x

Iklan

Ronggo Warsito

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hari Guru, Mengingat 100 Tahun Lalu

Pada setiap 25 November, Hari Guru Nasional (HGN) diperingati sebagai pengingat terhadap hari lahir organisasi profesi guru pertama di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada setiap 25 November, Hari Guru Nasional (HGN) diperingati sebagai pengingat terhadap hari lahir organisasi profesi guru pertama di Indonesia, yakni Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Lahir dalam Kongres Guru Indonesia I pada 24-25 November 1945 di Surakarta, Jawa Tengah, usia PGRI tak bisa dibilang muda. Dibandingkan dengan usia negara ini, PGRI hanya berselang 100 hari—dihitung dari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Dalam kongres yang membidani kelahiran PGRI, terdapat tiga keputusan yang dihasilkan para peserta kongres yang datang dari berbagai daerah. Mereka bersepakat, pertama,mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia. Kedua, mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dengan dasar-dasar kerakyatan. Dan, ketiga, membela hak dan nasib buruh umumnya, serta hak dan nasib guru pada khususnya.

Kini, setelah 70 tahun berdiri PGRI telah memiliki sedikitnya tiga juta anggota. Usia segitu dan jumlah anggota sebanyak itu jelas bukan sekadar angka tanpa arti. Di balik angka itu ada pertanyaan: apakah tujuan PGRI sesuai tiga poin yang disepakati para pendirinya itu sudah tercapai? Pertanyaan itu akan terjawab jika disandingkan dengan fakta-fakta yang menyertai perjalanan PGRI sepanjang eksistensinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masa keemasan PGRI terjadi pada era Orde Baru. PGRI begitu populer di mata publik, namun seperti burung dalam sangkar emas. Tidak ada kebebasan bersuara, haknya dibatasi, dan organisasi itu cuma jadi alat kepanjangan tangan penguasa. Sudah bukan rahasia lagi, PGRI diperalat untuk memobilisasi massa demi memenangkan partai pemerintah yakni Golkar. Alih-alih memperjuangkan nasib guru, para elit organisasi itu berebut posisi politik dan kue ekonomi di sekitar kekuasaan.

Masuk masa Reformasi, guru mulai berani unjuk gigi. PGRI bukan lagi menjadi satu-satunya wadah. Sebagian guru mendirikan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Ikatan Guru Indonesia (IGI), sebagian lagi membangun Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Di mana pun mereka bernaung, cita-citanya hampir sama yaitu menjadikan organisasi guru lebih independen dan punya “taring” sehingga kepentingan guru benar-benar terwakili.

Kehadiran organisasi-organisasi itu seolah menjadi antitesis PGRI. Berkebalikan dengan PGRI yang sarat kepentingan politis, organisasi-organisasi itu dikelola mereka yang benar-benar berprofesi guru. Hal yang lazim terjadi di organisasi profesi lain semisal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang ketua umumnya pasti seorang dokter. Bila di PGRI banyak pengurus yang berlatar belakang birokrat dan politisi, maka di organisasi-organisasi itu hanya menjadikan guru sebagai anggotanya. Di sinilah perbedaan mendasar antara organisasi yang senior tapi jumud dengan organisasi baru yang progresif.

Perbedaan itu tak bisa dianggap sepele karena akan mencerminkan cara kerja organisasi dan arah pergerakan pemimpinnya. Taruhlah misal, dalam hal meningkatkan kesejahteraan guru. Di level pemimpin terjadi hiruk-pikuk mencemooh program pemerintah. Sementara para guru di bawahnya justru berharap dapat mengikuti program pemerintah, contohnya, peningkatan kompetisi sebagai basis untuk meningkatkan kesejahteraan.

Ketidaksinkronan antara elit PGRI dengan para guru yang bernaung di bawahnya nampak dari cara menyalurkan aspirasi. Ketika pemerintah sedang berupaya keras menjalankan amanat Undang-undang Guru dan Dosen, PGRI malah menggembosinya. Benar memang, PGRI bersuara kencang menuntut peningkatan kesejahteraan guru. Namun, tidak pernah jelas bagaimana upaya tersebut akan ditempuh. Sementara di sisi lain, PGRI memiliki dana yang cukup besar dari hasil mengutip iuran anggota.

Kembali ke pertanyaan awal, apakah visi-misi PGRI sudah tercapai sesuai keinginan pendirinya? Melihat fakta-fakta tadi, jawabannya tentu saja, “Tidak!”

Entah apa kata para pendiri PGRI melihat organisasi itu sekarang. Alih-alih berjalan sesuai cita-cita awal saat didirikan, pengurus organisasi itu malah merencanakan kegiatan yang tak substansial. Misalnya, memobilisasi massa untuk memperingati HGN pada 13 Desember 2015. Sebuah kegiatan yang mubazir mengingat pemerintah sudah memperingati hari tersebut pada 24 November 2015 lalu yang didasarkan pada peristiwa sejarahnya. Jika PGRI yang lahir pada 24 November 1945 ingin memperingati hari ulang tahunnya di lain waktu, bukankah itu pengingkaran sejarah? Selanjutnya, jika sejarahnya saja diingkari, apalagi cita-cita pendirinya. Sungguh, miris! ***

Ikuti tulisan menarik Ronggo Warsito lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB