x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Renungan Kematian Penulis

Bagaimana Susan Sontag dan Sigmund Freud menyikap kematian? The Violet Hour menggambarkan keberanian sejumlah penulis menyongsong kematian hingga akhirnya menyerah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Jangan kirimi aku bunga ketika aku mati. Jika engkau menyukaiku, kirimkan bunga-bunga itu selagi aku hidup.”

--Brian Clough (Atlet, 1935-2004)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa kematian selalu dibicarakan, apakah karena misteri yang menyelimutinya senantiasa menggoda? Setelah menulis ihwal perkawinan sejumlah sosok mashur di dunia literer Inggris seputar awal abad ke-20 dalam Uncommon Arrangements, kali ini Katie Roiphe mengajak kita menyusuri renungan kematian para penulis.

Dalam karyanya yang baru terbit, The Violet Hour: Great Writers at the End (The Dial Press, 2016), Roiphe memusatkan perhatiannya kepada Susan Sontag, Sigmund Freud, John Updike, Dylan Thomas, dan Maurice Sendak. Bagaimana mereka menghadapi apa yang disebut Freud ‘teka-teki yang menyakitkan dari kematian’?

Roiphe memilih mereka karena merasa ada ‘sesuatu yang panas keluar dari tulisan mereka’. Meskipun ia mengakui pula bahwa ada nama-nama yang lain yang menggoda, seperti Honoré de Balzac, Leo Tolstoy, dan Virginia Woolf.

Freud menyadari kematiannya semakin dekat ketika ia tahu menderita nekrosis atau kanker tenggorokan, akibat kebiasaan merokok bertahun-tahun tanpa pernah berhenti. Freud menghadapi kematian dengan rasionalitas hingga ia menolak semua penghilang rasa sakit kecuali aspirin, hingga akhirnya menyerah. Atas permintaan Freud, dokter pribadinya melalukan eutanasia.

Hal terakhir yang ingin Sontag lakukan ialah mati setelah berjuang dengan gigih melawan tiga serangan kanker yang menyerang payudaranya hingga stadium 4, lalu uterusnya, dan kemudian darahnya. Ia jalani prosedur transfusi darah maupun terapi kemo. Kamarnya di rumah sakit, dilukiskan oleh Roiphe, bagaikan kantor di rumahnya. Dalam kesakitannya, Sontag berusaha mencari ‘kejelasan, pikiran rasional, dan informasi medis’ ihwal penyakitnya—bukan berpaling kepada mitologisasi yang romantis.

Sendak memiliki obsesi sepanjang hayat terhadap kematian, yang ia dramatisasi dengan begitu ganas dan penuh vitalitas dalam seninya. Ketika kekasihnya, Eugene Glynn, meninggal, Sendak menggambar jasadnya. “Ia akan duduk senang di meja makan,” tulis Roiphe, “menonton acara pembedahan di televisi sembari makan spaghetti.”

The Violet Hour dapat dikata sebagai campuran antara jurnalisme, kritik sastra, dan memoar. Dengan mengkaji lebih dekat pandangan lima penulis yang sejak lama ia kagumi, Roiphe berharap dapat lebih memahami kematian yang telah menghantuinya sejak ia berusia 12 tahun. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu