Luar Negeri Tak Selalu Lebih Indah, Percayalah
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBSesekali jalan ke luar negeri memang perlu, tapi jangan pernah lupa untuk mengeksplorasi negeri sendiri yang jauh lebih memesona
Entah apa sebabnya masyarakat Indonesia itu koq saya nilai lebih senang mengagungkan sesuatu yang memiliki hubungan dengan luar negeri. Dari produk yang dikonsumsi sehari-hari, pakaian, baju dan tas yang dikenakan, sampai tempat jajan, pokoknya semua yang berlabel asing -termasuk lokasi pariwisata- dan agak susah dilafalkan lidah pribumi itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri.
Sebagian besar lebih senang dan merasa prestise-nya melambung jika sudah menyambangi tempat-tempat wisata negeri orang, walaupun mereka terkadang malah belum pernah menyeberang ke pulau sebelah yang masih masuk dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Pokoknya, kalau sudah piknik ke luar negeri itu amazing banget deh, kekinian dan gaul abis.
Mengingat hal itu saya jadi geli sendiri karena tiba-tiba teringat dengan pengalaman beberapa waktu lampau. Jadi, ceritanya Si mbak cantik teman saya yang priyayi asli ostrali tlatah Brisbane itu mengajak saya dan kawan-kawan, yang kebetulan nyungsep di sana, untuk menikmati Queensland di pagi yang cerah ceria. Dia menawarkan diri menjadi guide kami untuk mengunjungi Australia Zoo. Lha, sebagai manusia pecinta hewan saya pun bersegera menganggukkan kepala. Pikir saya, kapan lagi bisa ngglundhung bareng kanguru dan nguyel-uyel koala yang kondang karena kemalasannya itu.
Namun sebelum sowan kebun binatang, Si mbak cantik mau mengajak kita mampir dulu di pegunungan yang menurutnya very beautiful and fantastic seantero Queensland. Namanya Glass House Mountain National Park. Dengan semangat pejuang empat lima dia bilang kalau daerah yang nanti akan kita kunjungi adalah tepat yang keren abis. Pokoknya indah, sejuk, dan tiada duanya.
Karena letaknya di ketinggian, kami nantinya bisa melihat pemandangan yang apik itu dengan puas. Tak lupa dia menambahkan keterangan bahwa banyak yang hiking di perbukitan yang menurutnya tinggi-tinggi sekali itu. Saya sih manggut-manggut saja, wong memang belum pernah ke sana. Namun, diam-diam saya sudah membayangkan gagahnya Gunung Slamet, Sindoro-Sumbing sampai Semeru.
Kira-kira satu setengah jam perjalanan, minibus mulai menanjak. Bagaimanapun, inilah kelebihan negara maju; jalan sampai pelosok pun ndak ada gronjalan seperti jerawat yang hinggap di wajah saya. Penasaran, saya melongokkan kepala. Tampak di luar adalah pemandangan hutan semi homogen dengan dominasi pinus, yang hijau dan lebatnya ndak seberapa.
Tiba-tiba Si mbak cantik bilang, “Hey lihat, itu lho bukit gorilla yang tinggi dan paling sering dikunjungi, Fantastic isn’t it?” Sepersekian detik saya bengong dan kemudian dengan wajah diplomatis saya menjawab, “yeach, great, wonderful, cool, yeach.” Sepertinya lidah saya hanya sanggup berkata itu.
Dan, ketika minibus benar-benar berhenti di tempat yang dituju, kami pun turun bergegas. Di sana sudah ramai dengan wisatawan, banyak juga yang dari luar Australia. Dengan wajah bahagia mbak cantik mempromosikan wisata alam yang terhampar di hadapan kami. Sembari menunjuk bukit-bukit yang tampak menonjol dekat tempat kami berdiri, dia berkata bangga, “Itu tingginya sampai 500 meter lho.”
“Kamu udah pernah naik?” tanya saya. “Sudah, pas masih high school,” jawabnya. “Kalo gitu kamu harus ke Indonesia lain waktu dan nikmati naik gunung di sana,” lanjut saya kemudian. Kami pun mengobrol di sela-sela sejuknya hawa pegunungan Glass House yang sangat moncer itu.
Saya pun mengulum senyum saat minibus turun meninggalkan Glass House Mountain. Lha ya ini, Indonesia itu kurang apa to? Jangankan bukit setinggi 500 meter, wong gunung yang beribu-ribu meter saja jumlahnya ndak cukup dihitung pakai jari. Ndak usah kejauhan membandingkan Bukit Gorilla yang memang mirip dengan bentuk kepala primata raksasa itu dengan kemahsyuran Ranu Pane dan Ranu Kumbolo.
Tanpa mengecilkan keindahan alam ciptaan Tuhan, sungguh di sini saya seperti hanya singgah di Puncak Pass, atau mampir di gardu pandang kawasan Merapi, atau saat sejenak menepikan kendaraan ketika melewati Kelok Sembilan, atau pas berhenti ngeteh di daerah Lembang. Sebuah tempat yang mungkin saja sering dilewati oleh orang Indonesia tanpa merasa terlalu istimewa.
Atau mungkin ini benar adanya; saking kaya rayanya panorama alam di Indonesia malah menjadikan warga memandangnya biasa. Mereka malah sibuk mencari oase-oase baru di luar sana dan seringkali hanya berakhir sebagai sebuah gengsi. Memelesetkan yang dikatakan Descartes, "pikniklah keluar negeri, maka engkau gaya."
Jalan-jalan ke negeri orang tentunya hal yang tidak dilarang, bahkan sangat baik untuk menambah ragam pengetahuan. Tapi, mbok ya jangan terus jadi manusia minder kalau belum pernah berwisata ke luar negeri. Jelajahilah tiap pelosok Nusantara yang sungguh berwarna ini, dan njenengan pasti akan ketagihan hingga semakin bangga menjadi warga negara Indonesia.
Kalau ndak percaya, ayo jalan-jalan sama saya! Eh, tapi yang mbayari njenengan. Gimana, mau kan?
-dokumentasi pribadi-
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
"Green Book", Kisah Humanis Nan Manis
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBGalaumu itu Lebay Dék
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler