x

Ilustrasi anak jalanan. ADEK BERRY/Getty Images

Iklan

Erna Rushernawati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bukan Sinetron 'Anak Jalanan'

Peringatan Hari anak Nasional tak membawa perubahan pada anak-anak Indonesia. Sekedar seremonial saja bila negara tak ambil peran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ini bukan cerita 'Anak Jalanan', seperti judul serial drama remaja yang tayang di sebuah televisi swasta tanah air. Cerita yang pasti jauh dari gambaran anak jalanan yang sebenarnya, karena oleh menampilkan remaja berduit, menunggangi motor gede yang harganya selangit. Atau bukan juga cerita film lawas 'Si Topan Anak Jalanan' yang mengisahkan tentang remaja kaya 'broken home' yang kemudian lebih senang hidup di jalanan dengan motor gedenya.

Tapi ini benar-benar anak jalanan yang hidup dan mengais rezeki di jalan demi bertahan hidup. Sebagian dari mereka bahkan tak mampu mengenyam pendidikan yang seharusnya menjadi hak bagi mereka selaku warga negara. Dengan berbekal suara yang pas-pasan dan alat musik seadanya, mereka naik turun kendaraan umum mencari rupiah. Kondisi seperti ini jelas tak aman bagi mereka dari tindak kejahatan dan kriminalitas. Rokok dan narkoba lekat dengan keseharian mereka, sementara kejahatan seksual mengintai mereka. Apalagi tak sedikit dari mereka lepas dari kontrol kedua orangtuanya. Kasus Emon di Sukabumi yang mencabuli anak-anak di bawah umur bukan tak mungkin dapat terulang.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, saat ini 4,1 juta anak terlantar di Indonesia. Data KPAI menyebut sekitar 18 ribu anak tereksploitasi sedangkan data dari Kementerian Sosial (Kemensos) menyebut sebanyak 35 ribu anak. Sungguh ini bertolak belakang dengan seremonial yang selalu diperingati setiap tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seremonial Hari Anak Nasional ternyata tak membawa perubahan berarti bagi sebagian nasib anak-anak Indonesia. Misal derita hidup Sinar, bocah Sekolah Dasar asal Poliwari Mandar  yang sempat terekspos media beberapa tahun silam adalah potret lain nasib anak Indonesia yang terpinggirkan. Bahkan di Jakarta sebagai ibukota, anak jalanan mudah dijumpai di setiap sudut kota atau di berbagai tempat fasilitas umum. Kalau sudah bagitu, apa manfaat peringatan hari anak nasional yang selalu diperingati setiap tahun? Tidak lebih hanya sekedar seremonial tanpa solusi yang mampu mengubah nasib anak-anak jalanan di negeri ini.

Menilik kemiskinan dan kondisi sebagian besar anak-anak jalanan Indonesia, menunjukkan abainya peran pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Padahal negeri ini berlimpah dengan kekayaan sumberdaya alamnya, namun sayang kekayaan alam yang melimpah itu justru dinikmati oleh asing bukan oleh penduduk negeri ini.  Seandainya kekayaan yang melimpah itu dikelola secara mandiri oleh pemerintah dan didistribusikan secara merata ke setiap wilayah di Indonesia, maka rakyat akan hidup jauh lebih sejahtera. Bukankah demikian amanat ayat 3 pasal 33 UUD ’45 negara ini? “Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasasi oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Tentu mustahil mengharapkan sistem kapitalisme untuk menyelesaikan persoalan ini. Sebab sistem kapitalisme hanya akan berpihak pada segelintir orang yang bermodal. Maka sudah saatnya mencampakkan sistem kufur ini dan kembali pada syariahNya sebuah system yang mampu mengatur harta kekayaan dan mendistribusikannya sehingga terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat. (Mustaqiima, Bogor)

Ikuti tulisan menarik Erna Rushernawati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB