan filsafatnya, pelukis lain yang hampir mirip pemikirannya dalam kegilaan-kegilaan  ide  adalah Djoko Pekik, Pelukis jogja yang baru mentas setelah melewati masa sulit zaman Orde Baru. Selama masa penderitaannya di lorong gelap orde baru endapan ide Djoko Pekik terasa sunyi dan nyaris tak dikenal, oleh tetangganya ia hanya dikenal sebagai tukang jahit. Sanggar Bumi tarung  menjadi rumah idenya, bersama temannya Amrus Natalsya, Hendra Gunawan, Misbach Tamrin. “Si Pelukis  1 Milyar itu mulai Berjaya setelah jatuhnya  Suharto dari tampuk kekuasaan.

 Boleh dikatakan Djoko Pekik mengalami perlakuan diskriminatif saat Orde Baru. Semua yang tersangkut  Komunis waktu itu termasuk LEKRA menjadi  sasaran pemerintahan Orde Baru. Bagi Orde baru Djoko Pekik itu “gila’ sebab tidak mengikuti jalur kewarasan penguasa. Sedangkan Djoko Pekik selalu berpijak pada tema kerakyatan sebagai bahan perjuangannya bertahan dari tekanan penguasa. Bahkan lukisannya menjadi bahan penelitian untuk promosi Doctor Astri  Wright, seorang peneliti dari Canada di penghujung 1980-an. Djoko Pekik adalah pejuang lingkungan dari jalur Seni budaya. Rumahnya yang luas tertata rapi mengikuti kontur tanah dan bersatu dengan  budaya setempat. Pergaulannya luas dan selalu setia di jalur kerakyatan. Lukisannya yang berharga mahal selalu bermanfaat untuk  tetangga, sesame seniman, dan orang-orang yang ingin terbebas dari kemiskinan cultural. Ia telah merevolusi mental  di tengah kegilaan orde saat ini yang mengagungkan kewarasan namun sebenarnya tengah  terperosok dalam kegilaan akut.

Jeihan dan djoko Pekik mungkin tidak senafas, sejiwa dalam perilaku fisik . namun apa yang dilakukan keduanya telah mewakili segelintir seniman yang cemas dengan iklim kultural negeri ini yang terperosok dalam lubang modernitas tapi gagap terhadap potensi istimewa dari local culture yang sebenarnya sangat istimewa.  Kultur yang  sangat dikagumi di manca negara menjadi asing di negeri sendiri semata-mata karena anak mudanya lebih menggilai budaya pop, budaya negeri tetangga yang sebenarnya  biasa saja. Televisi, menjadi penjajah baru untuk perubahan budaya masyarakat,  serbuan budaya asing seperti wabah yang susah dihentikan, hamper seperti virus yang mematikan sendi-sendi kebanggaan generasi muda pada produk budaya sendiri yang adiluhung.

Sekarang adalah Zaman Edan Kesurupan(seperti judul catalog Joko Pekik ketika pameran di Pameran Tunggal Lukisan Djoko Pekik medio Oktober 2013.  Lukisannya adalah potert negeri ini, potret munculnya kalabendu yang membuat  kebudayaan kocar-kacir. Yang waras sebenarnya gila yang gila belum tentu tidak waras.

Kekuasaannya seluas bumi

Celeng degleng belum mati

Nafsunya meraba-raba

Dalam gelap hidup yang tak pasti pasti

(Celeng Dhegleng, Sindhunata)

Apa salahnya membaca buku meski telah berlalu paling tidak banyak hikmah yang bisa dipetik saat membaca dan tidak akan luntur di makan zaman saat memahami ilmu sebagai lelaku dan lakon kehidupan. selamat menikmati kata-kata.

 Peminat kata-kata dan penyuka dunia tulis menulis

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler