x

Iklan

Chamelia Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Quo Vadis Media Cetak

Kemajuan teknologi khususnya era digital turut mempengaruhi perkembangan media, khususnya media cetak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Iskandar merapikan tumpukan koran dan majalah yang tidak banyak berubah sejak pagi tadi. Hari sudah pukul 5 sore. Senja bersiap menggantikan mentari beranjak ke peraduan. Iskandar menghela napas panjang. “Sudah jam segini. Sebentar lagi korannya diambil sama boss” tuturnya pelan. Nyaris putus asa.

Setiap hari Iskandar bangun pukul 5 pagi dari kontrakannya didaerah Jalan Perintis Kemerdekaan, Jakarta Timur. Bersama penghuni kontrakan lainnya, pria 40 tahun asal Purbalingga ini menempati sepetak kamar sederhana dengan ongkos sewa 300 ribu perbulan. Istri dan seorang anak yang masih kecil ditinggal dikampung halaman mengingat penghasilannya di Jakarta yang tidak menentu.

10 tahun lalu, Iskandar masih merasakan sukanya berjualan koran dan majalah di perempatan lampu merah Kelapa Gading – Rawa Mangun. Penghasilan yang diperoleh dalam sehari bisa mencapai seratus ribu rupiah. Saat ini, untuk mendapatkan uang lima puluh ribu rupiah perhari saja dirasakan sangat berat baginya. Bukan karena sekuriti perumahan melarangnya berjualan di lampu merah demi menghindari kemacetan di jam-jam sibuk, tapi perkembangan teknologi media khususnya media digital ternyata turut mempengaruhi pundi-pundi rejekinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ya, derasnya kemajuan teknologi dirasakan berpengaruh cukup signifikan terhadap industri media khususnya media cetak. Media terkemuka Inggris, The Guardian, pada tanggal 27 April 2014 berdasarkan laporan tahunan Newspaper Association of America memberitakan industri media cetak di Amerika Serikat terus mengalamai penurunan kinerja sejak tahun 2007.

Kita masih ingat pada tahun 2012 lalu, Newsweek, majalah berita mingguan terkemuka di Amerika Serikat terpaksa menghentikan kegiatan operasinya di media cetak dan beralih ke media digital. Majalah berita terbesar kedua di AS yang berdiri sejak tahun 1933 tersebut terus mengalami penurunan pendapatan hingga 38 persen dalam kurun waktu tahun 2007 hingga 2009. Sirkulasi yang mencapai 4 juta eksemplar di seluruh dunia – di mana 2.7 juta eksemplarnya didistribusikan di AS, menurun hingga sampai 40.000 eksemplar saja per minggu.

Keadaan di tanah air tidak jauh berbeda. Harga kertas koran yang melambung tinggi karena fluktuasi nilai Rupiah terhadap Dollar AS juga turut memperburuk keadaan. Bahkan penerbit sekelas Tempo Group juga mengalami dampak serupa. “Kinerja media cetak kami, khususnya majalah Tempo juga mengalami perubahan sekitar 30 persen. Hal tersebut merupakan tantangan bagi kami untuk berbenah dan mengikuti perkembangan jaman. Untuk itu kami telah melakukan perubahan dengan tidak saja memproduksi media cetak, namun juga menyediakan majalah Tempo yang bisa diakses secara online”, tutur Yos Rizal Suriaji, Redaktur Pelaksana bidang pengetahuan, olahraga dan kolom Tempo dalam suatu kesempatan.

Sejak tahun 2008, Tempo menghadirkan Tempo.co, majalah Tempo versi digital dengan wajah baru. Tempo.co tidak hanya dapat diakses melalui komputer pribadi, tapi juga peranti lain seperti ponsel, BlackBerry, iPhone, iPad dan komputer tablet berbasis Android.

Semua itu merupakan bagian dari upaya Tempo untuk mendekatkan diri dengan  pembaca setianya dengan menyajikan berita yang berkualitas dengan tetap menerapkan standar tinggi jurnalisme dalam meliput peristiwa dan menuliskannya secara tajam, cerdas dan berimbang sebagai ciri khasnya. Prinsip enak dibaca dan perlu yang menjadi tagline sejak dulu tetap dipertahankan. “Kami percaya, pelanggan setia kami tidak akan berpaling karena kualitas berita yang kami sajikan telah teruji dan masa depan media cetak akan bertahan hingga 20-30 tahun ke depan”, demikian Yos Rizal menambahkan.

Santoso, 48, seorang karyawan swasta di wilayah Jakarta menuturkan, selaku penikmat berita dirinya dimanjakan dengan hadirnya ratusan kanal berita yang tidak hanya berasal dari media tanah air bahkan juga media luar negeri seperti Huffington Post, Daily Mail bahkan The Telegraph - dapat diakses dengan mudah hanya dengan sekali klik melalui komputer bahkan ponselnya. “Berita-berita tersebut tidak perlu kita cari, mereka mendatangi kita setiap detik bila diakses melalui jejaring sosial seperti Twitter atau Facebook. Cukup membeli pulsa yang costnya jauh lebih murah ketimbang harus membeli aneka majalah atau koran versi cetak. Dengan begitu, kita tidak akan pernah ketinggalan berita. Tidak perlu meluangkan waktu khusus untuk membaca karena berita dapat dengan mudah diakses melalui ponsel atau tablet saat menunggu Klien menjelang meeting, terkena macet diperjalanan atau menunggu boarding pesawat di bandara ” tuturnya.

Kemudahan serta keasikan mengakses aneka informasi lewat dunia maya ternyata tidak sepenuhnya mempengaruhi Rahayu, 59, seorang Ibu rumah tangga di Jakarta Selatan. Menurutnya, keasikan membaca dan memegang bentuk utuh sebuah media cetak entah itu majalah atau koran, tidak dapat tergantikan. “Berita dan informasi yang disampaikan dalam versi digital biasanya cenderung hanya mengupas garis besar dan informasi yang disampaikan tidak detil. Informasi yang lebih detil dan mendalam biasanya lebih bisa diperoleh saat membaca media cetak. Dan karena kesukaan Saya membaca majalah wanita terutama resep masakan dan kerap menggunting resep tersebut untuk kemudian dijadikan kliping – maka hal tersebut tidak bisa diperoleh dengan membaca majalah secara digital".

Iskandar beranjak dari duduknya dan mengangkat seluruh tumpukan majalah dan koran dihadapannya. Siap memberikan setoran hasil penjualan dan mengembalikan koran dan majalah yang masih banyak tersisa kepada sang bos. Era digital atau era millenium - yang disambut gegap gempita oleh sebagian besar masyarakat saat ini ternyata tidak memberikan manfaat bagi rakyat kecil seperti dirinya. Harapan terbesarnya saat ini adalah agar masyarakat kembali membeli dan membaca koran dan majalah cetak seperti dulu. Atau Iskandar dan ratusan Iskandar-iskandar lainnya mungkin harus kembali ke kampung halamannya tanpa tau harus berbuat apa.

Ikuti tulisan menarik Chamelia Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB