x

Warga menggunakan perahu di Sungai Kahayan yang masih diselimuti asap di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, 2 Oktober 2015. BNPB memprediksi negara akan mengalami kerugian lebih dari Rp20 triliun akibat kebakaran hutan. ANTARA/Rosa Panggabean

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Demi Tugas, Rela Mengarungi Sungai Penuh Buaya

Jadi pamong sekarang sudah enak. Akses gampang. Komunikasi tak sulit.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jadi pamong sekarang sudah enak. Akses gampang. Komunikasi tak sulit. Pernyataan itu diucapkan Abdul Wahab Hasan Sulur. Dia Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat. Saya bertemu dengannya di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jumat, 2 Oktober 2015.
 
Jumat itu, ia sedang mendampingi Anwar Adnan Saleh, Gubernur Sulawesi Barat menemui Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo. Saat menunggu bosnya bertemu dengan orang nomor satu di Kementerian Dalam Negeri itulah, saya mengobrol dengan Pak Abdul Wahab, lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), angkatan 2. Ikut mengobrol Pak Acho Maddaremmeng, Kepala Bagian Humas merangkap Kepala Bagian Protokol Kementerian Dalam Negeri. Pak Acho juga sama-sama lulusan IPDN. Bahkan satu angkatan dengan Pak Wahab. 
 
Kata Pak Wahab, dulu jadi pamong itu tak seenak dan senyaman sekarang. Ia merasakan betul susahnya jadi pelayan masyarakat zaman dulu. Komunikasi susah, karena belum ada telepon genggam. Akses jalan apalagi. Bahkan, ia jika pergi ke tempat tugas, mesti mengarungi lautan, yang kadang kalau cuaca tak bersahabat ombaknya menggila. 
 
Tiba-tiba ia berkata, " Saya punya cerita tentang susahnya jadi pamong. Ini cerita tentang kawan saya, sama-sama lulusan IPDN, namanya Junda Maulana."
 
Junda Maulana, kata Pak Wahab, adalah kawan satu angkatannya di IPDN. Usai lulus dari IPDN, Junda yang asal Makassar dapat tempat penugasan di Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju. Dulu, Sulawesi Barat belum jadi provinsi tersendiri, masih gabung dengan Sulawesi Selatan. 
 
Tempat tugas kawannya sendiri, sebenarnya tak jauh jaraknya dari ibukota Kabupaten Mamuju. " Jaraknya dekat, mungkin sekitar 40 kilometer," katanya.
 
Tapi dulu, akses menuju ke Kecamatan Kalumpang, sulitnya bukan main. Tak ada jalan darat. Satu-satunya jalan adalah lewat sungai. Itu pun mesti melawan arus. 
 
"Sekarang sudah bisa lewat jalan darat. Sudah bisa ditembus dengan kendaraan roda empat," kata Pak Wahab.
 
Di kecamatan itu, Junda jadi staf biasa. Saat itu, semua lulusan IPDN memang langsung diterjunkan ke daerah terpencil, daerah tertinggal. Tak seperti sekarang, sudah enak. Bahkan baru lulus, sudah ditempatkan di pusat. " Dulu mana ada. Kita kayak tentara saja, langsung ditempatkan di perbatasan," katanya. 
 
Nah, Junda kawannya itu, jika pergi ke tempat tugas, mesti naik perahu tinting. Dia mesti melawan arus, karena kecamatannya ada di gunung. Padahal sungai yang diarungi cukup lebar. Ketika itu, sungai masih banyak buaya berkeliaran.
 
" Jadi dia, kalau pergi ke tempat tugas lewat sungai, ibaratnya di kiri kanan dia itu buaya. Dulu kan banyak daerah di Sulsel itu terpencil," ujarnya. 
 
Sementara ongkos naik perahu sekali jalan bisa habis 100 ribu. Sementara gaji Junda, kala itu sekitar 150 ribuan. Maka agar gaji tak habis di ongkos, Junda jika mengambil gaji ke kantor kabupaten, tiga bulan sekali. " Tiga bulan sekali dia ambil gaji. Gaji kan di ambil di kabupaten. Kalau tiap bulan, uang gaji habis untuk ongkos perahu saja," ujarnya. 
 
Junda sendiri sekarang telah jadi Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi Sulbar. Bahkan pernah jadi Penjabat Bupati Mamuju Tengah. " Dulu daerah yang paling ditakuti itu adalah Selayar dan Mamuju," kata Pak Wahab. 
 
Kenapa Selayar dan Mamuju dapat julukan daerah angker, karena dua daerah itu dianggap sebagai daerah pembuangan. Pegawai yang nakal, dilemparnya ke dua daerah tersebut. Jadi, itu daerah yang sangat dihindari para pegawai. Banyak yang tak mau ditempatkan di Selayar dan Mamuju.
 
" Dua daerah itu dulu terpencil, sekarang sih enak, sudah ada jembatan, bahkan sudah nyambung sampai ke Palu. Jalannya juga mulus sekarang," katanya. 
 
Namun kata Pak Wahab, meski banyak daerah sekarang sudah terhubung satu dengan lainnya, tapi masih banyak daerah, terutama di perbatasan yang sulit diakses. Misalnya desa perbatasan antar kabupaten, atau antar provinsi. Dan itu memang harus dapat perhatian serius.
 
Tiba-tiba kemudian Pak Wahab menyentil soal usulan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok yang ingin bubarkan IPDN. Kata dia, dengan usulan tersebut, Ahok seperti tak menganggap pengabdian para alumni IPDN. Ahok menganggap remeh, apa yang sudah diberikan oleh para alumni IPDN di daerah-daerah terpencil. 
 
" Saya sangat sayangkan saja, kenapa Pak Ahok usulkan begitu," kata Pak Wahab. 
 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu