x

Iklan

Estu Fanani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reklamasi Pantai Meminggirkan Ekonomi Perempuan Pesisir

Reklamasi pantai yang banyak dilakukan semakin memiskinkan perempuan secara terstruktur. Perempuan dipinggirkan dari sumber kehidupannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ena setiap jam 3 pagi sudah menunggu suaminya yang menjadi anak buah kapal nelayan bersama para perempuan lainnya. Mereka akan menerima hasil bagian suaminya untuk kemudian diolah menjadi bermacam produk hasil olahan perikanan. Bersyukur jika hasil tangkapan melimpah, mereka bisa mengolah untuk kemudian dijual. Namun jika hasil tangkapan sedikit atau ketika musim paceklik, maka mereka hanya bisa mengolah untuk konsumsi sendiri. Tak jarang mereka tidak bisa mengandalkan hasil pendapatan suami, mereka harus mencari ikan atau kerang agar bisa mendapatkan penghasilan.

Dekade terakhir, kita diriuhkan dengan reklamasi pantai di beberapa wilayah di Indonesia. Jakarta dengan reklamasi teluk Jakarta, Bali dengan reklamasi teluk Benoa, Sulawesi Barat dengan reklamasi pantai Mamuju, reklamasi di pantai Ternate, Semarang dengan reklamasi pantai Marina, Tangerang, Manado, dan Kalimantan Tengah.

Umumnya, reklamasi pantai ini diperuntukkan sebagai kawasan industri, perumahan elit, pusat perbelanjaan elit, perkantoran, pusat bisnis, kawasan pariwisata ekslusif dan lain sebagainya. Sebagian diperuntukkan untuk ekonomi atas. Dimanakah ekonomi menengah dan kecil yang banyak dilakukan oleh perempuan pesisir?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Membahas reklamasi pantai, kita sering melupakan bahwa di pesisir terdapat kehidupan perempuan dan perekonomian kecil menengah perempuan pesisir. Di sana ada perempuan nelayan secara khusus dan perempuan pesisir. Mereka melakukan kegiatan ekonomi yang mempunyai nilai tinggi namun belum diakui atau baru dipandang sebelah mata oleh masyarakat maupun pemerintah. Orang banyak menilai bahwa apa yang dilakukan oleh perempuan ini hanyalah sebagai aktivitas rumah tangga yang tak bernilai ekonomi. Padahal, jika dikaji lebih jauh, ekonomi perempuan nelayan seperti yang dilakukan oleh Ena dan perempuan-perempuan pesisir ini memegang peranan penting dalam lingkaran perekonomian ekonomi masyarakat nelayan atau pesisir. Mulai dari pedagang pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar, buruh upahan maupun tenaga pengolah hasil perikanan. Baik mengolah dalam bentuk asli atau produk turunan seperti agar-agar rumput laut, kerupuk ikan, bakso ikan, dan lain sebagainya.

Ketika pemerintah menyetujui dilakukannya reklamasi pantai untuk pengembangan wilayah komersil dan bisnis seperti untuk perkantoran, pusat bisnis, mal dan perumahan ekslusif, maka secara langsung pemerintah meminggirkan perekonomian kecil dan menengah yang dilakukan perempuan pesisir. Mengapa? Pertama, pemerintah mengingkari adanya program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) yang dikembangkan untuk peningkatan perekonomian masyarakat pesisir. Pelaksanaan program PEMP yang antara lain meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia, akses permodalan, manajemen dan teknologi usaha perikanan menjadi terhambat. Kedua, reklamasi pantai membuat perempuan pesisir menjadi terhambat dalam melakukan kegiatan ekonomi karena hilangnya sumber penghasilan mereka yakni laut dan pesisir laut itu sendiri. Lingkungan pesisir yang berubah menjadi daratan menghilangkan daerah rumpon ikan, kerang, udang, kepiting, dan sebagainya. Hal ini sama sebangun dengan ketika pemerintah menyetujui peralihan fungsi hutan alam menjadi hutan produksi dan dikuasakan pengelolaannya kepada swasta. Bagaimana kemudian perempuan Papua kehilangan sumber kehidupan dan penghasilan dari hutan tempat mereka bergantung hidup.

Dalam konteks reklamasi pantai misalnya di pesisir utara Jakarta maupun di teluk Benoa Bali, akan menempatkan perempuan pesisir ke dalam kemiskinan terstruktur. Awalnya mereka melakukan kegiatan ekonomi yang dianggap bukan sebagai suatu pekerjaan karena merupakan pekerjaan di ranah ‘informal’. Kemudian karena perubahan fungsi sosial dan fisik lingkungannya, mereka dipaksa beralih pekerjaan menjadi pekerja-pekerja di sector ‘informal’ di lingkungan baru tersebut sebagai PRT, buruh cuci, satpam dan sebagainya. Lebih jauh lagi jika pemerintah maupun pihak swasta yang mengabaikan atau tidak memikirkan nasib dari masyarakat pesisir yang tergusur proyek reklamasi tersebut.

Padahal, kita ketahui bersama bahwa indicator keberhasilan pembangunan suatu daerah atau suatu negara tidak hanya dilihat pada tingginya pertumbuhan ekonomi, namun juga mencakup kualitas manusianya, sehingga kita mengenal adanya indeks pembangunan manusia (IPM). Oleh karenanya pembangunan itu harus berorientasi juga pada pelakunya dalam hal ini manusianya atau masyarakatnya. UNDP sejak 2014 memasukkan kesehatan (angka harapan hidup), pendidikan (pengetahuan) dan daya beli (standar kehidupan layak) menjadi dimensi pokok yang dilihat dalam IPM.

Khusus DKI Jakarta, di tahun 2014 IPM kabupaten Kepulauan Seribu dan kota Jakarta Utara merupakan dua wilayah dengan IPM terendah dibandingkan wilayah DKI Jakarta lainnya. Kabupaten Kepulauan Seribu IPM nya hanya sebesar 68,48 dan Jakarta Utara sebesar 77,29, keduanya di bawah IPM DKI Jakarta yang sebesar 78,39. Dan IPM DKI Jakarta merupakan IPM yang tertinggi dibandingkan propinsi lainnya.

Melihat hal ini, seharusnya pemerintah bukan saatnya mengedepankan pembangunan fisik dan infrastruktur yang bukan untuk fasilitas social dan fasilitas umum. Sudah saatnya pemerintah memprioritaskan pembangunan manusia seutuhnya dengan adanya program khusus bagi perempuan utamanya perempuan-perempuan di pesisir, pedesaan dan pedalaman agar bisa setara dengan perempuan di perkotaan dan mempunyai kapasitas untuk menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). 

 

Estu Fanani

Peserta Klinik Menulis Opini Tempo Institute

Foto: Perempuan Nelayan di Pantai Prigi - 2015 (Poedjiati Tan)

Ikuti tulisan menarik Estu Fanani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB