x

Seorang anggota polisi turut bersimpati bersama puluhan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri dalam memperingati hari kelahiran Pancasila, di depan Istana Negara Jakarta, 1 Juni 2015. TEMPO/Imam Sukamto

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bhineka Tinggal Iklan

Di dadanya ada jantung berbilik lima. Jantung itu juga berwarna hitam pekat. Denyutnya pelan tetapi sangat kuat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku melihat burung gagak hitam. Kepalanya, bulunya, cakarnya semua berwarna hitam. Hitam pekat, sampai-sampai sinar tengah hari matahari tak mampu menembusnya. Paruhnya penuh darah berwarna hitam. Matanya memancarkan kegelapan. Bulu-bulu di lehernya berupa bayonet-bayonet yang siap menghujam. Ujungnya runcing tajam berkilat hitam. Ekornya berisi sederetan tombak trisula. Di ujung trisula itu tertempel darah-darah yang mengering dengan sisa gumpalan daging.

Sayapnya terkulai tertancap pedang-pedang yang membentuk formasi bulu. Sama sekali tidak tegap. Aura kegelisahan keluar bersama gerakan sayapnya yang naik turun.

Di dadanya ada jantung berbilik lima. Jantung itu juga berwarna hitam pekat. Denyutnya pelan tetapi sangat kuat. Bilik pertama bergambar rumah-rumah ibadah yang terbakar. Bukan, bukan gambar rumah ibadah yang terbakar. Tetapi rumah-rumah ibadah yang dibakar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bilik kedua berisi anak-anak yang kurang gizi. Anak-anak yang mati karena kabut asap. Bangkai bayi-bayi yang tergeletak di pinggir jalan yang sedang dinikmati oleh anjing-anjing yang juga berwarna hitam.

Bilik ketiga berisi cakar-cakar yang saling mencakar. Masing-masing cakar penuh luka. Namun, meski luka, cakar-cakar tersebut tak hentinya saling mencakar. Ada sebentuk mulut yang mau menceritakan kekejaman para cakar di masa lalu. Namun mulut yang belum terbuka itu sudah robek dicakar oleh cakar-cakar yang tidak rela masa lalunya diusik. Cakar-cakar itu terlihat sangat menderita.

Bilik keempat berisi tikus-tikus berdasi yang menyeringai kegirangan. Sementara kucing gemuk yang bertahta tak berbuat apa-apa. Para tikus itu tak mau tinggal di rumah yang berbentuk vagina. Sebab dari vagina keluar bayi-bayi harapan. Sementara mereka menghasilkan bau busuk dan kematian. Maka mereka ingin mengubah gedung yang berbentuk vagina itu menjadi gedung yang berbentuk nisan.

Bilik kelima bergambar perempuan berjubah hitam yang membawa pedang. Matanya melotot tajam ke arah bawah, namun mengerling cabul ke atas. Kerlingan yang menawarkan persundalan.

Gagak berwarna hitam yang memiliki jantung berbilik lima itu mencengkeram selembar selendang yang sudah usang. Selendang yang sudah robek di sana-sini. Lamat-lamat di selendang itu masih bisa kubaca sebaris kata “Bhineka Tinggal Iklan”. Cakar gagak hitam itu begitu kuat mencengkeran selendang yang sudah usang.

Aku segera sadar dan membalikkan diri. Di arah yang lain aku melihat Garuda berwarna keemasan. Paruhnya mengembangkan senyum kebanggaan. Matanya lurus mengarah ke masa depan. Bulu-bulu di dadanya menggambarkan prestasi anak-anak bangsa yang mendunia.

Garuda keemasan itu juga memiliki jantung berbilik lima. Jantung itu bernama PANCASILA. Jantung itu masih berdegub dengan kencang. Memompa semangat kebangsaan. Sayapnya mengembang siap terbang bergabung dengan bangsa-bangsa membangun peradaban.

Garuda keemasan itu mencengkeran pita merah putih dengan tulisan yang tegas “BHINEKA TUNGGAL IKA”. Ujung-ujung pita itu berkelebat penuh bangga.

Melihat garuda berwarna emas ini membuat semangatku kembali membara. Aku tak percaya bahwa “Bhineka Tinggal Iklan”. Sebab masih ada senyum di paruh sang Garuda. Masih ada kebanggaan di lehernya. Dan jantungnya yang berbilik lima masih kencang memompa semangat kebangsaan.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler