x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sahabat Para Penakluk

Kuda memainkan peran penting dalam menyokong panglima-panglima perang dalam memenangkan pertempuran hingga kemajuan teknologi menggesernya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"A horse is a thing of beauty... none will tire of looking at him as long as he displays himself in his splendor."
--Xenophon (Jenderal Yunani, 430-357 SM)

 

Kulit gelapnya, dengan bintang putih berukuran besar di kepalanya, menjadikan Bucephalus tampak gagah—tapi tak mudah dikendalikan. Kuda ini digambarkan bermata biru. Salah satu legenda yang dinisbahkan pada kuda ini ialah “barangsiapa mampu menunggangi Bucephalus, ia akan menjadi raja.”

Orang yang sanggup menunggangi Bucephalus ternyata Alexander Agung (356-323 SM)—kelak penguasa Kekaisaran Makedonia, yang terletak di daerah Timur Laut Yunani. Sepuluh tahun setelah naik tahta, pada usia 30 tahun Alexander telah memimpin kekaisaran terbesar pada masa sejarah kuno, yang membentang dari Laut Ionia hingga Pegunungan Himalaya.

Murid filsuf Aristoteles ini dikenal sebagai penakluk yang menguasai jazirah luas. Dalam berbagai pertempuran, Alexander selalu ditemani kuda pemberian ayahnya—yang membeli kuda itu atas permintaan Alexander.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alexander menamai kuda itu Bucephalus, yang berarti ‘kepala lembu’, dan disebut-sebut keturunan dari jenis Thessalian terbaik. Kuda inilah yang menemani Alexander dalam penaklukannya hingga Balkan, Mesir, Mesopotamia, dan India—termasuk dalam pertempuran Issus yang mashur dalam upayanya menaklukkan Persia yang dipimpin Darius III.

Catatan-catatan kuno menyebutkan bahwa Bucephalus mati mendahului Alexander pada 326 SM setelah mengikuti Pertempuran Hydaspes yang berlangsung di Pakistan sekarang dan dikubur di wilayah ini.  Ada yang menyebutkan kuda ini mati karena sudah tua—29 tahun, ada pula yang mengatakan luka yang tak sembuh akibat pertempuran menyebabkan hewan ini menemui ajalnya. Alexander meninggal tiga tahun kemudian dalam usia muda, 32 tahun.

Kedekatan Alexander dengan Bucephalus mengilhami banyak pelukis dan pematung, antara lain John Steel yang mengabadikannya dalam sebuah patung berukuran besar. Katharine Roberts mengangkat hubungan mereka dalam novelnya I am the Great Horse (2006) yang mengisahkan kehidupan Alexander dari sudut pandang Bucephalus.

Kuda lain yang mashur dalam sejarah ialah Marengo—nama ini diambil dari salah satu pertempuran penting Napoleon Bonaparte, penguasa Prancis keturunan Italia yang ambisius ingin menguasai jazirah Eropa. Sebagai penggemar kuda, dengan koleksi sebanyak 52 ekor, Napoleon I memercayai Marengo sebagai kawan sehati dalam berbagai upaya penaklukannya.

Kuda ini kabarnya diimpor dari Mesir saat berusia 6 tahun. Walaupun kecil, tingginya kira-kira 142 cm, Marengo menjadi andalan Napoleon I dalam berbagai pertempuran, terutama di desa Marengo, di sekitar kota Alessandria, Italia. Dalam pertempuran ini (14 Juni 1880), pasukan Prancis berhasil mengusir pasukan Austria di bawah Jenderal Michael von Melas dari Italia. Kemenangan di Marengo ini memperkuat posisi Napoleon di Prancis.

Sepanjang keikutsertaannya dalam beragam pertempuran, Marengo mengalami luka-luka delapan kali, antara lain dalam Pertempuran Austerlitz, Jena-Auerstedt, Wagram, dan Waterloo (1815)—wilayah Belgia sekarang. Dalam pertempuran Waterloo, Napoleon dikalahkan oleh pasukan gabungan Inggris, Belanda, dan Prusia yang dipimpin oleh Duke of Wellington. Marengo tertangkap musuh dan dijual kepada perwira Inggris, sedangkan Napoleon diasingkan ke Pulau Saint Helena.

Mengembuskan napas dalam usia 38 tahun (1831), tulang-belulang Marengo disimpan di National Army Museum, di Chelsea, London. Kisah Marengo telah mengilhami banyak orang untuk menulis cerita, membuat komik, dan juga games. Jacques-Louis David melukiskan Napoleon dan Marengo di kanvasnya.

Dalam Pertempuran Waterloo, Duke of Wellinton menunggangi kuda Copenhagen favoritnya. Copenhagen merupakan peranakan Thoroughbred dan kuda Arab. Nama itu diberikan untuk mengenang kejayaan Inggris dalam Perang Copenhagen II di Copenhagen, ibukota Denmark sekarang.

Setinggi kira-kira 155 centimeter, Copenhagen dikenal memiliki warna kulit dark chestnut dan sempat beberapa kali memenangkan pacuan sebelum menjadi kuda perang. Duke of Wellington menyukai Copenhagen karena kuda ini sangat kuat.

Setelah pensiun dari pertempuran, kuda ini masih sering mengikuti kegiatan parade dan upacara. Copenhagen mengembuskan napas terakhirnya pada tahun 1836 dalam usia 28 tahun. Duke of Wellington menyaksikan penguburannya. Semula, makam Copenhagen tidak ditandai dengan batu nisan, namun kemudian atas prakarsa putra Duke of Wellington dipasanglah batu nisan bertulisan:

Here Lies Copenhagen.
The Charger ridden by the Duke of Wellington
The entire day at the Battle of Waterloo
Born 1808. Died 1836.

Di daratan Amerika, kuda juga memainkan peran penting dalam berbagai pertempuran. Dalam menjalankan tugasnya selama Perang Saudara di Amerika, Jenderal Ulysses S. Grant selalu ditemani oleh kudanya yang mashur, Cincinnati—yang juga nama sebuah kota di AS. Cincinnati merupakan keturunan Lexington, kuda jenis Thoroughbred yang dikenal sebagai kuda tercepat di AS.

Sejak kecil, Grant merasa terikat secara emosional dengan kuda-kuda. Ia senang menunggang kuda dan mengasah keterampilan berkudanya saat menempuh pendidikan militer di West Point. Merupakan kuda pemberian ketika Perang berlangsung, Cincinnati berukuran besar dengan tinggi kira-kira 177 centimeter, cakap, dan kuat. Dengan segera, Cincinnati menjadi kuda favorit Grant.

Tatkala mendatangi tempat penyerahan diri Robert E. Lee, pemimpin wilayah Selatan yang ingin memisahkan diri, Grant menunggangi Cincinnati. Sebuah patung terbuat dari material granit dan perunggu ditegakkan di Washington, D.C., untuk mengenang Jenderal mashur itu.

Grant mempunyai beberapa ekor kuda selain Cincinnati, di antaranya Egypt dan Jeff Davis, tapi Cincinnati-lah yang ia andalkan dalam bebergai pertempuran. “Ayah menyukai kuda yang paling sukar dikendalikan, yang paling besar dan paling kuat,” tutur Frederik Grant, anaknya. “Sering saya melihat ia menunggangi kuda yang tak seorang pun mampu mendekatinya.” Cincinnati menyertai Grant saat ia menghuni Gedung Putih.

Dalam banyak penaklukan, kuda-kuda hebat selalu menyertai sang penakluk. Mereka umumnya memimpin pasukan kavaleri yang jumlahnya bisa mencapai ratusan. Studi-studi historis menemukan bahwa kuda telah berperan dalam peperangan sejak 5.000 tahun yang silam. Lukisan dari masa Sumeria, 2500 SM, menggambarkan kuda-kuda yang menarik kereta perang. Di sekitar abad ke-4 SM, kuda mulai digunakan secara resmi sebagai kekuatan kavaleri—perwira Yunani Xenophon menulis makalah tentang pemakaian kuda sebagai kekuatan perang.

Tergantung jenis perangnya, kuda yang dilibatkan dalam peperangan pun beragam jenis dan ukurannya. Sebagian kuda lebih cocok untuk pemasok logistik, kuda yang sangat cepat lebih dibutuhkan untuk mengirim pesan ke berbagai tempat, ada pula yang menyertai para penakluk dalam memimpin tim kavalerinya.

Seiring kemajuan teknologi persenjataan dan komunikasi, peran kuda semakin menyusut dalam peperangan. Namun dalam sejarahnya, kuda-kuda menjadi mashur karena menyertai Napoleon, Wellington, Grant, maupun tokoh-tokoh lain dalam misi penaklukan mereka. (Ilustrasi: Patung Alexander dan kuda Bacephalus karya John Steell) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu