x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bagaimana Seharusnya Orang Kristen Indonesia Bersikap?

Pergumulan Orang Kristen Indonesia tentang spiritualitas, pluralitas dan pembangunan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia

Penulis: Victor I. Tanja

Tahun Terbit: 1996

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: BPK Gunung Mulia                                                                                       

Tebal: viii + 161

ISBN: 979-415-792-9

 

Sebagai sebuah agama dahwah, Kristen memiliki misi untuk menjadikan semua umat manusia menjadi pengikut Yesus Kristus. Bagaimana seharusnya orang Kristen di Indonesia bersikap dan berperilaku di negara yang memiliki kemajemukan dan berlandaskan Pancasila? Bagaimana orang Kristen di Indonesia memelihara spritualitasnya dalam pertemuannya dengan agama-agama lain yang ada? Bagaimana sikap orang Kristen di Indonesia terhadap gagasan pluralitas? Bagaimana perilaku orang Kristen di Indonesia dalam pembangunan yang sedang giat dilakukan di negerinya?

Tak bisa dipungkiri bahwa orang Kristen adalah salah satu komponen penting di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Orang Kristen sudah ikut serta membentuk gagasan NKRI. Mereka ikut berjuang dalam mewujudkan kemerdekaan. Bahkan Bung Karno sendiri, dalam Sidang Raya Dewan Gereja Indonesia, tahun 1964 di Jakarta menyatakan bahwa orang Kristen telah ikut menjadi bagian dari revolusi dan ikut berjuang dan berkorban demi terwujudnya NKRI (Bambang Noorsena, 2000. Religi dan Religiusitas Bung Karno). Dengan demikian orang Kristen di Indonesia adalah bagian tak perpisahkan dari NKRI.

Victor Tanja membedakan antara spiritualitas dan spiritisme (hal 8). Mengutip Galatia 5:22, Victor Tanja mendefinisikan spiritualitas kristiani sebagai sebuah sikap hidup yang berbuah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesukaan, kelemah-lebutan dan penguasaan diri (hal. 9). Sedangkan spiritisme adalah sikap pendewaan dan pemujaan terhadap roh-roh yang berupa kuasa gelap dan takhyul (hal. 8). Dengan pandangan seperti ini, orang Kristen di Indonesia tidak akan mengalami hambatan apapun dalam menggunakan spiritualitasnya sebagai orang Indonesia. Bukankan ciri-ciri spiritualitas yang disampaikan di atas didambakan oleh semua orang? Tidak ada orang yang membenci mereka yang berbuat kasih, kemurahan, kebaikan dan kelemahlembutan. Tidak ada orang yang tidak suka orang-orang yang memiliki kemampuan penguasaan diri. Ciri-ciri tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam, Hindu, Budha. Juga tentu saja tidak bertentangan dengan Pancasila.

Etika Kristen adalah etika kerja, sekaligus etika pembebasan untuk melayani. Etika kerja tentu sangat dibutuhkan oleh bangsa yang sedang membangun. Sebagai umat tebusan, orang Kristen harus menjadi teladan dalam bekerja. Pekerjaan orang Kristen harus membawa pembebasan untuk melayani. Landasan etika yang demikian dibutuhkan untuk membawa Indonesia ke kemajuan sesuai dengan cita-cita yang ada dalam Pancasila.

Namun demikian, sebagai sebuah umat yang memiliki identitas, orang Kristen di Indonesia juga harus bergumul dengan berbagai isu yang dihadapinya. Isu-isu tersebut diantaranya: masalah hak asasi dan keadilan, gerakan fundamintalisme Kristen, kebangkitan Islam dan purifikasi ajaran Islam. Harus diakui bahawa isu hak asasi dan keadilan tidaklah muncul dari kalangan Kristiani. Dua isu ini justru muncul dari budaya barat yang liberal. Mau tidak mau, orang Kristen di Indonesia juga harus bergumul dengan isu ini. Sebab isu tersebut telah menjadi agenda dunia. Seluruh bangsa berupaya untuk mewujudkan keadilan dan hak asasi manusia. Victor Tanja secara hati-hati membedakan hak asasi manusia produk barat dengan hak asasi manusia yang ada di Alkitab (hal. 73). Tanja menyampaikan bahwa hak asasi manusia model barat yang liberal pada akhirnya hanya akan memberi hak istimewa kepada kaum borjuis-kapitalis. Tanja memberikan pendapatnya bahwa tujuan dari perjuangan hak asasi manusia adalah untuk mencapai martabat manusia yang merupakan citra Allah imago Dei (hal. 74).  Dengan demikian perjuangan hak asasi manusia bukanlah hanya menonjolkan hak-hak individu tanpa memperhatikan kewajiban dan tanggung jawab kepada sesama. Termasuk kepada tanggung jawab kepada lingkungan dimana manusia hidup bersama.

Di abad ke 20, agama menemukan tempatnya kembali. Di Barat, orang berbondong-bondong kembali kepada agama, bukan sebagai sebuah institusi atau lembaga gereja, melainkan untuk mencari pegangan demi ketenangan hidup. Bukan hanya Kristen, agama-agama India (Hindu dan Budha) menarik banyak minat dari orang di Eropa dan Amerika. Pembangunan ala Barat telah menimbulkan sebuah ruang kosong dalam hidup manusia. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Sekarang ini banyak orang berbondong-bondong memenuhi masjid, gereja, kuil dan sebagainya, namun yang mereka cari adalah ketenangan jiwa secara pribadi sebagai obat penyembuh penyakit ketidakmampuan untuk menghadapi kerumitan hidup yang semakin mencekam (hal. 87). Dalam situasi seperti inilah Fundamentalisme Kristen mendapatkan tempatnya. Sebuah aliran Kristen yang mencap dan menganggap mereka yang tidak sependapat sebagai “Seorang Kristen yang tidak benar.” Mengutip Sastrapratedja, kaum fundamentalis adalah mereka yang telah selesai pekerjaannya yang mau bebas dari perjumpaan dengan kenyataan yang selalu tidak lengkap, berubah, membingungkan, menyedihkan (hal. 89). Fundamentalisme juga menghasilkan tokoh-tokoh kharismatik yang diikuti secara membabi-buta oleh pengikutnya. Fundamentalisme seperti ini jelas berbahaya bagi kehidupan berbangsa, sebab fundamentalisme cenderung mengabaikan persoalan kemanusiaan sehari-hari. Fundamentalisme juga berbahaya karena kurang kritis terhadap tokoh kharismatik yang menjadi pemimpin.

Isu lain yang dihadapi oleh orang Kristen di Indonesia adalah tentang kebangkitan Islam dan purifikasi ajaran Islam. Tanja mengungkapkan bahwa di Indonesia, setidaknya melalui pandangan Abdurrahman Wahid, Dawam Raharjo dan Nurcholis Majid, yang terjadi adalah dinamisasi Islam daripada purifikasi (hal. 69). Dinamisasi Islam di Indonesia ini tentu saja tidak mengabaikan budaya yang sudah ada di Indonesia. Tanja menyimpulkan bahwa dinamisasi Islam akan membawa angina segar bagi semua pihak yang berkepentingan dalam usaha memelihara kesatuan dan persatuan bangsa (hal. 69). Sayang sekali Tanja tidak menguraikan gagasannya tentang bagaimana seharusnya ornga Kristen bersikap dan bertindak dalam isu purifikasi dan dinamisasi Islam ini.

Secara khusus Victor Tanja membahas tentang Gereja di tengah Bangsa dan Rakyat Indonesia. Meminjam pendapat David Jenkins, Tanja mengatakan bahwa gereja harus mampu merumuskan hubungan yang tepat dan bertanggung jawab dengan negara (hal. 102). Seperti telah dirumuskan oleh PGI orang Kristen di Indonesia sepenuhnya ikut bertanggung jawab dalam usaha bangsa untuk ikut menghayati, mengamalkan dan melestarikan Pancasila (hal. 103). Secara lebih detail Tanja membahas pemikiran T.B. Simatupang yang menyetujui Pancasila sebagai satu-satunya azas bernegara.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu