x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dunia Memang Semakin Timpang

Indeks Gini Indonesia pun menunjukkan kesenjangan semakin lebar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dunia makin timpang dan jomplang. Begitu tulis Tempo.co sembari mengutip hasil riset Oxfam, organisasi nirlaba berbasis di Inggris, bahwa kekayaan 62 orang superkaya sama dengan harta 400 juta penduduk miskin dunia. Nilai kekayaan segelintir orang ini mencapai satu triliun dolar AS.

Sementara itu, harta penduduk terkaya (1 persen dari penduduk dunia atau 73 juta orang) sama dengan kekayaan 99 persen penduduk dunia. Sembari melaporkan bahwa kesenjangan antara orang kaya dan miskin masih besar, Oxfam juga mengritik para pemimpin dunia yang tidak bertindak nyata untuk memastikan bahwa  orang-orang miskin memperoleh keadilan dari pertumbuhan ekonomi.

Kecemasan terhadap semakin kayanya kelompok 1 persen dan meninggalkan jauh (dan semakin jauh) kelompok sisanya sudah lama jadi keprihatinan. Tapi sayangnya, seperti kritik yang dilontarkan oleh Oxfam, aksi untuk mempersempit kesenjangan ini kurang konkrit dibandingkan dengan penyediaan peluang-peluang bagi yang kaya dan superkaya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di AS, kritik terhadap kesenjangan yang kian melebar muncul dalam bentuk Gerakan Occupy Wall Street—pasar uang ini dianggap sebagai simbol kerakusan kelompok 1 persen. Gaung bersambut di Eropa Barat melalui Gerakan We Are the 99 Percent. Namun kedua gerakan ini rupanya tak sanggup memberi tekanan ekstra terhadap pemerintah maupun pihak-pihak pengambil kebijakan untuk mengambil tindakan yang berdampak serius dalam mengurangi kesenjangan.

Seiring dengan berlangsungnya aksi di AS dan Eropa juga terbit beberapa karya penting yang mengeksplorasi isu kesenjangan. Dua di antaranya adalah Inequality and Instability karya James Galbraith (2012) dan The Price of Inequality karya peraih Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz (2013). Namun, baru setelah karya ekonom Prancis Thomas Piketty terbit, yakni Capital in the Twenty-First Century, perdebatan mengenai kesenjangan kaya-miskin kian memanas.

Karya Piketty ini menyita perhatian ekonom, pembuat kebijakan, pelaku pasar, maupun think-thankers. Ketika orang masih mencari penjelasan yang memuaskan apa dinamika besar yang menggerakkan akumulasi dan distribusi kapital, Piketty menawarkan jawaban yang lebih mendasar.

Isu sentral karya Piketty adalah bahwa ketimpangan pendapatan disebabkan oleh konsentrasi kapital pada sedikit orang. Konsentrasi kapital yang kian meningkat di tangan sedikit orang, kata Piketty, telah mendorong pemiliknya untuk memerlakukan kapital sebagai sumber daya langka yang bernilai sangat tinggi. Karena itu, kaum pemilik modal (kapitalis) menuntut pengembalian yang tinggi.

Secara berkelanjutan, tingkat pengembalian kapital lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan pendapatan dan output. Kapital kemudian mereproduksi diri lebih cepat daripada peningkatan output dan upah. Tak pelak, pemilik kapital semakin kaya dibandingkan mereka yang mencari uang dengan mengandalkan tenaga. Ketimpangan pun semakin lebar, dan inilah—kata Piketty—kontradiksi inti kapitalisme yang bersifat logis dan mendasar. Maknanya, kesenjangan kaya dan miskin adalah cacat bawaan kapitalisme.

Piketty membantah keyakinan bahwa kesenjangan merupakan distorsi yang akan dipulihkan oleh mekanisme pasar. Piketty membantah pandangan bahwa pasar yang terbebas dari efek distorsi dan intervensi pemerintah akan ‘mendistribusikan buah kemajuan ekonomi’ kepada semua orang. Tesis Piketty tentang kelemahan inheren kapitalisme ini menyengat banyak pihak dan ia dituding sebagai Karl Marx baru—tudingan yang salah tempat, sebab Piketty berbicara ihwal distribusi kekayaan dan ketimpangan pendapatan, sedangkan Marx berbicara tentang faktor produksi dan pertentangan kelas.

Tidak ada mekanisme alamiah yang mampu merintangi kecenderungan meningkatnya kesenjangan itu kecuali krisis seperti perang, depresi ekonomi, atau intervensi politik. Piketty sendiri menawarkan pengenaan pajak progesif: makin kaya dan makin besar kapitalnya, makin besar pula pajaknya. Tentu saja, ide Piketty ini ditentang oleh kelompok 1 persen yang tak ingin kekayaan mereka digerus.

Isu ketimpangan ini sangat relevan bagi Indonesia. Dengan mengacu pada indeks Gini sebagai ukuran kesenjangan, tampak bahwa indeks Gini meningkat dari 0,30 pada 2000 menjadi 0,413 (bahkan di perkotaan mencapai 4,3) pada 2013. Ini menandakan bahwa kekayaan kelompok atas meningkat jauh lebih cepat ketimbang kekayaan masyarakat bawah.

Terkait indeks Gini itu, seperti dikutip tempo.co (13 Januari 2016), dalam sambutan pada peringatan ulang tahun ke-18 Universitas Paramadina, Jakarta, Wapres Jusuf Kalla mengatakan, jika ditafsirkan 1 persen penduduk Indonesia saat ini menguasai hampir 50 persen aset bangsa. Sedangkan 99 persen penduduk lainnya harus berbagai 50 persen aset yang tersisa. Meminjam istilah Wapres Jusuf Kalla, indeks Gini sebesar itu menandakan bahwa Indonesia sudah lampu kuning. (foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB