x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Polusi Setia Menemani Kita, Setiap Hari

Tiga ragam polusi menemani kita setiap hari: suara, udara, dan visual.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hidup di kota besar, pagi hari tidaklah selalu menyenangkan. Begitu melangkah keluar dari rumah, kita sudah dihadapkan pada tiga ragam polusi: udara, suara, dan visual. Dalam hal tertentu, juga polusi aroma.

Sejak pagi, sepeda motor dan beraneka mobil berebut jalan sembari menebarkan asap hasil pembakaran. Kita menghirup partikel-partikel polutan saat bernapas. Semakin padat lalu lintas, semakin banyak partikel polutan yang dilepas ke udara. Semakin macet, semakin banyak partikel yang terisap oleh paru-paru kita.

Di akhir pekan, maupun di hari-hari libur lainnya, kualitas udara kota Bandung bertambah buruk lantaran jumlah kendaraan melonjak. Polisi yang bertugas di jalanan adalah sebagian korban kualitas udara yang buruk. Polisi berdiri berjam-jam mengatur lalu-lintas sembari mengisap udara yang tercemar—niscaya lebih banyak dibandingkan warga masyarakat lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kadar timbal dalam darah anak-anak di perkotaan Indonesia, menurut sebuah penelitian, sudah melampaui standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), 10 persen. Maka, transportasi umum yang disediakan pemerintah semestinya bukan hanya ditujukan untuk mengurangi tingkat kemacetan lalu-lintas, tapi juga menurunkan emisi gas buang yang polutif. Perlahan tapi pasti, dampak buruk meningkatnya kadar timbal dalam darah anak-anak Indonesia itu akan terlihat.

Polusi suara tak kalah buruk dibanding polusi udara. Mungkin kita tidak begitu menaruh perhatian terhadap polusi suara, tapi hiruk pikuk kendaraan bermotor yang kita dengar setiap hari telah mengirim sinyal-sinyal dengan tingkat intensitas yang seringkali berbahaya--membahayakan pendengaran dan memicu ketegangan.

Knalpot yang bersuara lantang kita pandang sebagai ‘kegenitan’ pemiliknya belaka yang ingin menarik perhatian orang-orang sekitarnya, padahal knalpot ini mengirimkan ancaman yang mengarah kepada jantung. Tidak setiap orang sanggup mendengar suara berdentam-dentam atau suara nyaring maupun desing suara sirene voorijder yang memaksa pengendera minggir secepat-cepatnya. Kebisingan lalu-lintas menebarkan pengaruh negatif terhadap tekanan darah kita.

Polusi visual juga menemani kita sepanjang menempuh perjalanan ke tempat tujuan: reklame warna-warni dalam beragam ukuran dan bentuk yang penataannya tak mengindahkan kesedapan dipandang mata. Spanduk berkibaran. Bendera partai politik yang dipajang berjejeran di pemisah jalan maupun di pagar-pagar. Di saat pilkada berlangsung, baliho narsis akan bertebaran di mana-mana: gambar wajah yang biasanya kita lihat berupa pas foto dalam ukuran 3x4 cm tiba-tiba dibesarkan menjadi 3x4 meter. Lengkap dengan jargon-jargonnya.

Iklan-iklan luar ruang itu berebut menarik perhatian. Kita, sebagai warga yang memanfaatkan ruang publik untuk berjalan, sulit untuk menghindari ‘munculnya’ reklame di retina mata kita. Ke arah mana kita berpaling, di sana iklan menanti perhatian kita. Suka atau tidak suka. Kerap kali, reklame yang bertumpukan dan berjejeran ini memantik suasana psikologis yang tidak nyaman.

Tapi papan reklame hanya salah satu dari produk visual yang berpotensi polutif. Ada pula trotoar yang tidak tertata, tanaman yang tak terawat, galian kabel yang tidak ditutup rapi, kemacetan lalu lintas yang tak enak dilihat, sampah yang menumpuk di tepi jalan karena belum diangkut, pohon reklame—satu tiang memuat beragam reklame yang memusingkan, kabel listrik dan telpon yang bergelantungan di antara tiang-tiang. Dan sekarang, di era seluler, polusi itu ditambah dengan tiang-tiang sarana telekomunikasi yang tegak di atas ruko-ruko.

Polusi visual berpotensi memantik rasa sesak dan ketidaknyamanan. Mata kita setiap hari dipasok dengan produk-produk visual yang tidak memperkaya batin. Polusi visual membikin kita lelah sebelum bekerja di kantor dan membuat kita semakin lelah menjelang pulang ke rumah.

Tiga jenis polusi itu menemani kita saban hari dan memberi tekanan yang kian bertambah, semakin melelahkan secara psikologis, hingga akhirnya kita menyerah dan tak peduli lagi apakah polusi itu ada atau tidak ada. Ketiganya menggerus rasa keindahan audio-visual kita, membikin kita mudah sesak napas, dan kehilangan rasa empati kepada sesama. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB