x

Iklan

Jimmy Zeheskiel Ginting

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Klinik Opini: Menyikapi Minol Dengan Kesadaran

Ketika minol disikapi secara emosi, lalu siapa yang dalam kondisi sadar dalam menyusun aturan sehingga keluar larangan ?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Larangan Minol) saat ini sudah memasuki fase pembahasan di panitia kerja (panja). Fase yang melibatkan pemerintah dikarenakan substansi pembahasan mulai masuk dalam pasal per pasal. Kedua belah pihak membawa Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) masing-masing untuk didebat, dipertahankan, bahkan diubah sehingga dicapai konsensus bersama, yaitu undang-undang. Di lain pihak, geliat penolakan terhadap minuman keras (miras) perlahan seragam. Bahkan yang terbaru, ribuan masyarakat Papua menyatakan perlunya pelarangan total peredaran miras di tanah Papua.

Tentu dapat dipahami latar belakang pemikiran masyarakat anti miras sehingga melahirkan penolakan. Secara gamblang dapat dilihat alasan kesehatan, insiden kecelakaan, trauma pribadi (keluarga), dan agama menjadi pusat pembentuk argumentasi mengapa harus menolak miras. Kembali ke konteks RUU Larangan Minol, pelarangan dari aspek produksi, distribusi dan konsumsi ditegaskan lewat adanya pengenaan sanksi pidana, kurungan dan denda. Sekilas, RUU ini menjadi jawaban atas masalah, apakah demikian ?

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Larangan Tidak Pernah Efektif

Sejarah beberapa negara menunjukkan bahwa konsep larangan terhadap peredaran miras tidak pernah efektif. Larangan tidak menjawab persoalan. Amerika Serikat, Inggris dan Australia merupakan contoh negara sekuler yang menerapkan konsep larangan. Yang terjadi bukannya keteraturan, malah sebaliknya. Meningkatnya aktivitas kriminalitas dan penggelapan cukai. Singapura, Thailand, Turki dan Malaysia memilih konsep pengaturan dengan ketat terhadap aspek distribusi dan konsumsi. Ada kesadaran bahwa pelarangan bukan jawaban.

Di dalam negeri sendiri, kita dapat melihat beberapa peraturan daerah (Perda) yang tidak efektif. Bekasi, Depok, dan Sukabumi patut menjadi bahan analisa di mana korban masih saja berjatuhan akibat maraknya penjualan miras ilegal dan oplosan.

 

Kekeliruan Mendasar Terhadap Minol

Oplosan merupakan momok bagi siapapun yang ingin meminumnya. Ancaman kebutaan hingga kematian menanti. Namun anehnya, kita sering keliru dalam mendefinisikan oplosan, minuman keras, dan minuman alkohol. Kelirunya kita itu juga wajar. Tidak banyak yang paham tentang tipologi minuman beralkohol. Sederhananya, minuman keras masuk dalam bagian minuman beralkohol, dan oplosan bukanlah minuman beralkohol. Artinya, oplosan bukanlah sesuatu yang layak dikonsumsi. Jika dilihat dari kandungan cairannya, oplosan mengandung methanol, yang jelas bukan untuk dikonsumsi. Kekeliruan dalam pengertian dapat terlihat dari pembicaraan sehari-hari di mana bir dikatakan sebagai miras, oplosan disebut pesta miras, dan tape yang kadar alkohol kurang lebi sama dengan wine dibilang halal. Parahnya, minol disamakan dengan narkoba. Jika meminum minol maka akan berbuat kriminal.

Masyarakat perlu paham bahwa minuman beralkohol hanyalah minuman mengandung ethanol dengan kadar paling tinggi 55 persen. Diatas kadar itu, tidak layak untuk dikonsumsi. Itu mengapa, alkohol 70 persen yang sering dipakai sebagai antiseptan tidak layak dikonsumsi. Saya kuatir, gerakan melarang minol disebabkan kekeliruan atas definisi.

Sama seperti produk pangan lainnya, minol tentu mempunyai dampak negatif (kerugian) berikut positifnya (manfaat). Masing-masing pihak mengemukakan alasan agama dan kesehatan. Lagi-lagi, ini perspektif. Sama halnya kalau kita bicara apakah kita perlu memakan nasi (beras) yang menyumbang inflasi lebih dari 20 persen ?

 

Penting Adanya Pengaturan Berbasis Kesadaran Nasional

Suka atau tidak suka, budaya minum-minuman beralkohol sudah mengakar di kehidupan berbangsa. Bukan pula berarti minol dapat bebas diperjualbelikan. Pemerintah selama ini sebenarnya sudah mengatur akan hal ini. Namun, peraturan tanpa keinginan membentuk kesadaran atas minuman beralkohol malah akan berbalik menyerang.

Penting bagi semau pemangku kepentingan untuk melakukan kampanye secara dewasa dan tidak emosional. Pembentukan kesadaran masyarakat kiranya dipandang sebagai target utama. Apa itu minol, apa manfaat dan kerugiannya, siapa saja yang berhak meminumnya, bagaimana cara meminumnya, bagaimana cara menghindarinya, ini yang penting disebarluaskan.

Jangan lupa, masyarakat Indonesia diakui hak privasinya sebagai salah satu hak asasi. Negara harus melindungi dan menjamin bahwa akses terhadap pemenuhan hak asasi benar-benar terjadi. Meminum alkohol bukanlah kejahatan. Kejahatan itu soal niat (dan kesempatan, kata bang napi).

Selamat bekerja tim Panja. Semoga dalam kondisi sadar dan tidak emosional menyikapinya. Karena saat emosi, keputusan yang dihasilkan tidak akan berbuah baik.

Ikuti tulisan menarik Jimmy Zeheskiel Ginting lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu