13 Tahun Narasi Rachel Corrie di Palestina
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBRachel Corrie adalah keturunan Yahudi AS yang menjadi relawan kemanusiaan di Palestina dan melawan Israel.
Dia perempuan, asing (bahkan dari Amerika Serikat (AS) dan keturunan Yahudi), dan masih muda (saat terbunuh, umurnya masih 23 tahun). Sulit menemukan alasan mengapa ia pergi ke Palestina, bukan sekadar menjadi relawan kemanusiaan, tapi melawan Israel dan membela hak-hak mereka yang terjajah dan sebagian terusir dari tanahnya sendiri. Irrasional! Kecuali, jika kita mencari alasan itu di dalam batinnya. Ada yang terketuk di sana, yang membawa Rachel Corrie meninggalkan gemerlap seorang gadis Washington, melintasi samudera, untuk mereka yang bukan siapa-siapanya: Palestina.
Bagi pemerintah AS, ia aib. Ia ‘sesat’: ke luar dari paradigma politik pakem Gedung Putih sebagai ‘ibu tiri’ Israel. Karena itu, ia harus dilupakan, dihapus dari sejarah bangsa itu. Tentang ia yang pada 16 Maret 2003 dilindas oleh buldozer terkutuk milik Israel hingga tewas mengenaskan saat menghalangi peruntuhan pemukiman warga Palestina. Karena itu, saya menulis tentangnya hari ini.
Kita yang baru saja berteriak “boikot Isreal!” di KTT Luar Biasa OKI, harus terus mengingat Corrie. Ia adalah monumen, seperti oase di gurun AS. Kita selalu butuh itu. Ayatullah Khomaeni membuat monumen bernama “Hari Al-Quds”: ajakan demonstrasi internasional setiap Jum’at terakhir di bulan Ramadhan untuk menentang kolonialisme Israel di Palestina. Di negeri ini, monumen itu telah terbangun bahkan sejak negeri ini pertama kali didirikan, 1945: Palestina menjadi salah satu negara pertama pendukung kemerdekaan kita secara de facto.
Corrie adalah orang asing dalam arti sebenarnya di Palestina. Namun, ia juga ‘asing’ di negerinya sendiri. Tepatnya ‘diasingkan’. Ia memang warga AS, namun dianggap tak mewakili –alih-alih berseberangan dengan- suara pemerintah AS. Ia mencintai Palestina hingga mati dengan nasib yang sama dengan masyarakat yang ia cintai: terasing di negerinya sendiri. Ia terasing di negerinya sendiri yang linglung membedakan mana benar dan mana salah. HAM -katanya- dijunjung tinggi di sana, tapi tidak jika itu untuk Palestina. Mungkin, karena itu, ketika pada 2008 tulisan-tulisannya yang berserak dibukukan, judul yang dipilih untuknya adalah “Let Me Stand a Alone”. Ia memang berdiri sendiri di negerinya.
Saat ia syahid (mati mulia), tak ada arus protes berarti di negerinya. Alih-alih, The New York Times menyalahkannya. Hanya ibunya yang melakukan protes sebisanya, dua tahun kemudian dengan menggugat Israel secara perdata. Namun, mungkin ibunya sudah tahu itu sejak awal, ia kalah. Baginya memang bukan kemenangan di pengadilan yang dicari. Ia hanya ingin terus menjaga monumen bernama Corrie dari ingatan publik AS, juga dunia. Ia ingin mempecundangi hukum di sana: hukum yang tajam pada musuh politiknya dan tumpul pada sekutunya. Bayangkan jika Corrie mati karena buldozer Palestina, tentu akan sebaliknya yang terjadi.
Dalam apa yang mungkin diduga irrasional dari Corrie itu, justru tersimpan falsafah tentang kemerdekaan. Itulah salah satu tesis terpenting dari Corrie, untuk Palestina dan juga kita. Bahwa kemerdekaan sejati adalah keberanian melawan penindasan dan berpihak pada kemanusiaan dan keadilan, meski harus terpenjara atau mati sekalipun. “Kita terlahir merdeka, maka jangan mau diperbudak apapun atau siapapun,” kata Sayyidina Ali. Seperti juga kata Nabi Yusuf, “secara fisik bisa saja kita menjadi budak, namun jangan bagi jiwa kita.” Maka, kisah para manusia suci sering kali adalah kisah tentang terpenjara namun merdeka. Layaknya Nabi Yusuf yang rela dipenjara (fisiknya) atau Sayyidina Husain yang rela syahid karena menginginkan kebebasan dan kemerdekaan jiwanya. Dan Corrie seolah sedang meneladani mereka, dengan puncaknya pada 16 Maret 2003 itu.
Corrie juga seolah hendak mendidik kita tentang falsafah hidup dan mati. “Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup,” kata Buya Hamka. Adapun kata Sayyidina Husain, “karena kematian adalah niscaya bagi anak Adam, lalu mengapa mereka tak memilih untuk mati syahid?”
Akhirnya, samudera yang diseberangi oleh Corrie bukan hanya mengantarkannya ke Palestina. Namun ke nilai-nilai universal tentang kemanusiaan yang melintasi segala sekat: kebangsaan dan bahkan agama. Ia menjadi pahlawan kemanusiaan yang dielu-elukan semua bangsa, semua agama. Dan kita sekarang, justru menyekat-nyekat dunia kita dengan ragam sentimen yang di bangun di atas pondasi perbedaan: bangsa, agama, hingga aliran dan pandangan. Tak malukah kita pada Corrie?
Corrie tak pernah mati. Ia terus hidup sebagai suara batin: tentang kemanusiaan, solidaritas. Sampai Israel jatuh, sampai kemerdekaan tegak di Palestina, sampai kemanusiaan bersemai di dunia kita. Dunia yang sudah sakit ini. Atau, dia akan mati jika kita melupakannya. Karena pada dasarnya, Corrie mati untuk sejarah. Agar sejarah tak hanya ditulis dengan darah, tapi tinta emas.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Spiritualitas Kartini
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBRaja Salman dan Islam Indonesia ~ Husein Ja'far Al Hadar
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler