x

Iklan

Adjat R. Sudradjat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Parpol yang Mbalelo Soal Koruptor

Inilah partai politik yang mendukung revisi UU KPK dan RUU Pengampunan Nasional yang menghebohkan itu. Bagaimana pendapat pembaca?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kegaduhan yang ditimbulkan ulah anggota DPR cq. Baleg  (Badan Legislasi) yang mengusulkan revisi UU KPK, disusul kemudian dengan menggagas RUU Pengampunan Nasional, tak pelak membikin rakyat semakin paham kalau anggota Dewan tersebut cenderung berpihak kepada para koruptor.

Sebagaimana diketahui, para politikus Senayan yang ‘ngotot’ untuk melemahkan KPK dan mengampuni para koruptor itu adalah PDIP, partai Golkar, PPP, Nasdem, dan Hanura. Bahkan politikus partai berlogo kepala banteng bermoncong putih, Masinton Pasaribu, tanpa tedeng aling-aling mengakui bahwa dirinya sebagai inisiator revisi UU KPK.

Lembaga antirasuah itu memang bersifat temporer, alias tidak permanen, dan dibentuk di saat Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden RI kelima. Bisa jadi terbentuknya KPK disebabkan lembaga penegak hukum yang sudah ada, Polri kejaksaan, dan Kehakiman dinilai tak berdaya memberantas korupsi yang sudah sedemikian sistemiknya di negeri ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka karena sifatnya yang temporer itulah enam fraksi di DPR mengusung draf revisi UU KPK yang di antaranya limit usia KPK hanya sampai dua belas tahun saja sejak RUU itu diundangkan. Selain pembatasan umur, muncul juga usulan KPK hanya berwenang mengusut kasus korupsi yang bernilai Rp 50 miliar ke atas saja, ditambah lagi dengan penyadapan yang biasanya dilakukan KPK untuk mendapatkan bukti akurat, dalam draf itu KPK kalau hendak menyadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi harus mendapat ijin dari pengadilan negeri, kemudian KPK pun tidak lagi memiliki fungsi dalam pendidikan antikorupsi.

Di tengah merajalelanya praktik korupsi yang sulit dibasmi, belakangan ini di mata rakyat hanya KPK saja yang mampu berdiri di barisan paling depan untuk memberantas mereka yang hobinya menggeregoti duit negara. Sementara lembaga lain, tidak konsisten dan terkesan loyo. Sehingga bagaimanapun negeri ini masih membutuhkan lembaga yang bernama KPK. Malahan dalam kinerjanya sudah selayaknya diperkuat, didukung oleh semua pihak, bukan sebaliknya malah dibonsaikan, alias dikerdilkan, bahkan buru-buru hendak dibubarkan.

Sementara gagasan RUU Pengampunan Nasional yang juga diajukan DPR disinyalir akan memungkinkan koruptor terbebas dari hukuman pidana. Betapa tidak, meskipun pada dasarnya RUU itu terkait dengan pengampunan pajak, atawa tax amnesty, yakni mengatur pengampunan dan pemutihan pajak masa lalu, akan tetapi di dalamnya terselip satu pasal yang dapat menguntungkan para pengemplang duit negara, yaitu di dalam pasal 10, yang berbunyi selain memperoleh fasilitas di bidang perpajakan, orang pribadi atau badan memperoleh pengampunan tindak pidana terkait dengan perolehan kekayaan, kecuali tindak pidana terorisme, narkoba, dan perdagangan manusia.

Maka muncul pertanyaan, mengapa kekayaan dari hasil tindak pidana korupsi sama sekali tidak dicantumkan di dalam RUU Pengampunan Nasional itu. Padahal selama ini publik pun tahu kalau korupsi merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa), dan di dalam pasal 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sekarang ini jelas disebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana terhadap para pelakunya.

Walhasil jika Pasal 10 itu lolos, adanya kemungkinan pelaku korupsi melenggang bebas dari jerat hukum pidana. Mereka bisa bebas, bahkan kalaupun vonisnya sudah berkekuatan hukum tetap. Dan korupsi yang diharapkan rakyat akan lenyap dari negeri ini, justru sebaliknya akan semakin merajalela. Para koruptor pun akan berpesta-pora, sedangkan negara berikut rakyatnya akan semakin menderita. Sehinggga  masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimana yang menjadi cita-cita luhur UUD ’45 hanyalah akan menjadi bacaan pengantar tidur yang sama sekali tidak akan pernah menjadi nyata.

Lalu partai politik yang tampak ngotot dan mbalelo dari cita-cita untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur itu sekarang ini sudah begitu nyata. Adalah Partai indonesia Perjuangan (PDIP) yang memiliki slogan sebagai partainya Wong Cilik, partai politik yang berpihak pada nasib rakyat kecil, namun dalam kenyataannya pimpinan umumnya saja, Megawati, di saat menjadi Presiden RI kelima justru menerbitkan SKL (Surat Keterangan Lunas) terhadap para obligor BLBI, yang notabene para konglomerat. Sehingga jelas Megawati begitu berpihak pada wong sugih, daripada wong cilik. Begitu pula dengan partai Golkar, meskipun mengaku telah mereformasi diri, toh di dalam kenyataannya masih tetap memiliki mental sebagaimana ketika Orde Baru berjaya.  Pun partai Nasdem, PPP, dan Hanura setali tiga uang. Bahkan Surya Paloh sebagai big boss partai politik yang punya slogan restorasi itu konon menyetujui revisi UU KPK itu.

Oleh karena itu sikap publik terhadap parpol yang hendak melemahkan lembaga antirasuah, dan melegalkan praktik korupsi di negeri ini, sudah tepat untuk mengatakan ‘tidak' mendukung lagi parpol-parpol itu dalam pemilu mendatang. Bahkan bisa jadi dalam momen pilkada serentak yang tak lama lagi diselenggarakan, akan menjadi ajang pemanasan untuk menolak calon dari parpol yang mbalelo terhadap pemberantasan korupsi.  Dan semoga dengan cara ini parpol itupun akan sadar diri. ***

Ikuti tulisan menarik Adjat R. Sudradjat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu