x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Trias Politica itu Budaya Mandar

Budaya adiluhung dari Sulawesi Barat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul                     : Puang dan Daeng: Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa - Mandar

Penulis                 : Darmawan Mas’ud Rahman

Peberbit               : Yayasan Menara Ilmu dan Zadahaniva, Makassar

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tebal                    : xvi + 226 halaman

ISBN                     : 978-602-7826-11-3

 

 

Kita mengenal pemisahan kekuasaan dalam bernegara dari Trias Politica yang dikembangkan oleh John Lock dan Montenquie. Namun sesungguhnya di Mandar Sulawesi Barat, model pemisahan kekuasaan ini telah diimplementasikan. Kerajaan Balanipa di Sulawesi Barat  telah memisahkan kekuasaan pembuat undang-undang dan pelaksana pemerintahan. Puang adalah para tokoh adat yang membuat dan menjaga aturan sedangkan Daeng adalah pelaksana pemerintahan.

Demikian pula dengan model pemerintahan konfederasi. Sering kali kita menyangka bahwa pemerintahan model konfederasi adalah model yang hanya dikenal di dunia barat. Ternyata Kerajaan Balanipa adalah sebuah konfederasi 7 kerajaan kecil yang terorganisir dengan sangat baik. Sebuah konfederasi yang berhasil mengupayakan kesejahteraan dan menjamin keamanan dari pihak luar.

Buku “Puang dan Daeng” adalah sebuah buku yang secara lengkap menggambarkan  budaya Mandar, khususnya di daerah yang dulu merupakan wilayah Kerajaan Balanipa. Prof. Darmawan, menuliskannya secara runtut bagaimana budaya Orang Mandar sudah sedemikian tinggi sehingga berhasil mengelola sebuah kerajaan besar. Kerajaan di ujung barat Sulawesi ini sudah melakukan perdagangan maritim. Nilai-nilai luhur yang dibangun sejak jaman Balanipa masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari Orang Mandar sampai saat ini. Kita harus menyampaikan banyak terima kasih kepada ketekunan Prof. Darmawan yang tiada putus sehingga terbitnya buku ini.

Adalah sangat menarik untuk mempelajari evolusi kepemimpinan di kalangan Suku Mandar. Saat komunitas masih sangat sederhana, pemimpin (yang dijuluki sebagai Tomakaka) adalah seorang yang memiliki kualitas hidup yang tinggi. Seorang Tomakaka haruslah seoang yang bisa mengayomi masyarakatnya baik dari sisi jasmani maupun rohani. Oleh sebab itu seorang Tomakaka haruslah seorang yang mampu menyelesaikan persoalan dengan cara penyayoman (p 122). Tomakaka haruslah seorang yang mamu pengendalikan dirinya sendiri untuk kepentingan orang banyak; seorang pemimpin yng bukan hanya mampu menyelesaikan permasalah jasmaniah tetapi juga masalah-masalah yang berhubungan dengn rohaniah.

Setelah komunitas menjadi semakin besar, kepemimpinan Orang Mandar berevolusi menjadi lebih kompleks. Dalam sub bab Tomakaka dalam pertumbuhan dan perubahan, Darmawan secara rinci menggambarkan perubahan dan pertumbuhan kepemimpinan Orang Mandar.  Salah satu hal yang memicu perubahan kepemimpinan adalah adanya persaingan antar Tomakaka. Alih-alih menyelesaikan persaingan dengan cara perang, para Tomakaka memilih jalan damai dengan cara fusi melalui perkawinan antar keluarga Tomakaka. Persekutuan antar Tomakaka ini membentuk pemerintahan baru yang disebut sebagai appe banua kaiyang. Karena semakin besar wilayah dan semakin kompleks pemasalahan, khususnya dalam hal penggunaan tanah, maka Tomakaka yang berkuasa di appe banua kaiyang menunjuk pejabat lain yang bisa membantunya. Mula-mula ditunjuklah tomabubeng (orang yang dituakan) yang membantu Tomakaka menyelesaikan perselisihan tentang tanah. Perkembangan selainjutnya adalah dengan adanya jabatan-jabatan lain yang membantu Tomakaka dalam memerintah. Jabatan-jabatan tersebut adalah: (1) annangguru, (2) so’bo, (3) punggawa, (4) poambi, dan (5) Andogguru.

Ketika permasalah menjadi semakin besar dan tidak mungkin lagi ditangai oleh kepemimpinan yang bersifat individu dan memiliki kekuasaan tak terbatas, kepemimpinan masyarakat Mandar berevolusi kembali. Kepemimpinan tidak lagi dipegang oleh Tomakaka, melainkan berubah menjadi kepemimpinan papuangan. Seorang PUANG adalah pemimpin yang memiliki kekuasaan terbatas. PUANG dipilih oleh dewan adat yang merupakan evlolusi dari jabatan annangguru, so’bo, punggawa, poambi dan andogguru.

Model kepemimpinan mencapai puncaknya saat terjadi pemisahan antara papuangan (PAUNG) yang menjaga adat dan membuat peraturan dengan mara’diang (DAENG) yang menjalankan pemeintahan. Perubahan ini terjadi pada masa  Puang Dipojosang (yang bergelar Puang Limboro) dan Daeng Imayambungi Todilaling. Todilaling diangkat sebagai kepala pemerintahan oleh Puang Limboro, namun Todilaling harus menghormati Puang Limboro (Adat).

Selain membahas kepemimpinan, buku ini juga membahas tentang adat dan budaya orang Mandar. Pada bab akhir, Darmawan membahas nilai-nilai budaya Mandar dalam kehidupan masa kini.

Buku ini disusun berdasakan riset yang sangat dalam terhadap lontara-lontara yang tersebar dimana-mana dan wawancara langsung di lapangan. Darmawan juga melengkapi risetnya dengan teori-teori antropologi modern. Perpaduan teori-teori antropologi dengan fakta-fakta yang tersebar di dalam catatan lontara membuat budaya Mandar bisa digambarkan secara komprehensif.

Sayang keberanian editor untuk membuat buku ini menjadi lebih mudah dibaca kurang berhasil. Buku yang aslinya adalah sebuah disertasi ini masih tampil dengan format disertasi. Saya yakin apabila penulisnya masih hidup, maka beliau akan setuju buku ini disederhanakan sehingga bisa dinikmati oleh khalayak umum. Sayangnya beliau sudah berpulang saat buku ini terbit.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler