x

Iklan

Faiz Abdalla

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sinergitas Memberantas Korupsi

Selain persoalan struktur dan subtansi hukum, kultur hukum pun harus diperhatikan dalam upaya mewujudkan pemberantasan korupsi yang sinergis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hasil pengkajian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dirilis Minggu (7/2) lalu menunjukkan putusan hakim untuk para koruptor yang semakin lama semakin ringan. Kajian terhadap tren vonis tipikor dalam tiga tahun terakhir (2013-2015) tersebut menunjukkan selain semakin banyaknya vonis ringan bagi penilap uang negara, juga memperlihatkan peningkatan jumlah vonis bebas (Jawa Pos, 8 Februari 2016).

ICW menyebutkan, sepanjang 2015 ada 524 perkara korupsi dengan 564 terdakwa yang ditangani pengadilan tipikor, banding di pengadilan tinggi, sampai kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Dari jumlah perkara tersebut, 401 terdakwa atau 71 persen mendapat vonis ringan, dengan rata-rata vonis hanya 26 bulan atau 2 tahun 2 bulan.

Temuan vonis hakim pengadilan tipikor tersebut ternyata paling rendah jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Pada 2014, rata-rata vonis yang dijatuhkan 2 tahun 8 bulan penjara. Sedangkan pada 2013, tercatat rata-rata vonis yang dijatuhkan 2 tahun 11 bulan penjara. Hal tersebut menunjukkan adanya tren semakin ringannya vonis hakim dari tahun ke tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain itu, jumlah terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas juga menunjukkan tren bertambah dari tahun ke tahun. Di antara 564 terdakwa korupsi pada 2015, sebanyak 68 orang divonis bebas oleh pengadilan tipikor. Sedangkan pada tahun 2014 lalu ada 28 terdakwa yang divonis bebas, dan pada tahun 2013 terdapat 16 terdakwa. Data tersebut menunjukkan semakin banyaknya vonis bebas dari tahun ke tahun.

Semakin ringannya putusan hakim terhadap koruptor tersebut tentu tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi melalui penegakan hukum yang baik. Di tengah kuatnya harapan adanya penegakan hukum yang baik, sistem peradilan pidana kita justru kedodoran dan tidak menunjukkan sinergi yang baik. Fungsi represif sistem peradilan pidana kita justru jauh dari semangat membuat pelaku jera seperti yang selama ini digembar-gemborkan.

Putusan ringan hakim tindak pidana korupsi tersebut tentu tidak mengimbangi semangat tinggi di KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Agung sebagai sistem peradilan pidana terpadu. Seharusnya penegakan hukum dalam memberantas korupsi berjalan dengan baik dan konsisten mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai putusan pengadilan.

Dengan demikian, harus ada pembenahan struktur hukum agar tercipta sinergitas yang baik antar penegak hukum dalam pemberantasan hukum secara represif. Karena akan dirasa percuma bila proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dapat dijalankan dengan baik, namun putusan pengadilan yang dikeluarkan justru tidak mengimbangi kualitas proses sebelumnya. Begitupun sebaliknya.

Sinergis-Komprehensif

Dalam analisis tim ICW, semakin ringannya hukuman bagi koruptor tersebut berkorelasi dengan digunakannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Sebab tampak kejanggalan hukuman minimum pada pasal 2 dan 3 undang-undang tersebut. Pada pasal 3 disebutkan pejabat publik hanya dihukum minimal setahun, sedangkan pada pasal 2 yang dapat digunakan untuk swasta justru disebutkan hukuman minimal empat tahun.

Hal tersebut tentu mengherankan. Pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaan semestinya dihukum lebih berat daripada swasta. Penyelenggara negara atau pejabat publik dianggap memiliki beban lebih besar karena menjadi panutan dan dipilih masyarakat. Karena itu, UU Pemberantasan Korupsi perlu segera direvisi. Harus ada kesamaan pandangan semua pihak dalam melihat perkara tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa sehingga hukumannya pun harus luar biasa.

Selain persoalan struktur dan subtansi hukum tersebut, kultur hukum pun harus diperhatikan dalam upaya mewujudkan pemberantasan korupsi yang sinergis. Terkait putusan hakim yang semakin ringan tersebut, harus ada pengawasan oleh masyarakat secara intens mengingat pentingnya putusan hakim yang mendukung sistem peradilan represif yang efektif. Masyarakat pun harus turut berperan mengawal dan mengawasi proses peradilan mulai dari penyelidikan sampai proses putusan pengadilan.

Di samping itu, peran masyarakat dalam membangun kultur hukum untuk mencegah korupsi pun perlu diperhatikan. Pemberantasan korupsi hendaknya tidak sekedar menjadi tanggung jawab penegak hukum, namun juga menjadi tanggung jawab bersama, baik secara preventif maupun represif. Dalam hal ini, peran NU dan Pesantren sangat diharapkan. Ini yang disebut penegakan hukum secara komprehensif, dimana sinergi antar penegak hukum dapat berjalan baik, pun sinergi negara dan masyarakat dapat dibangun dengan baik.

Ikuti tulisan menarik Faiz Abdalla lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu