x

Aliansi Mahasiswa Papua mengenakan gelang dan ikat kepala bergambar logo Organisasi Papua Merdeka saat melakukan aksi demo di Bundaran HI, Jakarta, 1 Desembar 2015. Tanggal 1 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai HUT OPM dan kelompok separatis

Iklan

Neles Tebay

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mendalami Konflik Papua

OPM memandang TNI dan Polri sebagai representasi pemerintah, dalam hal ini disebut “penjajah”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konflik Papua kembali membara setelah peristiwa penembakan terhadap karyawan PT Modern yang sedang membangun jalan raya dari Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, ke Mulia, ibu kota Kabupaten Puncak Jaya. Penembakan yang terjadi pada 15 Maret lalu itu menewaskan empat warga sipil. Penembakan dilakukan oleh kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) sayap militer dari Organisasi Papua Merdeka atau yang disebut dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) oleh kepolisian.

Kasus ini menuntut pemikiran mendalam sebelum menetapkan solusinya. Teori episode dan episentrum yang dikembangkan oleh seorang ahli transformasi konflik, John Paul Lederach, dalam bukunya, The Little Book of Conflict Transformation (2003), dapat membantu upaya mendalami kasus Sinak. Suatu aksi kekerasan dipandang sebagai sebuah episode atau letupan dari sebuah konflik. Kasus seperti ini menuntut solusi jangka pendek, misalnya melalui penegakan hukum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lederach mengingatkan bahwa suatu aksi kekerasan pasti mempunyai konteks yang mempengaruhinya. Maka, saat mempelajari kasus kekerasan, perhatiannya tidak boleh terfokus hanya pada kasusnya. Konteks yang memungkinkan terjadinya kasus kekerasan perlu dipahami secara benar. Konteks tersebut adalah pola relasi yang berperan sebagai episentrum untuk melahirkan aksi kekerasan. Suatu konteks dapat dianalisis dengan menggunakan kasus kekerasan sebagai “jendela” untuk melihat semua hal di belakangnya.

Dari “jendela” kasus penembakan di Sinak, kita disadarkan bahwa ternyata sudah pernah terjadi beberapa kasus kekerasan. Misalnya, tiga polisi di Sinak tewas tertembak OPM pada akhir tahun lalu. Dua tahun sebelumnya, tujuh prajurit TNI ditembak mati. Danramil Sinak, Letnan Satu Inf. Mahmudin, pernah dibacok dan pistolnya dibawa lari. Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw melaporkan bahwa sejak 2009 hingga kini sudah terjadi 226 kasus kekerasan yang dilakukan KKB dan menewaskan 111 orang.

Komnas HAM mencatat bahwa dalam tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, kurang-lebih 700 orang asli Papua telah menjadi korban penangkapan, penganiayaan, penyiksaan, dan pembunuhan yang melibatkan oknum aparat keamanan. Aksi saling berbalas kekerasan ini dikhawatirkan akan terus berlanjut, karena ribuan puncuk senjata beredar di Tanah Papua. Selain yang dimiliki TNI dan Polri, kelompok separatis Papua dideteksi masih memegang 700 pucuk senjata.

Kasus-kasus kekerasan di atas memperlihatkan keterlibatan aparat keamanan, baik TNI maupun Polri, dan OPM. Kedua belah pihak saling memperlakukan satu sama lain sebagai musuh. OPM dipandang sebagai separatis. Sejak integrasi Papua ke Republik Indonesia pada 1961, sudah dilakukan minimal 12 kali operasi militer secara masif di Tanah Papua untuk memberantas OPM. Operasi keamanan dilakukan untuk memberantas musuh negara yang mengancam keutuhan teritorial Indonesia.

OPM memandang TNI dan Polri sebagai representasi pemerintah, dalam hal ini disebut “penjajah”. Perlawanan OPM, baik melalui jalur diplomasi maupun aksi kekerasan, dilakukan untuk membebaskan rakyat dan tanah Papua dari penjajahan Indonesia. Maka dibentuklah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dengan kantor perwakilan di Wamena, serta pengibaran bendera Bintang Kejora, tuntutan referendum, tuntutan Papua Merdeka, serta penembakan terhadap warga sipil atau TNI/Polri. Semua langkah ini dilakukan sebagai upaya dekolonisasi. Bukankah penjajahan di atas dunia harus dihapuskan? Maka, OPM pun menjustifikasi aksi-aksi kekerasannya.

Ketika aparat keamanan dan OPM menjustifikasi aksi kekerasan yang dilakukannya, pola hubungan permusuhan antarmereka akan terus berlangsung. Pola relasi ini akan melahirkan aksi-aksi kekerasan baru, yang mengorbankan baik anggota TNI/Polri maupun warga sipil.

Tentu, relasi permusuhan tidak dapat direstorasi melalui aksi kekerasan. Juga tidak dengan saling menuduh, menuding, dan menyalahkan. Satu-satunya jalan merestorasi relasi antara pemerintah dan OPM adalah melalui pertemuan lebih dari sekali di tempat yang aman.

Dalam pertemuan-pertemuan itu, pemerintah dan OPM dapat berdialog sehingga tercapai sikap saling memahami. Rangkaian pertemuan inilah yang akan menurunkan kecurigaan dan meningkatkan level kepercayaan. Ketika kepercayaan sudah tercipta, mereka dapat membahas masalah-masalah yang menjadi penyebab konflik Papua dan mencari solusi bersama.

Penetapan solusi secara bersama merupakan ekspresi terjadinya rekonsiliasi antara pemerintah dan OPM. Ketika hubungan antarmereka sudah terpulihkan, mereka dapat saling memandang dan menghormati satu sama lain sebagai sesama warga negara Indonesia dan makhluk ciptaan Tuhan. Demi pembaruan relasi pemerintah-OPM melalui dialog yang berkelanjutan, Presiden Jokowi perlu mengangkat seorang pejabat untuk mengurus proses dialog ini.

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo edisi Kamis, 7 April 2016

Ikuti tulisan menarik Neles Tebay lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu