x

Lukisan I Gede Oka Astawa dalam pameran di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta, 6-19 April 2015. (TEMPO/Shinta Maharani)

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Prosa: Kekasih Putri Diktator

Diktator mati dan rakyat yang pro dan yang kontra bertengkar hebat. Kalbu, kekasih salah satu putri diktator bingung, dan mulai berangkat berjuang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Diktator itu mati. Semasa hidup dipuja seperti berhala, sekarang raganya menjadi mayat, dan suatu saat lumat menyatu alamraya. Rohnya, kata agama, masuk relung keabadian. Berita tentangnya menyebar luas lewat semua jenis media, melewati lautan, menembus angkasa, malang melintang di jagat sibernetika.

Diktator itu mati. Maka pemerintah sibuk begini dan begitu, negara diam, tanah air diam, bangsa diam, dan bahasa nasional biasa-biasa saja. Tentu saja anak-anaknya, cucu-cucunya, cicit-cicitnya, dan semua kerabatnya menangis. Rakyat jelata terbawa arus, tertular dukacita, ada juga yang turut tersedu-sedu. Para bebek-bebeknya tebar pesona baginya, memoles-moles dan mematut-matut segala nista yang pernah dilakukannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Diktator itu mati

Dua jenis rakyat

Bertengkar hebat

"Bapak wafat."

"Bapaknya siapa? Diktator bukan bapak."

"Okelah. Beliau wafat."

"Wafat? Semua diktator, siapapun dia, mampus!"

"Kasar amat."

"Okelah. Mati. Paling tinggi meninggal dunia."

"Mati? Memangnya kucing?"

"Kucing jauh lebih agung katimbang diktator."

"Kamu sadis dan biadab sekali. Orang yang santun dan beradab hanya mengingat kebaikan orang mati, siapapun dia."

"Kamu dungu dan tidak peka. Peka akan peradaban berarti mampu membedakan baik dan buruk. Kebaikan diktator, apapun wujudnya, ujungnya hanya untuk kepentingan diktator sendiri dan kliknya. Kebaikan semu yang menipu."

"Jasanya banyak. Ingat itu!"

"Jasa? Betul sekali. Bagi anak-anaknya, cucu, cicit, kerabat, penjilat, dan begundalnya. Semuanya culas. Ingat juga itu!"

"Culas? Pendukung almarhum itu banyak orang penting! Ada presiden, mantan presiden, jenderal, mantan jenderal, menteri, mantan menteri, pejabat, mantan pejabat, saudagar besar, profesor, doktor, pemuka agama, budayawan, wartawan, dan banyak lagi. Orang-orang yang tidak penting, segala jenis rakyat jelata, juga menjadi pengagumnya. Tahu enggak, hah?"

"O, bukan hanya tahu, tetapi sungguh-sungguh tahu menahu. Semua orang penting dan tidak penting yang kamu sebut itu, diancuk semua! Semua pembela dan pengagum diktator dari kalangan atas selalu culas. Mereka antusias mau jadi bebek-bebek, karena diuntungkan. Kalangan bawah berbeda. Mereka masih mengagumi diktator, atau mau jadi budak-budaknya, karena ikut-ikutan, dimanipulasi, atau karena bodoh. Dan ... "

"Prek! Taek bebek!"

"Hei, tunggu. Jangan marah dulu. Yang kamu sebut sebagai kebaikan tuan diktator itu, tak lebih hanya busa-busa, yang merusak seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya orang nekat dan ngawur yang masih tega menghubungkan jasa dengan sepak terjang diktator. Juga ... "

"Komunis!"

"Lho? Ada apa dengan komunis? Pakai logika ah. Diktator ya diktator. Selalu jahat, licik, kejam. Tak ada dasarnya untuk dibela."

"Beliau putra terbaik bangsa. Orang besar. Pembela konstitusi. Pejuang, ksatria, pemberani. Sabar. Penuh kebapakan. Amat memerhatikan orang miskin. Amat soleh. Rendah hati. Beliau bapak pembangunan."

"Ya, membangun bagi diri sendiri dan kliknya. Membangun dinasti ekonomi bagi anak, cucu, cicit, kerabat, dan kroni-kroninya. Membangun kestabilan aman yang semu, dengan membungkam kebebasan bersuara. Membangun gurita usaha-usaha bisnis bagi gerombolan mereka, dengan mencekik akses ekonomi rakyat. Hutan digunduli dan dibakar. Tanah rakyat diserobot. Dan ..."

"Ateis! Sudah! Diaam!"

Sebagian orang mulai kalap. Toh rakyat bingung yang bersilat lidah makin banyak. Makin meluas di seluruh negara. Makin lama makin sengit. Menjadi saling curiga. Tohok menohok. Negara ruwet terpuruk ke alam terkutuk. Gara-gara bertengkar. Karena diktator itu mati.

*****

Diktator itu mati dan Kalbu gelisah. Diktator almarhum menjadi bulan-bulanan sumpah serapah, sementara Ayuna yang ayu, adalah kekasihnya. Ayuna itu putri sang diktator, anak ketujuh.

Di tengah karut marut itu, Kalbu duduk tepekur di sebuah batu sebesar gajah di tengah kali. Sepasang matanya yang kecil, bukan sipit, menyapu batu-batu dan air yang mengalir. Pikiran dan perasaannya kalut. Khayalnya melihat banyak wujud datang pergi silih berganti: arwah ayah kekasihnya, istana megah, pestol, Rahwana, vila mewah, meriam, pabrik, baju loreng, rekening-rekening bank, pesawat tempur, hutan gundul, bedil, gedung-gedung ibadah, borgol, timbunan sampah, seribu Durna, tambang emas, taman amat luas, dan gunung meletus.

Dari sebuah rumah di atas kali, dua pasang mata yang teduh, mengawasi Kalbu yang tengah linglung, dengan setia.

Kalbu berdesis, menunduk dan mengatupkan kedua belah telapak tangan ke wajahnya. Namun khayal itu makin menggila sehingga di dalam benaknya datang silih berganti ini dan itu menyangkut ayah Ayuna: kamp kerja paksa, hukum tanpa pengadilan, setengah sampai lebih tiga juta arwah penasaran, pejabat-pejabat bertopeng malaekat malang melintang pesta pora selama empat windu di seluruh Negara dengan segenap keiblisan mereka, deret panjang aneka rupa kebiadaban tiada tara, dan wajah Ayulintang yang sedang berurai air mata.

Kalbu merasa perutnya terpilin-pilin. Kepalanya jadi pusing dan matanya berkunang-kunang. Terbayang Ayuna masih menangis. Ah, siapa tidak menangis ditinggal ayah meninggal? Bahkan burung-burung pipit mencicit-cicit merintih saat induknya mati. Ayuna, ya, dia memang putri diktator. Tapi Ayuna saja, Ayuna tanpa embel-embel, bukan diktator. Ayuna yang sedemikian, hanya Kalbu yang tahu menahu. Hanya Kalbulah penghidupnya yang total. Wahai dunia, Kalbu berteriak dalam dada, dengarlah kataku dan percayalah! Ayuna adalah segala yang indah.

Dua pasang mata di balik jendela terbelalak.

Byur! Kalbu terjungkal ke dalam air. Dia pingsan.

*****

Dua pasang mata itu adalah mata Bapa Subudi dan Bunda Adaba. Mereka itu orang tua Kalbu. Mereka kini lega. Sang Putra tunggal mereka sudah terbaring tampak tenang di ambin beralas tikar pandan. Ia berbantal batang kayu kelengkeng. Nafasnya mulai teratur. Matanya terpejam.

"Anakku yang terkasih."

Kata mereka di dalam hati. Mereka mengetahui luar dalam siapa Kalbu. Mereka juga tahu hubungan cinta Kalbu dengan sang putri orang nomor satu di Negara (si nomer satu itu mereka juluki Herodes). Mereka tidak heran, tidak bingung, dan samasekali tidak kaget. Itulah takdir. Guratan tangan mampu menghubungkan Kalbu yang di bumi dengan Ayuna yang di langit.

Yakin Kalbu sudah tertidur, mereka tinggalkan kamarnya. Kamar itu berdinding papan kayu jati. Kayu jati berumur lebih enam abad yang pohonnya ditanam oleh seorang raja yang kratonnya sudah punah. Di lembah gunung. Sekarang gunung itu tegak menjulang. Puncaknya nyaris selalu berkabut, tampak dari jendela kamar itu.

Mereka melangkah ke serambi belakang, tempat mereka biasa berbincang. Begitu mengambil tempat duduk, Subudi berkata lirih "Akhirnya meninggal juga." Yang disambut oleh Adaba. "Ya, dari debu kembali ke debu."

Mereka menghela nafas panjang. Ketika seekor merpati putih hinggap di daun pintu jendela kamar Kalbu, Subudi berkata: "Dampak meninggalnya sang Herodes, akan membawa-bawa anak kita juga."

"Itu niscaya, bapa!" tanggap Adaba. "Tersurat di telapak tangannya. Itu tugas dan kewajibannya. Dia telah terpanggil dan terpilih untuk itu. Lupakah bapa bahwa ... "

"Hohoho. Siapa berani melupakan anugerah dari Sang Paring Gesang? Bapa tidak berani, bunda. Kita diberi kepercayaan, diberi titipan, putra tunggal kita. Ah, keliru, bukan kita! Bunda yang diberi titipan itu. Bapa cuma membantu."

"Ah," wajah Adaba bersemburat merah, "tanpa pendampingan bapa, bunda tidak akan mampu membawa Kalbu sampai menjadi Kalbu yang sekarang."

"Bapa telah berbuat semampu bapa, bunda."

"Tepatnya, kita bersama telah berbuat semampu kita. Segala hal terbaik yang kita miliki telah kita berikan kepadanya. Selebihnya kita hanya bisa berdoa."

"Apakah Kalbu akan kuat menanggung dan bisa mengatasi ini semua, bunda?"

"Mudah-mudahan. Tapi ini semua masih permulaan dari perjuangan panjang yang harus ia tempuh, demi kebaikan sebanyak mungkin pihak."

Kalbu tiba-tiba muncul. Ia sudah segar bugar. Bersujud kepada Bapa dan Bunda. Mohon pamit dan mohon berkah. Sang putra tunggal akan berangkat berjuang.

Gunung Merbabu, April 2016

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler