x

Iklan

Burhan Sholihin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Taksi Biasa vs Taksi Online, Mana Lebih Baik bagi Bangsa?

Pengguna taksi online seperti Uber dan Grab melesat. Taksi biasa pun menjerit. Sebenarnya secara ekonomi mana yang lebih baik bagi bangsa?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengguna taksi online seperti Uber dan Grab melesat. Taksi biasa pun menjerit. Sebenarnya secara ekonomi mana yang lebih baik bagi bangsa? Majalah Tempo edisi 21 Maret 2016 menurunkan opini soal itu. Taksi biasa yang menghidupi sekitar 170.000 orang sopir kini terancam karena tarif murah yang ditawarkan oleh Uber, Grab, bahkan juga Go-jek. Betapa pemerintah tergagap-gagap soal ini.

Berikut ini opini majalah Tempo:

KEBERADAAN taksi berbasis teknologi digital selayaknya tidak dilihat dari perspektif yang sempit. Demonstrasi sopir taksi konvensional yang didukung perusahaan taksi—karena pasarnya mengecil akibat tak mampu bersaing dengan taksi online—merupakan aksi kekanak-kanakan. Mereka seharusnya mengevaluasi diri. Tarif taksi online memang lebih murah ketimbang taksi pada umumnya. Tapi itu tidak melulu disebabkan oleh pajak yang belum dibayarkan taksi online—karena mekanisme belum mengaturnya. Besar kemungkinan, taksi konvensional selama ini tak efisien atau mengambil untung kelewat banyak. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi warga Jakarta dan sejumlah kota besar yang berkejaran dengan waktu, moda angkutan berbasis Internet ini memang menyenangkan: gampang dipanggil, relatif aman, dan murah. Dengan telepon seluler di tangan, mereka bisa mendapatkan Uber, Grab, atau Go-Jek, angkutan roda dua yang juga berbasis aplikasi online, tanpa mencegat di jalan. Inilah salah satu berkah teknologi digital: membuat cepat dan mudah pelbagai urusan.

Dengan kemudahan itu, jumlah konsumen pemakai Uber atau Grab meningkat pesat. Tak aneh bila jumlah pemilik kendaraan yang bergabung dengan Uber atau Grab juga semakin banyak. Sejak peluncurannya setahun lalu di Jakarta, sedikitnya 6.000 pemilik kendaraan bergabung dengan Grab, perusahaan Malaysia yang berbasis di Singapura. Adapun jumlah anggota Go-Jek lebih fantastis: lebih dari 200 ribu orang. Dalam situasi ekonomi yang masih sulit seperti sekarang, tak bisa dimungkiri, pekerjaan berbekal ponsel pintar menjadi katup penyelamat bagi para sopir dan pengojek. 

Ekonomi berbagi inilah yang mesti dipertahankan pemerintah: mobil dan sepeda motor yang selama ini tak produktif, melalui Uber, Grab, dan Go-Jek, dapat dipakai untuk mencari uang. Selisih harga yang dibayarkan penumpang—dibandingkan dengan tarif taksi konvensional, yang lebih mahal—dapat dipakai konsumen untuk membeli barang lain. Dengan kata lain, moda transportasi digital punya dampak ekonomi yang lebih luas. 

Persoalannya memang pada regulasi yang belum menyentuh moda transportasi berbasis aplikasi ini. Transportasi online dinilai menabrak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Dua aturan itu mensyaratkan, antara lain, transportasi umum mesti berbadan hukum, memiliki izin, dan melakukan uji berkala. 

Berdasarkan hal itu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan meminta Menteri Komunikasi dan Informatika menutup aplikasi taksi digital. Sikap reaktif Menteri Jonan ini patut disesali. Semestinya ia mencari solusi, bukan sekadar main gebuk. Keputusan Menteri Komunikasi Rudiantara tak menggubris permintaan Jonan layak dipuji. Ia malah menemukan solusi: mengusulkan koperasi menjadi badan hukum yang menaungi Uber dan Grab. 

Lewat koperasi, taksi online dapat menunaikan kewajiban membayar pajak. Koperasi dapat pula mewajibkan pemilik kendaraan memeriksa kendaraannya secara berkala seperti diperintahkan undang-undang. Dimiliki oleh anggota, manfaat koperasi dapat dirasakan pula oleh para sopir. Ditambah mekanisme internal dalam hal pelayanan penumpang—di antaranya pemberian rating kepuasan dari pelanggan kepada sopir—servis taksi online diperkirakan bakal bertambah baik. 

Pengusaha taksi konvensional harus segera berbenah. Sudah sering kita dengar perilaku tak ramah sopir taksi. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan melakukan kekerasan kepada penumpang. Penetapan tarif taksi harus dilakukan setransparan mungkin. Selama ini, tarif itu ditetapkan lewat Organda—asosiasi pengusaha angkutan. Dipimpin pengusaha taksi, Organda berpotensi bias: penetapan tarif cuma berorientasi pada keuntungan pengusaha. Jika terjadi kenaikan harga bensin, misalnya, pengusaha taksi menaikkan tarif. Ketika harga bensin turun, tarif tak menjadi lebih murah. 

Setelah taksi online membayar pajak, tarifnya diperkirakan naik—meski diduga tetap di bawah tarif taksi pada umumnya. Di sini akan terjadi keseimbangan baru: taksi konvensional diharapkan menurunkan tarif seraya memperbaiki pelayanan. 

Inilah yang terjadi di sejumlah negara maju. Di sana, tarif Uber tak jauh berbeda dengan taksi kebanyakan. Taksi umum tetap punya keunggulan: bisa disetop di sembarang tempat—yang menguntungkan penumpang yang tak punya waktu memesan secara online. Di pihak lain, Uber menawarkan banyak varian pelayanan: taksi reguler, taksi premium, bus ukuran sedang dan besar, bahkan mobil boks untuk mengangkut barang. 

Sementara mereka berlomba-lomba memberikan pelayanan kepada konsumen, pilihan berada di tangan calon penumpang. Ditambah tersedianya transportasi massal yang bagus, konsumen menjadi raja. Inilah yang semestinya terjadi di Indonesia.(*)

Ikuti tulisan menarik Burhan Sholihin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler