x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kerepotan Jurnalis di Hadapan Pemilik Media

Ketika dihadapkan kepada tekanan pemilik media, jurnalis hanya punya dua pilihan: mengikuti kehendak pemilik atau merengkuh kembali prinsip jurnalistik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Media massa, terutama televisi berita, telah banyak terkontaminasi oleh situasi politik dan kepentingan pemilik media. Pernyataan atau mungkin keprihatinan Adi Prasetyo, anggota Dewan Pers, ini sebenarnya juga menjadi keprihatinan banyak orang (tempo.co, 20 Januari 2016). Kita mungkin masih ingat ketika sebuah stasiun teve menayangkan liputan sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Saat menghadirkan Sudirman Said sebagai saksi pelapor, redaksi stasiun teve ini memajang teks berukuran relatif besar sebagai keterangan: “Sidang pengadilan Sudirman Said.” Bukankah ini penyiaran yang menyesatkan pemirsa?

Sejak lama banyak pihak sudah mengkhawatirkan bahwa media massa (bukan hanya televisi tapi juga media online, radio, maupun cetak) menjadi ajang ‘penyambung lidah’ kepentingan politik tertentu. Ini terjadi terutama karena pemilik media, misalnya saja stasiun teve, terjun pula di dunia politik, sehingga sukar dihindari terjadinya benturan kepentingan antara yang pribadi dan yang publik. Aburizal Bakrie, elite Golkar, punya TV-One. Lalu Surya Paloh, pemilik Metro TV, adalah dedengkot Nasdem. Ada pula Hary Tanoesoedibjo,  pemilik RCTI, Global TV, dan MNC TV, yang mendirikan Partai Perindo.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Praktis, di tangan masing-masing orang ini tergenggam kekuatan yang sangat besar: kekuatan ekonomi, politik, dan media. Sangat jarang elite yang menggenggam tiga kekuatan ini di dalam satu tangan. Tak heran apabila elite partai lain, yang tidak punya basis kekuatan ekonomi dan media, berusaha menggandeng mereka. Tak heran pula apabila di Golkar Aburizal Bakrie tetap di posisinya kendati digoyang-goyang dari berbagai arah.

Benar belaka apa yang dikatakan Adi Prasetyo bahwa fakta yang sama disajikan secara berbeda melalui pengambilan sudut pandang (angle) yang berbeda serta penghadiran nara sumber yang berbeda. “Fakta bisa berbeda 180 derajat dalam beberapa acara,” ujar Adi seperti dikutip tempo.co. Inilah yang terjadi ketika redaksi dipaksa untuk beradaptasi terhadap situasi politik di mana pemilik media punya kepentingan di dalamnya.

Dalam jurnalistik, pengambilan sudut pandang yang berbeda terhadap fakta yang sama sebenarnya dimaksudkan untuk memperkaya perspektif dalam melihat fakta tersebut. Sayangnya, kemungkinan ini dapat dijadikan alat untuk memanipulasi pemahaman terhadap fakta tersebut—istilah populernya: “beritanya diplintir”. Sayangnya pula, banyak orang yang bersedia menjadi nara sumber dalam rangka mendukung manipulasi pemahaman ini, sehingga pemirsa dituntut lebih kritis dalam menyaksikan pemberitaan televisi.

Apabila kita berbicara perihal tantangan besar yang dihadapi jurnalis di Indonesia saat ini maka itu adalah kemandirian jurnalis terhadap para pemilik modal (pemilik stasiun televisi), yang sekaligus pebisnis besar dan elite partai. Mampukah dan beranikah para jurnalis mengambil jarak terhadap pemilik media dalam urusan materi redaksional dan ruang berita (newsroom)? Mampukah para jurnalis bekerja di media tetap mandiri dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip jurnalistik?

Konflik dengan pemilik media memang berisiko, tetapi ini dapat dikembalikan kepada pilihan jurnalis sendiri: apakah memegang teguh prinsip jurnalistik atau beradaptasi terhadap situasi yang dikendalikan oleh pemilik media. Di masa-masa awal terjun ke dunia jurnalistik, para jurnalis biasa diberi wejangan tentang prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang dalam menyampaikan informasi kepada publik. Di antaranya ialah “kewajiban pertama jurnalis ialah menyampaikan kebenaran” dan “loyalitas jurnalis ialah kepada warga” (bukan kepada pemilik modal, partai politik, maupun pemasang iklan).

Maka, dihadapkan kepada situasi yang terus menekan, terutama dari pemilik media yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik, pilihannya berpulang kepada para jurnalis sendiri: apakah menuruti kehendak pemilik media atau merengkuh kembali prinsip-prinsip jurnalistik yang diajarkan sedari awal. Tidak ada kata terlambat, dan patut diingat bahwa dalam banyak peristiwa, masyarakat berpaling kepada media oleh karena kesetiaan para jurnalis dalam memegang prinsip-prinsip yang disusunnya. (foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB